Oleh : Ria Nita Anggreani - Mahasiswa KKN Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP ULM Banjarmasin
MEDIA massa sebagai salah satu sarana pemberi informasi kepada masyarakat memiliki peran yang cukup krusial terhadap pembentukan opini publik. Opini publik terkait suatu hal yang pada awalnya sangat bervariatif serta tidak terbatas, namun dapat berubah setelah ditempa informasi penggambaran objek melalui media massa. Perubahan ini bisa dalam bentuk dukungan atau justru sebaliknya.
Media massa merupakan alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi (Cangara, 2004). Dari sini kita dapat melihat bahwa media massa seakan menjadi sebuah ‘jendela’ informasi yang sangat luas untuk masyarakat. Apalagi di tengah maraknya penggabungan media konvensional dengan media online (konvergensi media) belakangan ini. Masyarakat bisa melihat apa saja yang terjadi di luar sana tanpa batasan jarak dan waktu.
Dengan adanya peran kuat media dalam membentuk opini dan mempersuasi publik melalui pemberitaannya, maka tidak kecil pula pengaruh media dalam hal pembentukan tingkah laku serta kebiasaan masyarakat, khususnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu teori komunikasi massa yang dikemukakan oleh Mc Combs dan Donald Shaw yaitu teori Agenda Setting, memiliki asumsi bahwa ‘apa saja yang dianggap penting oleh media maka dianggap penting juga oleh publik’. Oleh karena itu media memiliki kekuatan dalam mengendalikan suatu isu yang hadir di tengah masyarakat. Ketika media memberikan perhatian pada suatu isu tertentu dan mengabaikan isu lainnya, maka akan sangat mampu memengaruhi pendapat atau opini publik. Sehingga bukan hanya persoalan berita yang menjadi prioritas, namun juga seberapa besar dan pentingnya cara media massa dalam membungkus dan memprioritaskan isu serta topik tersebut.
Jika kita kaitkan dengan kondisi Pandemi Covid-19 saat ini, sudah seharusnya media massa ambil bagian dalam hal penanganan wabah pandemi. Salah satu perannya adalah dalam hal pencerdasan publik serta meningkatkan kesadaran publik. Media massa telah mengikuti perkembangan Pandemi Covid-19 ini sejak awal. Berbagai macam pemberitaan terus bermunculan, pembaharuan status tentang pasien positif pun tidak kalah gencarnya. Ditambah lagi tidak hanya persoalan kesehatan, pemberitaan mengenai kondisi ekonomi, sosial, politik juga semakin gencar disiarkan akibat dampak dari pandemi global. Karena WHO menetapkan status Covid-19 ini sebagai pandemi global, dengan sendirinya berbagai media massa menjadikan isu Pandemi Covid-19 sebagai topik utama. Hampir seluruh pemberitaan serta sorot kamera media berbondong-bondong meliput berita ini dan menyiarkannya secara massif di berbagai platform media mereka.
Dalam diskursus teori komunikasi, media massa menjadi salah satu pilar demokrasi (pilar keempat) yang bisa menjadi penentu tatanan dinamika kehidupan politik melalui opini publik. Merujuk pada teori agenda setting, media memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Artinya masifitas pemberitaan media mengenai Pandemi Covid-19 yang saat ini sangat hangat di kalangan masyarakat, bahkan menjadi topik utama, merupakan salah satu bentuk kerja media dalam menentukan agenda publik.
Sekilas hal ini merupakan suatu hal yang sifatnya normal. Mengingat kebutuhan masyarakat akan informasi perkembangan penyebaran virus yang cukup tinggi. Namun apakah benar pemberitaan ‘hantu’ pandemi secara bombastis ini menjadi kebutuhan publik? Betulkan masyarakat perlu ditakut-takuti dengan penyakit mematikan sehingga menimbulkan sebuah kepanikan massal? Sudah benarkah konsumen dibuat kaget karena informasi pemborongan kebutuhan pokok, masker serta hand sanitizer dengan jumlah yang mampu melumpuhkan tatanan sosial?
Masih jelas dalam ingatan kita ketika pertama kali Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan dua kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Seketika media massa dibanjiri dengan headline “Indonesia Positif Covid-19”. Pada saat itu, tidak terlepas dari massifnya terpaan informasi yang didapat melalui media massa, menjadi suatu awal dari kepanikan publik. Perkembangan Pandemi Covid-19 ini semakin marak disiarkan dan diberitakan seiring dengan memuncaknya kasus Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Tak ayal, opini yang berkembang akhirnya berspektrum luas. Kenyataan hari ini seakan memperlihatkan kepada kita bahwa semakin beragamnya informasi yang hadir, justru semakin menenggelamkan publik dalam kepanikan dan ketakutan. Media mengolah pemberitaan serta narasi mengenai Pandemi Covid-19 sedemikian rupa untuk kemudian dihadirkan lalu disuapi kepada publik. Agenda media yang diolah ini kemudian menjadi sebuah agenda publik dengan membawa berbagai dampak sosial serta psikologis.
Dalam konteks ini juga berlaku teori framing dalam media massa. Dimana media mengalihkan perhatian khalayak dari kepentingan sebuah isu ke dalam apa yang ingin diproyeksikan dan digunakan oleh media itu sendiri. Dengan kata lain, media dalam hal ini mengarahkan perhatian publik kepada isu/tema tertentu yang diinginkan institusi media sehingga khalayak membuat keputusan dan melahirkan persepsi sesuai dengan apa yang dipikirkan.
Menilik bagaimana krusialnya peran media massa dalam pembentukan pola pikir serta tingkah laku masyarakat, artinya setiap pemberitaan yang dihadirkan harus selalu bernuasna positif dan mengandung kebermanfaatan. Namun jika boleh kita evaluasi bersama, banyak hal ‘blunder’ serta beragam informasi yang bertentangan ditampilkan dari satu media dengan media lainnya.
Beberapa waktu belakangan media memberikan pernyataan dari Menteri Kesehatan bahwa angka kematian akibat flu lebih tinggi dari Covid-19. Namun tidak berselang lama WHO menyatakan bahwa virus ini lebih berbahaya daripada flu. Hal ini didukung pula dengan siaran televisi tanpa henti serta situs resmi pemerintah Indonesia covid19.go.id yang memperlihatkan angka pasien positif yang semakin meningkat setiap harinya.
Demikian pula ketika pemerintah Indonesia melalui staf presiden memutuskan tidak mengungkap identitas pasien positif Covid-19. Namun media lain justru memberikan informasi berdasarkan pandangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahwa identitas pasien covid boleh diungkapkan. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mempermudah contact tracing. Mempermudah masyarakat mengetahui agar yang belum tertular menghindari sumber dan lokasi penularan.
Keberagaman informasi inilah yang kemudian membawa publik dalam kegamangan. Semakin banyak menerima informasi, semakin mereka terperosok dalam ketidakpastian. Wabah Pandemi Covid-19 nampak tidak cukup, timbul lagi wabah psikologis. Artinya yang menjadi masalah hari ini bukanlah karena tidak adanya informasi. Melainkan karena meledaknya produksi, distribusi dan konsumsi informasi itu sendiri.
Beragam fakta yang memperlihatkan obsesi berlebihan dari masyarakat dalam menghadapi pandemi ini adalah suatu keniscayaan yang hadir akibat pengaruh dari media massa. Banyaknya oknum yang menimbun masker, masyarakat yang berbondong-bondong membeli bahan pokok dengan jumlah yang tidak wajar, menggunakan APD ketika keluar rumah walaupun dia bukan seorang tenaga medis, adalah bukti konkrit bagaimana ketakutan dan kecemasan yang sedang dialami oleh masyarakat. Maka dari itu, pemberitaan secara membabi buta oleh media massa juga merupakan hal yang kurang baik. Karena fokus utamanya bukanlah mencerdaskan publik, namun hanya melihat rating. Hasilnya banyak informasi yang kurang akurat, narasumber tidak kredibel, pemberitaan kurang lengkap, bobot edukasi yang kurang, cenderung parsial, dan sifatnya hanya menambah ketakutan publik.
Sejatinya dalam kondisi krisis akibat Pandemi Covid-19 saat ini, peran media massa sangat diharapkan. Selain memikul peran sebagai watchdog atau pengawasan, fungsi pengedukasian juga adalah hal yang sangat penting. Tidak heran jika media massa menjadi salah satu instrumen dalam mengawasi setiap langkah-langkah serta kebijakan pemerintah untuk melawan eskalasi persebaran Covid-19 ini. Lebih jauh, sesama rekan media juga diharapkan saling mengawasi setiap informasi yang diproduksi terkait dengan Pandemi Covid-19 ini. Dalam hal pengedukasian, media massa harus memberikan informasi yang sifatnya berimbang; positif dan negatif. Juga tidak kalah penting untuk menekankan sikap awereness kepada publik terkait penyebaran, protokol kesehatan, kedisiplinan, termasuk didalamnya memberikan motivasi untuk tetap menahan diri di rumah.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Widodo Muktiyo, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informatika, pada kondisi saat ini terutama dalam proses menghadapi new normal, maka sangat penting dalam membangun pesan (mewartakan) dengan mengedapankan fungsi humanisme atau human communication. Sehingga pesan dapat dimaknai secara luas, tidak hanya sent, tapi delivered.
Artinya adalah bahwa setiap informasi yang dihadirkan harus disertai dengan empati sosial. Mengomunikasikan agar tetap tangguh melawan Pandemi Covid-19. Tantangan utama adalah bagaimana informasi yang diproduksi mampu kemudian dimaknai dengan tepat serta mampu menjadi sarana pendisiplin publik. Kehadiran narasi, deskripsi serta rangkaian informasi yang mampu masuk ke dalam jiwa masyarakat akan terintegrasi di masa krisis saat ini.
Kehadiran media massa dengan membawa peran yang krusial di tengah Pandemi Covid-19 ini harus selalu dimaksimalkan. Disamping membawa fungsi kritisnya, media massa juga diharapkan mampu membawa iklim sejuk melalui informasi-informasi yang dihadirkan. Bukan lagi membawa berita sensasional tanpa nilai dan esensi, sudah saatnya media massa kembali memberikan informasi berbasis data dan fakta, relevan, penting serta tentunya sudah difilter sebelum dipasarkan ke publik. Sebagai seorang konsumen berita yang cerdas dan bijak. Kita pun sudah seharusnya meninggalkan budaya lama dalam hal ‘menelan’ seluruh informasi yang ‘disuapi’ kepada kita. Pentingnya validasi informasi dan proses pembandingan antara informasi satu dengan yang lainnya harus dilakukan. Sehingga kita bisa mendapatkan informasi yang akurat tanpa harus diliputi ketakutan atau sikap dan obsesi lain yang berlebihan.***