Dibalik Cepat dan Lambatnya Pembahasan RUU di DPR, Ada Apa?

 

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)

BORNEOTREND.COM - Dalam hukum ketatanegaraan kita DPR memiliki fungsi legislasi. Lembaga yang diisi para wakil rakyat hasil pemilu itu, memiliki tugas dan wewenang menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas), menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU.

Saat ini banyak yang merasa heran dan takjub ketika DPR berhasil menyelesaikan pembahasan RUU Ibu Kota Negara  (IKN) dalam waktu sangat singkat. Pembahasannya hanya memakan waktu 43 hari terhitung sejak DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) IKN. 

Singkatnya waktu pembahasan RUU tersebut pada akhirnya memunculkan dugaan adanya cacat formil dalam proses pembahasan maupun terkait dengan materiil (isinya). Pada sisi lain banyak juga RUU yang tak kelar-kelar dibahas sehingga terkatung-katung nasibnya karena tak kunjung disahkan meskipun sudah belangsung begitu lama.

Seperti apa sebenarnya ketentuan dan proses pembuatan sebuah UU yang ada di DPR? Mengapa ada yang cepat dan ada yang lambat pembahasannya? Faktor apa yang berperan?

Berikut wawancara dengan Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang membidangi Hukum, HAM dan Keamanan. 

Apa sebenarnya peran DPR dan pentingnya UU dalam kehidupan bernegara?

Ya, seperti kita ketahui kekuasaan untuk membuat UU itu ada di Dewan Perwakilan Rakyat, begitu bunyi pasal 20 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945. Kemudian di pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Keberadaan UU di suatu negara itu mempunyai kedudukan strategis dan penting. Baik dilihat dari konsepsi negara hukum, hierarki norma hukum, maupun dilihat dari fungsi UU  pada umumnya.

Dalam konsepsi negara hukum, UU merupakan salah satu bentuk formulasi norma hukum dalam kehidupan bernegara. Keberadaan peraturan perundang-undangan dan kegiatan pembentukan UU (legislasi) mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis sebagai pendukung utama dalam penyelenggaran pemerintahan suatu negara.

Bagaimana seharusnya pembahasan RUU agar menjadi UU yang berkualitas dan dapat dilaksanakan dengan baik?

Agar perundang-undangan yang dihasilkan dapat mencerminkan kualitas yang baik sebagai produk hukum, maka dalam pembuatan UU perlu pemahaman beberapa dasar landasan dari ketentuan pembentukannya. 

Artinya, pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti jelas tujuan pembentukannya, dibuat oleh lembaga yang berwenang, tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya, dapat dilaksanakan, punya kedayagunaan dan kehasilgunaan, jelas rumusan normanya dan dibuat secara partisipatif serta terbuka.

Jika suatu UU yang dibuat mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut, maka UU itu berpotensi

menjadi ketentuan yang cacat formil. Sehingga bisa dinilai tidak valid atau tidak legitimate kalau dipaksakan berlakunya.

Pihak yang berwenang membuat UU, dalam hal ini Pemerintah dan DPR juga tidak boleh sembarang membuat UU, melainkan harus jelas urgensinya. Supaya nanti tidak dipertanyakan UU itu dibuat untuk siapa, tidak cacat materiil pada saat disahkan nantinya.

Sering ada opini publik menyebut adanya pembuatan UU pesanan pihak-pihak tertentu. Benarkah itu bisa terjadi?

Manakala sebuah UU dibuat ternyata tidak ada kaitannya dengan alasan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa UU dibuat harus merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan yang ada di UUD 1945, perjanjian internasional, tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi, atau untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat, maka patut dipertanyakan UU itu dibuat atas pesanan siapa dan untuk kepentingan siapa. Ketidakjelasan alasan ini biasanya akan memantik terjadinya aksi unjuk rasa.

Persoalan ini bukan suatu hal yang tabu terdengar di telinga. Lagi-lagi hal ini sulit dibuktikan tetapi sering tercium baunya. Mungkin karena faktor ini pula yang menyebabkan RUU yang bersinggungan dengan kepentingan publik sering terkatung-katung penyelesaiannya. Sebutlah misalnya, RUU tentang Pertembakauan, RUU Koperasi, RUU Pertanahan, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sebagainya.

Bagaimana sebenarnya alur pembahasan RUU di DPR dan pihak mana saja terlibat?

Sebuah RUU bisa berasal dari usulan Presiden, DPR atau DPD. Kalau RUU itu diajukan oleh Presiden maka materinya disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait sesuai dengan bidangnya.

RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun lamanya. RUU yang diajukan ini harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu, tidak perlu ada naskah akademiknya.

Selanjutnya Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan tahap selanjutnya.

Jika suatu RUU disetujui untuk dibahas, maka RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus yang dibentuk untuk pembahasannya.

Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.

Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak melalui mekanisme voting untuk mengetahui pihak yang setuju dan yang menolaknya. Bila suatu RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangannya. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia.

Adakah ada ketentuan berapa lama waktu sebuah RUU itu harus selesai disyahkan menjadi UU?

Suatu RUU bisa ditetapkan menjadi sebuah UU apabila telah rampung pembahasannya dan dinyatakan lengkap sempurna, serta disetujui oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR dan Pemerintah.

Sejauh ini memang tidak ada tenggang waktu yang ditetapkan secara pasti yang bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk menetapkan kapan UU harus diselesaikan pembahasannya. Alat ukur yang digunakan Badan Legislasi DPR RI dalam menentukan cepat atau lambatnya penetapan suatu undang-undang tergantung kapan selesai dan sempurnanya UU tersebut, serta dinyatakan lengkap dan baik oleh yang membuatnya.

Apabila diperlukan suatu aturan perundang-undangan diinginkan cepat penyelesaiannya maka mekanismenya adalah menggunakan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU). Disini presiden yang lebih punya kuasa mengeluarkannya. Hanya saja Perppu itu secara yuridis formal harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang berikutnya.

Meskipun tidak ada ketentuan kapan suatu RUU harus diselesaikan pembahasannya, namun akhir-akhir ini publik membaca ada beberapa UU yang superkilat pembahasannya. Ada pula UU yang terkesan terhuyung-huyung penyelesaiannnya. Ada UU yang sudah sangat lama dibahas namun tidak kelar-kelar juga.

RUU apa saja yang saat ini terbilang cepat diselesaikan menjadi UU di DPR?

Ada beberapa, diantaranya RUU Ibu Kota Negara (IKN). RUU ini menjadi salah satu rancangan regulasi yang proses pembahasannya. Proses pembahasan RUU IKN di DPR RI hanya membutuhkan waktu 111 hari, sejak Jokowi resmi mengirimkan surat presiden (surpres) soal perundangan tersebut, 29 September 202. Bahkan, pembahasan RUU IKN secara resmi hanya memakan waktu 43 hari, bila dihitung dari langkah DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN untuk membahas pemindahan IKN dari Jakarta ke “Nusantara”.

Kita juga masih ingat RUU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020 dalam waktu yang cukup singkat alias tidak lama. Padahal, proses pembahasan regulasi yang berjumlah 11 klaster dengan tebal lebih dari 800 halaman tersebut baru dimulai pembahasannya di DPR pada April 2020. Dengan tingkat ketebalan dan kerumitan substansi yang diaturnya semestinya RUU ini dibahas dengan waktu yang cukup lama tapi nyatanya UU Cipta Kerja hanya diselesaikan dalam waktu 167 hari saja.

Lalu, ada RUU Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengesahan revisi UU KPK dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 September 2019, tanpa penolakan fraksi dan interupsi dari anggota dewan yang menghadirinya. Proses pembahasan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga pengesahan berlangsung begitu  cepat tidak pakai lama. Sejak rancangan regulasi itu ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019 hingga disahkan pada 16 September 2019 hanya perlu waktu 12 hari saja untuk pembahasannya.

RUU Mineral dan Batubara (Minerba). Pengesahan revisi UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi UU di tengah pandemi virus Corona begitu cepat prosesnya. Pemerintah dan DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) pembahasan revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 pada 13 Februari 2020 lalu. Kemudian dalam waktu 10 hari, Panja selesai membahas 938 daftar inventarisasi Masalah (DIM) yang sebelumnya telah disepakati bersama. Pada 10 Juni 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengesahkan UU No.3 tahun 2020 ini dan akhirnya UU Minerba.

Yang lainnya, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), RUU Tax Amnesty.

RUU apa saja yang hingga saat ini belum selesai?

Ada banyak RUU yang dibahas tidak kelar- kelar. Bahkan sangat lama pembahasannya hingga lebih dari lima kali masa sidang dan tak kunjung disahkan diantaranya adalah. Ada 15 lebih RUU, antara lain RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, RUU tentang Wawasan Nusantara, RUU tentang Kewirausahaan Nasional, RUU tentang Ekonomi Kreatif, RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dan seterusnya.

Jika begitu, pasti ada faktor penentu atau penyebab sebuah RUU itu bisa cepat atau sebaliknya lambat selesainya? 

Disinilah uniknya, pembahasan RUU terlalu lambat menimbulkan polemik tetapi terlalu cepat penyelesaiannya juga menimbulkan tanda tanya. Karena muncul kecurigaan ada apa-apanya.

Banyak faktor yang bisa mempengaruhi perjalanan pembahasan suatu RUU hingga menjadi UU agar dapat berlaku sebagaimana mestinya. Faktor-faktor tersebut bisa bersifat dominan tapi bisa juga biasa-biasa saja. Semuanya akan mempengaruhi kinerja pembuat UU dalam menyelesaikan tugasnya.

Akhir-akhir ini sepertinya terjadi sesuatu yang tidak biasa. Tiba tiba saja DPR bersama Pemerintah begitu produktif dan semangat menghasilkan UU di tengah pademi virus corona. Orang awam banyak yang bertanya-tanya ada apakah kiranya, pembuat UU yang biasa santai-santai saja menjalankan fungsi legislasi kini terkesan sangat bersemangat menyelesaikan kewajibannya.

Diantara faktor yang menjadi variable cepat atau lambatnya pembahasan suatu RUU adalah karena adanya tekanan dan kepentingan yang mempengaruhinya. Contoh cepatnya pembahasan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja. 

Diduga ada kepentingan besar para pebisnis tambang dibalik UU Cipta Kerja guna mendapat jaminan hukum untuk keberlanjutan dan keamanan bisnisnya. Seperti disebutkan oleh Merah Johansyah, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari JATAM, melalui sejumlah elite politik dan pebisnis di Satgas dan Panja Omnibus, kepentingan itu dikejar, dan berhasil diperoleh dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Berarti bisa dikatakan sebuah RUU itu cepat selesai menjadi UU karena ada sponsornya?

Dugaan adanya kepentingan dan tekanan dalam pembahasan suatu RUU sehingga mempengaruhi kecepatan dan keterlambatan penyelesaiannya kiranya bisa dirasakan, namun sulit untuk pembuktiannya. Yang jelas lambat atau cepatnya pembahasan suatu RUU karena memang banyak faktor yang mempengaruhinya. 

Faktor faktor itu diantaranya terkait dengan siapa sponsornya, apa kepentingannnya, sejauhmana supportnya untuk penyelesaiannya, seberapa besar RUU itu mengandung nilai finansial tertentu yang menguntungkan bagi para pembuatnya dan sebagainya.

Penulis: Khairiadi Asa




Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال