Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: ist) |
BORNEOTREND.COM - Akhir akhir ini usulan agar Polri berada di bawah kementerian kembali mengemuka. Sebelumnya gagasan ini sempat muncul di tahun 2014 yang lalu, saat Jokowi dan Jusuf Kalla sepakat menjadi pasangan sebagai calon Presiden dan wakil Presiden Indonesia.
Pada awal kampanye Pilpres bulan Mei 2014, pasangan ini menyampaikan visi dan misinya. Diantara visi misinya yang tertulis dalam dokumen pendaftaran di KPU, keduanya berkehendak untuk menata ulang kewenangan Polri yang penempatannya berada di bawah kementerian negara.
Tetapi entah kenapa, gagasan untuk menggiring Polri dibawah kementerian negara itu tidak lagi terdengar kabar beritanya. Belakangan usulan mengenai Polri di bawah kementerian kembali mengemuka setelah Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo mengusulkan dibentuknya lembaga setingkat menteri untuk merumuskan kebijakan nasional terkait fungsi keamanan negara.
Terkait peran Polri saat ini dan kedepannya, kami mencoba menuangkan beberapa pandangan singkat Desmond J Mahesa, melalui wawancara. Mantan aktivis sejak di bangku kuliah hingga berkiprah di berbagai lembaga swadaya masyarakat, sebagai direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta. Sebelum terlibat dalam gerakan reformasi, ia juga banyak berurusan dengan kebijakan pemerintah seputar penggusuran tanah, tegangan tinggi dan sebagainya.
Desmond J Mahesa, yang lulusan FH ULM Banjarmasin ini, kini duduk sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Komisi yang membidangi persoalan Hukum, HAM dan Keamanan.
Berikut petikan wawancara borneotrend.com dengan Desmond J Mahesa:
Menurut Anda bagaimana citra Polri secara keseluruhan saat ini?
Kita lihat belakangan ini eskalasi ketidakpercayaan terhadap polisi semakin meningkat di Indonesia. Banyak kasus yang menjadi pemicunya, misalnya laporan Project Multatuli tentang macetnya kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur dan beberapa kasus lain yang melibatkan oknum Polri sebagai pelakunya.
Setelah itu cibiran dari massa terus bergulir di media sosial, karena munculnya kasus-kasus yang lainnya dari mulai pembantingan demonstran di Tangerang, dugaan pemerkosaan oleh Kapolsek di Parigi Moutong, oknum polisi di kediri yang memperkosa mahasiswa hingga yang bersangkutan bunuh diri dipusara ayahnya, perdagangan narkoba dengan bandar di Asahan, adanya polisi yang menolak laporan warga, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Apakah ada data yang bisa menunjukkan citra Polri di atas?
Tidak usah jauh-jauh, tindak kekerasan yang dilakukan jajaran Polri bisa kita lihat dari pemberitaan media massa. Misalnya, laporan yang masuk ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), itu ada 3.539 korban penangkapan sewenang-wenang, 474 korban penyiksaan, dan tercatat sedikitnya 52 orang meninggal dunia. Tidak hanya terhadap demonstran, polisi juga bertindak represif terhadap awak media.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) juga mencatat, banyak kasus kekerasan yang dilakukan polisi dalam setahun terakhir. Berdasarkan temuan kawan-kawan, terdapat 651 kekerasan yang dilakukan polisi sejak Juni 2020-Mei 2021. Mereka juga mencatat, ada 390 kasus penembakan yang dilakukan personel kepolisian atau 57,9 persen dari total tindak kekerasan dalam setahun terakhir. Penembakan tersebut merenggut nyawa 13 orang dan 98 orang lainnya mengalami luka-luka.
Apa yang harus dilakukan Polri untuk perbaikan kedepan?
Dari rentetan peristiwa-peristiwa di tubuh Polri saat ini, hal itu menunjukkan begitu banyak pekerjaan rumah dalam agenda reformasi Polri kedepan. Terutama reformasi budaya kekerasan yang sudah mengakar bertahun-tahun lamanya harus segera dihentikan. Peran Polri saat ini juga makin melebar, karena luasnya peran mereka dalam berbagai jabatan struktural, mulai dari kementerian, federasi olahraga, hingga PLT kepala daerah di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini membangkitkan ingatan kolektif masyarakat soal dwifungsi ABRI semasa Orde Baru berkuasa.
Apa untung-ruginya jika kedepan Polri di bawah Kemendagri?
Ketika proses reformasi di tubuh Polri dinilai gagal maka mau tidak mau harus dilakukan upaya lain, misalnya dengan reposisi institusi kepolisian dibawah kementerian negara. Lembaga kepolisian ditempatkan dibawah Mendagri seperti yang diberlakukan di dibeberapa negaradi dunia.
Reposisi kepolisian dibawah Mendagri, harus diakui sebagai posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi kepolisian, tetapi jika polisi gagal untuk melakukan reformasi ditubuhnya sendiri maka ini menurut hemat saya merupakan pilihan yang paling baik yang perlu dipertimbangkan oleh Presiden dan DPR demi menyelamatkan kepolisian dan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia.
Dengan menempatkan polisi di bawah Mendagri, hemat saya bisa menjadi upaya untuk mewujudkan polisi berwajah sipil yang selama ini menjadi dambaan seluruh warga bangsa.
Peran Polri yang seperti apa yang pantas untuk situasi sekarang dilakukan?
Agar hal serupa tak kembali terulang, mutlak dikembangkan budaya Polri yang berorientasi pada publik serta menggunakan pendekatan yang bercorak non-militeristik ala tentara. Artinya, budaya perseorangan aparat polisi harus didasarkan pada budaya organisasi (corporate culture). Sebab budaya polisi diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan (the policemen’s working personality) yang diwarnai oleh lingkungannya (sociaty generated culture).
Polisi sipil bukan merupakan polisi kekuasaan, melainkan lebih mengedepankan kesopanan dan keramahan. Pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi terhadap setiap individu yang berhubungan dengan polisi sebagai fitur yang memiliki martabat serta harga dirinya.
Yang lebih penting dari semua itu adalah upaya untuk menjauhkan eksistensi lembaga kepolisian dari keberpihakannya kepada pemilik modal, menjadi alat kekuasaan dan ikut-ikutan berpolitik untuk kepentingannya. Sebab kalau ini benar benar terjadi maka sinyalemen Negara Kepolisian Republik Indonesia (NKRI), memang benar adanya. Untuk mencegah fenomena ini terjadi, jajaran Polri bukan hanya semata-mata menjalankan agenda reformasi yang telah dicanangkannya, tetapi perlu dipikirkan habitat barunya.
Penulis: Khairiadi Asa