Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: istimewa) |
BORNEOTREND.COM - Pasca disahkannya rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) dalam rapat paripurna DPR hari Selasa 18 Januari 2022, sejumlah purnawirawan Jenderal TNI, politikus, hingga aktivis melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan dokumen di situs MK, gugatan mereka diajukan pada 2 Februari 2022.
Para penggugat berjumlah 12 orang, diantaranya mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, dan eks Danjen Kopassus, Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko dan eks anggota DPD DKI Jakarta, Marwan Batubara.
Mereka menggugat UU IKN karena dinilai bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan bertentangan pula dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatannya.
Selain itu mereka menyatakan kebijakan pemindahan ibu kota tidak mempertimbangkan kondisi nasional dan global yang sedang menghadapi pandemi virus corona dimana perhatian pemerintah seyogyanya difokuskan kesana bukan pindah ibukota.
Secara umum dapat dikatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) terhadap UU IKN tersebut menyangkut aspek formil maupun materiil atau substansinya.
Apa konsekuensinya hukumnya jika gugatan formil dan materiil tersebut di kabulkan oleh MK? Apakah pembatalan UU semacam UU IKN ini sudah pernah dilakukan oleh MK? Adakah kemungkinan peluang untuk dibatalkannya UU IKN tersebut oleh MK?
Implikasi Hukum
Agar suatu perundang-undangan yang dihasilkan oleh pembentuk UU mencerminkan kualitas yang baik sebagai produk hukum, maka dalam pembuatan UU itu perlu memahami beberapa dasar landasan dari ketentuan pembentukannya. Artinya pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik seperti; jelas tujuan pembentukannya, dibuat oleh Lembaga yang berwenang, tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya, dapat dilaksanakan,punya kedayagunaan dan kehasilgunaan, jelas rumusan normanya dan dibuat secara partisipatif serta terbuka.
Jika suatu RUU yang dibuat mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang undangan maka maka RUU tersebut potensial menjadi ketentuan yang cacat formil sehingga bisa dinilai tidak valid atau tidak legitimate kalau dipaksakan berlakunya.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dibuatnya sebuah UU juga harus jelas alasannya. Dimana UU dibuat karena merupakan: pengaturan lebih lanjut dari ketentuan yang ada di UUD 1945, perintah suatu UU untuk diatur dengan UU,merupakan pengesahan perjanjian Internasional, merupakan tindaklanjut dari keputusan MK, atau untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat yang memang membutuhkan pengaturannya.
Manakala sebuah UU dibuat ternyata tidak ada kaitannya dengan alasan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tersebut maka patut dipertanyakan UU itu dibuat atas pesanan siapa dan untuk kepentingan siapa. Ketidakjelasan alasan ini biasanya akan memantik terjadinya aksi unjuk rasa.
Pengujian undang-undang dalam arti formil ialah pengujian atas pembentukan undang-undangnya. Dalam konteks pengujian formil ini menitikberatkan wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif telah sesuai dengan naskah akademik yang berlandaskan faktor filosofis, yuridis dan sosiologisnya. Naskah akademik berfungsi sebagai bahan awal yang memuat gagasan tentang urgensi pendekatan, ruang lingkup dan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan.
Selain terkait dengan proses pembentukannya, sebuah UU juga dapat di uji dari sisi substansi atau materinya. Sehingga selain uji formil yang menyoal proses pembentukan undang-undang juga ada uji materiil dimana obyek pengujian adalah materi UU yang diajukan pengujiannya.
Dalam konteks pengujian materiil ini menitikberatkan wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya telah sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang ada. Terkait dengan uji materi UU IKN, maka MK berwenang melakukan judicial review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Bila hakim MK memutuskan hasil uji formil yang menyoal proses pembentukan undang-undang dikabulkan maka keseluruhan undang-undang yang diajukan ke MK menjadi batal dengan sendirinya. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga langsung berlaku tanpa perlu dikukuhkan lagi melalui undang-undang baru untuk berlakunya.
Sementara itu jika secara materiil pasal-pasal yang diuji inkonstitusional, maka pasal-pasal tersebut batal berlakunya. Sebagai contoh dalam artikel MK Batalkan Sebagian Materi UU Minerba antara lain dikatakan bahwa MK melalui Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010 membatalkan Pasal 22 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) sepanjang frasa “dan atau” dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan” karena bertentangan dengan UUD 1945. Ini artinya, MK hanya membatalkan pasal yang dimohonkan uji materiil saja.
Lalu, apakah mungkin MK dalam menguji materiil suatu UU tidak hanya membatalkan pasal yang dimohonkan saja, tetapi juga membatalkan keseluruhan UU yang di ujinya. Jawabannya adalah ya, MK bisa saja membatalkan keseluruhan suatu UU yang di ujinya.Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006. Pemohon mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (“UU KKR”) terhadap UUD 1945.
Contoh lain adalah Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dimana alasan para pemohon antara lain adalah banyaknya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) yang tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga peraturan perundang-undangan lainnya. Akhirnya MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa UU Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Preseden Pembatalan UU Pindah Ibukota
Rencana pindah IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur bisa kandas kalau MK mengabulkan gugatan para penggugat yang di alamatkan ke MK. Karena dengan dikabulkannya gugatan tersebut berarti hilang aspek yuridis formal yang menjadi landasannya.
Peristiwa batalnya pindah ibukota gara gara UU yang melandasinya dibatalkan oleh MK pernah terjadi namun bukan di Indonesia melainkan di negara Korea. Dikutip dari Portal-islam.id, pada tahun 2004,Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun berupaya memenuhi janji kampanyenya dengan membuat UU Khusus tentang Pembentukan Ibu Kota Administratif Baru guna merelokasi Seoul sebagai ibu kota Republik Korea Selatan dengan cara membangun ibu kota baru di Provinsi Chungcheong untuk menjalankan fungsi administratif negaranya.
Akan tetapi, Undang-Undang Khusus tersebut diuji konstitusionalitasnya oleh warga negara Korea Selatan dari berbagai wilayah dengan alasan belum adanya revisi terhadap Konstitusi negara. Selain itu, UU Khusus tersebut juga dianggap telah melanggar hak referendum dan hak pembayar pajak disana.
Hakim MK Korea Selatan dengan Putusan 8:1 akhirnya menyatakan UU Khusus tersebut inkonstitusional alias illegal sehingga kekuatan hukumnya menjadi tidak ada. Alasannya, Seoul yang telah lama menjadi ibu kota Korea Selatan, meskipun tidak secara spesifik disebutkan di dalam Konstitusi, namun pada faktanya penetapan Seoul sebagai ibu kota negara merupakan perwujudan dari `customary constitution` yang memiliki efek yang sama dengan konstitusi yang tertulis negara Korea.
Menurut MK Korea Selatan, selain dengan menggunakan amendemen konstitusi secara formal, `customary constitution` dapat kehilangan kekuatan hukumnya jika konsensus nasional menghendaki hal tersebut. Berdasarkan Pasal 130 Konstitusi Korea Selatan, referendum secara nasional menjadi mekanisme wajib yang harus dilakukan untuk mengubah konstitusinya. Dalam hal ini, MK Korea Selatan tidak menemukan adanya mekanisme referendum yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara yang secara tidak tertulis sebenarnya menjadi bagian di dalam konstitusi mereka (vide Putusan MK Korea Selatan 2004Hun-Ma554).
Menindaklanjuti putusan MK tersebut, Presiden Roh akhirnya memodifikasi rencana pemindahan ibu kota dengan merelokasi sebagian besar Kementerian dan Lembaga Negara ke Sejong sebagai kota khusus administrasi, dan bukan sebagai ibu kota negara.
Rencana ini kemudian diuji kembali ke MK Korea Selatan pada 2005. Namun MK menolak permohonan tersebut. Kandas di MK, partai oposisi yang berhasil merebut kursi kepresidenan menolak gagasan kota khusus administratif dengan alasan akan mengurangi daya saing global kota Seoul yang berdampak pada inefisiensi/pemborosan keuangan negara.
Presiden Lee Myung-bak menginginkan agar Sejong dijadikan `industrial, science, and education hub`. Namun usulan ini ditolak oleh Majelis Nasional Korea Selatan. Sejak Juli 2012, Sejong memperoleh status sebagai Kota Otonomi Khusus yang dibangun dengan konsep `Sejong Smart City`," tapi gagal sebagai ibukota negara Korea.
Menghitung Peluang
Kalau MK di Korea Selatan dengan gagah berani membatalkan rencana pindah ibukota yang digagas penguasa di sana maka bagaimana halnya dengan Indonesia? Saat ini gugatan terhadap UU IKN sedang berproses di MK.
Terbuka peluang bagi MK untuk membatalkan UU IKN berdasarkan data data dan fakta yang ada. Berdasarkan dalil-dalil yang dimajukan oleh para penggugat, dapat disimpulkan bahwa UU IKN bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatannya. Karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana.
Dengan demikian dapatlah dikatakan pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau ketentuan yang ada.
Pembentukan UU IKN dalam pembentukannya dinilai tidak memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis yang menjadi landasannya.
Pada kenyataannya, kebijakan untuk melakukan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur belum melalui kajian yang mendalam serta belum melibatkan pihak yang luas untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusannya. Oleh karenannya kebijakan ini dinilai bertentangan dengan falsafah IKN sebagai sebuah tempat penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tergambar juga sebagaimana dalam dalil pemohon, bahwa pemindahan IKN tidak disusun dengan rencana yang berkesinambungan untuk tujuan jangka panjangnya. Hal ini tentu menegasikan filosofi pembangunan negara Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu kebijakan pemindahan IKN dinilai tidak mempertimbangkan aspek sosiologis kondisi nasional dan global yang tengah menghadapi pandemi virus corona.Sementara masih ada agenda dan kebutuhan lain bangsa yang lebih urgen dibandingkan dengan memindahkan ibukota negara.
Tingginya penolakan masyarakat terhadap perpindahan IKN berdasarkan hasil survei juga dapat disimpulkan bahwa UU IKN tidak benar-benar dibutuhkan dan oleh karenanya UU IKN bertentangan peraturan bertentangan kehasilgunaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.atau ketentuan yang ada.
Kesimpulannya UU IKN dinilai cacat secara formil (terkait prosedur pembentukanya) dan juga cacat materiil (bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hal ini Undang Undang Undang Dasar 1945).
Dengan adanya cacat formil dan materiil tersebut, UU IKN memang potensial dibatalkan oleh MK. Namun peluang pembatalan UU IKN ini nampaknya terbilang kecil jika kita berkaca pada kasus kasus uji formil dan materiil yang selama ini di ajukan ke MK. Banyak kasus yang akhirnya berujung kekecawaan bagi yang mengajukan gugatan ke MK.
Sebagai contoh, terkait uji materi UU No 2 Tahun 2020 (PERPPU No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara atau lebih dikenal dengan Perpu Corona. Dalamm kasus ini MK menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (1) adalah inkonstitusional statusnya. Namun agar bisa menjadi konstitusional, MK kemudian mengoreksi atau merubah pasal tersebut agar menjadi konstitusional.
Sehingga pasal 27 ayat (1) menjadi berbunyi “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK “……… dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” atau sesuai ketentuan yang ada.
Jadi menurut MK kalau ditambahkan kalimat “…… sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi virus corona serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” maka menjadi sah adanya.
Disinilah kita melihat MK telah melampaui kewenangannya karena lembaga ini seyogyanya hanya berwenang untuk menguji secara formil apakah proses pembuatan UU sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menguji apakah materi UU bertentangan atau tidak dengan UUD 1945.
Dengan kewenangannya tersebut maka MK semestinya hanya boleh menyatakan secara tegas dan sederhana: Apakah suatu UU dalam hal pembuatannya tidak melanggar prosedur sesuai ketentuan yang ada atau tidak dan juga menyatakan apakah suatu UU materinya bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak sehingga MK tidak boleh memberi interpretasi subyektif? Apalagi koreksi UU, yang awalnya melanggar UUD untuk diupayakan menjadi tidak melanggar UUD 1945 atau ketentuan lainnya.
Tetapi yang terjadi saat ini MK sering membuat tafsir, mengoreksi suatu UU dan kemudian membetulkannya. Padahal kalau UU secara formil dinilai menyalahi ketentuan prosedur pembuatannya, MK tinggal memerintahkan kepada pemerintah dan DPR agar dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan yang ada di UU No 12 Tahun 2011 (sebagaimana telah diubah oleh UU No 15 Tahun 2019).Demikian pula kalau UU itu secara materiil bertentangan dengan UUD 1945, maka MK harus menyatakan secara tegas sebagai inkonstitusional dan kemudian membatalkan sebagian atau keseluruhannya.
Keganjilan juga terjadi pada waktu MK memutuskan untuk “mengadili” UU Cipta Kerja. Seperti diketahui MK telah memutuskan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena itu, MK memerintahkan agar pembentuk Undang Undang yaitu Pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja.
Keputusan MK tersebut dinilai sebagai sebuah keputusan yang bersifat ambigu karena menimbulkan banyak tanda tanya. Sebenarnya kalau suatu Undang Undang itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat maka Undang Undang itu mengandung makna inkonstitusional selama syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi oleh pembuatnya.
Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah syarat formil yaitu memperbaiki proses pembuatannya dan juga syarat materill yaitu tidak lagi bertentangan dengan ketentuan yang ada di atasnya dalam hal ini UUD 1945. Karenanya selama tidak memenuhi prasyarat tersebut, Undang Undang yang bersangkutan mestinya dinyatakan tidak berlaku dan kembali kepada peraturan yang lama.
Tetapi aneh dan ajaibnya, Undang Undang Cipta kerja di nyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK tapi tetap dinyatakan berlaku sampai dengan diperbaiki selama kurun waktu dua tahun lamanya. Inilah yang dinamakan keputusan ambigu dan terkesan hanya untuk mengelabuhi pihak pihak yang selama ini menjadi penentang UU Cipta kerja.
Adanya keputusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja berstatus konstitusional bersyarat akan menciptakan ketidakpastian terhadap perundangan-undangan Indonesia. Karena semestinya jika suatu UU dinyatakan inkonstitusional maka UU tersebut harus dinyatakan batal demi hukum dan tak harus ada embel embel lainnya. Supaya tidak ada manipulasi pengertian “bersyarat” yang dibalik pengertiannya.
Karena adanya keanehan keanehan putusan hakim MK itu sering kemudian muncul akronim MK sebagai bukan Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Kompromi karena keputusannya sering ingin mencari “jalan aman” untuk menjembatani kepentingan aspirasi publik dan kehendak penguasa. Dengan sikap seperti ini muncul kesan bahwa MK tidak ada ketegasan pada keputusannya dan muncul indikasi MK hanya ingin mencari selamat saja.
Sepertinya MK yang cenderung berperan sebagai Mahkamah Kompromi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya campur tangan penguasa meskipun agak sulit pembuktiannya. Tapi paling tidak ada sinyal sinyal yang mengarah kesana.Dalam hal ini sekurang kurangnya ada 3 aspek yang perlu dicermati terkait dengan independensi hakim MK dan dugaan adanya intervensi penguasa.
Yang pertama, kemungkinan adanya barter politik dimana munculnya kecenderungan keputusan hakim MK untuk memenangkan kepentingan penguasa karena berkaitan dengan masa jabatan hakim MK. Sebagai bentuk “terima kasih” para hakim MK karena RUU tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sudah disahkan berlakunya.
Sebagaimana diketahui dalam UU tersebut masa jabatan hakim MK diperpanjang selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun. Sinyalemen tersebut diungkap oleh Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan yang menilai RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang sudah disahkan merupakan sebuah barter politik untuk hakim MK
"Jabatan 15 tahun diberi ke generasi yang sekarang, maka itu adalah suatu barter politik. Kalau baiknya untuk generasi mendatang, bukan sekarang," ujar Maruarar Siahaan dalam diskusi daring "Menguji Revisi UU Mahkamah Konstitusi di Mahkamah Konstitusi", Senin (7/9/20) seperti dikutip republika.
Yang kedua adanya “intervensi penguasa”. Sebagai contoh untuk UU Cipta Kerja misalnya Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah meminta kepada MK agar menolak Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja. Yaitu menolak permohonan pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker tidak bertentangan dengan UUD RI 1945.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara "Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019" yang dihadiri Ketua MK Anwar Usman beserta para hakim konstitusi; Ketua DPR Puan Maharani, dan Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali serta para pejabat terkait lainnya.
Yang ketiga, pengaruh komposisi Hakim MK. Pemilihan anggota MK yang berasal dari 3 (tiga) lembaga negara melambangkan mekanisme representasi dari 3 (tiga) cabang utama kekuasaan negara yang berbeda. Sehingga ada 3 hakim konstitusi yang dipilih oleh presiden, 3 hakim konstitusi dipilih DPR, dan 3 hakim konstitusi dipilih MA.
Meskipun komposisi hakim MK berasal dari tiga cabang utama kekuasaan yang berbeda namun diharapkan posisi hakim tersebut tidak mengintervensi keberadaan MK karena setelah diangkat menjadi hakim konstitusi maka setiap hakim konstitusi harus menampilkan dirinya sebagai hakim MK yang tidak lagi terpengaruh oleh mekanisme pemilihan dari mana dan oleh siapa diangkatnya.
Namun hal tersebut nampaknya baru sampai kepada tahapan wacana belaka karena prakteknya bisa berbeda. Mengingat kondisi politik saat ini dimana antara Pemerintah dan DPR termasuk MA sudah seiring sejalan sehingga bisa saja main mata dalam pengambilan keputusannya. Prinsip chek and balances tidak berjalan sebagaimana harapan kita bersama.
Dengan adanya fenomena tersebut, sangat terbuka peluang adanya gangguan independensi para hakim MK dalam memutuskan suatu perkara khususnya terkait dengan perkara perkara yudisial review yang akhir akhir ini banyak di ajukan ke MK sehubungan dengan maraknya revisi UU yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas maka sangat mungkin keputusan hakim MK nantinya terkait dengan gugatan atas UU IKN akan berakhir sama dengan UU Cipta Kerja. Dimana UU IKN dinyakan inskonstitusional bersyarat namun tetap dinyatakan berlaku sampai waktu tertentu sambil diperbaiki oleh pihak pembuat UU mana mana yang dianggap mengandung kelemahan dalam proses pembuatan maupun materinya.
Sulit membayangkan MK akan menjalankan fungsi dan tugasnya secara independent sehingga berani “mengadili” UU IKN sesuai dengan kewenangannya. Berani membatalkan UU IKN jika dinilai melanggar syarat formil dan berani membatalkan sebagian atau keseluruhan materi UU IKN jika dinilai bertentangan UUD 1945. Tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi tanpa diduga duga. Siapa tahu hakim MK tiba tiba berubah menjadi reformis dan berani memutus suatu perkara sesuai dengan suara hati nuraninya.
Mari kita sama sama menduga-duga.