SEKOLAH: Potret pendidikan pedalaman di Indonesia - Foto Nett |
Oleh: Rum Aisha Zahra - Mahasiswa Psikologi UMM
Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Segala sistem yang berlaku dalam negara ini diperuntukan untuk kemakmuran rakyat, termasuk sistem pendidikan yang ada hingga saat ini. Namun, dalam praktik di keseharian hal tersebut tidak mudah untuk diwujudkan, diperlukan proses serta kesadaran tiap individu dalam rangka kemanusiaan. Hal itulah yang ingin disampaikan oleh Paulo Freire, akibat adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan, ketidakadilan dan ketimpangan yang terkait dengan kebijakan, pemaksaan kehendak, serta berbagai kekerasan. Dampak buruk dari hal tersebut yang mengilhaminya untuk membentuk suatu sistem yang berkemanusiaan bagi semua pihak. Pengalaman dalam kehidupan nyata serta peristiwa yang diamati dalam kacamata pandangnya itulah yang menjadi pendorong dalam mengadakan perubahan yang berperikemanusiaan. Nilai-nilai yang ia tumpahkan dalam “Pendidikan Kaum Tertindas” seakan-akan menjadi pedoman bagaimana suatu ‘pendidikan’ yang tepat berjalan, termasuk di Indonesia.
Setelah kemerdekaan, Indonesia berusaha untuk lepas dari bayang-bayang kolonialisme, termasuk dalam hal sistem yang diberlakukan untuk peserta didik di ruang lingkup pendidikan bangsa. Kurikulum merupakan hal sentral yang akan mengatur bagaimana proses belajar dan mengajar secara tepat diaplikasikan. Akan tetapi, dalam suatu perumpamaan kaum tertindas dan penindas, sistem pendidikan di Indonesia pada awalnya juga dapat dikatakan demikian. Pendidikan yang seharusnya bagi Freire adalah yang melibatkan semua pihak, bukan hanya segelintir kelompok saja—adanya pihak yang memberikan perintah dan pihak yang mendapatkan dan melaksanakan perintah. Hal itu bertentangan dengan hak kebebasan dalam tiap individu (terkait hal humanisasi) yang dicanangkan oleh Paulo Freire. Secara tidak langsung, peserta didik di Indonesia pernah menjadi pihak dari kaum tertindas tersebut. Sebagai contoh pada Rencana Pelajaran Terurai 1952, berdasarkan pernyataan Maimuna Ritonga (2018) menyatakan bahwa kurikulum ini memang tetap memperhatikan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari bagi peserta didik, tetapi mereka masih diposisikan sebagai objek yang menjadi wadah. Peserta didik hanya menerima segala pengetahuan yang diberikan oleh pengajar, sehingga pengajar berperan sebagai subjek.
Hal yang terjadi pada kaum tertindas ialah dehumanisasi, akibat adanya ketidakadilan, eksploitasi, dan kekerasan. Perubahan dalam rangka meraih adanya kebebasan merupakan langkah awal yang hanya bisa dilakukan oleh kaum tertindas itu sendiri untuk merenggut kembali humanisasi yang dimiliki. Maka dari itu, Freire menyebutkan perlunya kesadaran untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi pada mereka, karena dengan mengetahui maka pemikiran kritis akan terbentuk dan timbul perjuangan pembebasan untuk lepas dari ikatan yang tidak memberikan pilihan menjadi manusia seutuhnya. Proses tersebut tidak akan berubah jika kaum tertindas tidak terlibat langsung dalam usaha perubahan tersebut.
Jika dianalogikan dalam sistem pendidikan di Indonesia, perubahan kurikulum yang terjadi merupakan suatu perjuangan dalam kebebasan bagi peserta didik. Sistem pendidikan lama yang dinamai sistem bank oleh Freire (praktik pendidikan yang menjadikan siswa sebagai objek bagi guru dalam memberikan pengajaran), dianggap kurang tepat karena merefleksikan adanya penindasan yang hanya menerima tanpa adanya tindakan bersama-sama. Hal ini yang ingin dibenahi oleh Paulo Freire, ia menciptakan alternatif lain yang dinamakan problem posing education atau pendidikan hadap masalah. Menitikberatkan pada konsientisasi, dimana pengajar dan pelaku pendidikan berusaha memahami keadaan nyata yang benar-benar diperlukan oleh peserta didik. Usaha bersama-sama dalam memahami dunia, membaca situasi, mencari pengetahuan, dan mendapatkan penyelesaian dalam suatu masalah. Semua pihak berperan sebagai subjek pada satu objek yang sama, yaitu pendidikan itu sendiri. Usaha pemerintah dalam menyempurnakan kurikulum demi kebutuhan akademik dan menyesuaikan dengan kondisi dari aspek lainnya mebuahkan terbentuknya Kurikulum 2004 (KBK) yang mendekati konsep dari problem posing education. Kurikulum Berbasis Kompetensi memberikan perhatian secara menyeluruh pada kemampuan peserta didik dalam proses pendidikan sedangkan pengajar berperan sebagai rekan dan fasilitator yang akan mendorong pemikiran kritis. Langkah tersebut disebutkan juga sebagai proses praksis dalam artian lain adanya interaksi erat antara aksi dan refleksi, karena dalam pemikiran akan timul sebuah perenungan. Dalam bukunya Freire menyebutkan pada tahap awal usaha pembebasan bisa saja dianggap sebagai pembalikan peran antara kaum tertindas dan penindas. Begitupun yang terjadi pada penerapan KBK, perubahan tersebut mengakibatkan kebingungan terutama bagi peserta didik dan pengajar. Walaupun demikian, kurikulum dengan mengkiblatkan pada pendidikan hadap masalah terus dikembangkan dan disempurnakan hingga sekarang dengan adanya Kurikulum Merdeka.
Penerapan nilai yang disampaikan oleh Paulo Freire terjalin dalam keseluruhan sisi-sisi kehidupan peserta didik. Pemberlakuan kurikulum tertentu memberikan efek secara langsung pada peserta didik itu sendiri. Perubahan peran peserta didik dari objek hingga menjadi subjek menciptakan individu dengan pemikiran kritis dalam menemukan solusi dari suatu permasalahan. Kemampuan peserta didik pun dapat tereksplor lebih dalam dan beragam karena adanya kebebasan yang menjadikan manusia mandiri dan bertanggung jawab dalam menentukan pilihan. Proses dalam perubahan itu tentu tidak secara langsung dapat teraplikasikan pada setiap orang. Hal itu memerlukan proses secara bertahap melalui trial and error hingga pada titik tertentu perubahan yang ada akan menjadi suatu bagian diri yang tepat bagi masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, menciptakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial—sesuai dengan cita-cita bangsa. Disertai dengan pendampingan dari pengajar dalam kegiatan belajar yang akan menciptakan dialog yang dimaknai Freire sebagai unsur dengan intinya adalah kata yang terdiri atas aksi dan refleksi (praksis).
Dialog merupakan seni komunikasi dua arah yang menuntun pada kerendahan hati sehingga muncul sifat kemanusiaan bagi tiap-tiap orang dalam kelompok masyarakat. Penerapan dialog dalam interaksi seorang mahasiswa dan dosen misalnya, akan menciptakan lingkungan belajar dan mengajar yang nyaman melalui kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut biasa disebut dengan kontrak belajar. Kontrak belajar tidak terbentuk melalui satu pihak saja agar dapat mencapai fungsi yang sebenarnya. Melalui kontrak belajar akan menciptakan pendidikan yang dialogis yang di mana penerapannya berdasarkan pada kebutuhan dan kenyataan yang dihadapi. Ditambah dengan adanya kesadaran terkait hakikat manusia dari masing-masing individu, persamaan derajat, dan pemenuhan kepercayaan sehingga menciptakan perubahan dunia ke arah yang lebih baik.
Setiap poin penting yang disampaikan oleh Paulo Freire dapat dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari karena perubahan yang diinginkan sang tokoh akan selalu mengatasnamakan nilai kemanusiaan. Sebagai individu sudah seharusnya memperhatikan dengan seksama kesinambungan kehidupan masyarakat dengan sistem pendidikan yang ada. Hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan kesadaran yang terus berkembang dan menghasilkan masyarakat yang berperikemanusiaan. Adapun perbedaan dijadikan cara dalam mengembangkan pemikiran yang terarah sebagai lahan untuk bertumbuh melalui metode praksis dan dialogik. Pada akhirnya, langkah awal melalui perubahan kecil dari diri sendiri akan menjadikan perubahan yang lebih luas di masyarakat.