Saat KPK Menagih Senjatanya

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Dalam kesempatan rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, hari Rabu tanggal 30 Maret 2022 yang lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah meminta Komisi III DPR agar segera mengesahkan dua rancangan undang-undang (RUU) yakni RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan yang sudah lama tertunda.

RUU Perampasan Aset sudah diinisiasi sejak tahun 2003 bahkan sudah pernah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa pada periode keduanya.RUU ini kemudian juga masuk ke dalam Prolegnas periode 2020-2024 saat Presiden Jokowi berkuasa. Sementara itu RUU Penyadapan sudah pernah masuk Prolegnas tahun 2015-2019, meskipun belum menjadi prioritas untuk diselesaikan segera.

Dua RUU yaitu RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan nampaknya memang sudah lama dinantikan oleh jajaran KPK supaya disegerakan pengesahannya. Kedua beleid ini bisa disebut sebagai senjata yang sudah begitu lama dirindukan kehadirannya oleh KPK.

Apakah KPK saat ini memang lemah kinerjanya sehingga perlu tambahan senjata untuk meningkatkan kinerjanya? Apa urgensi pentingnya disahkannya kedua RUU tersebut dalam upaya meningkatkan kinerja Lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia? Mengapa kedua RUU tersebut sampai sekarang masih terlunta lunta proses pengesahannya? Mungkinkah kelembagaan KPK akan bertambah kinclong kinerjanya jika kedua RUU tersebut disahkan berlakunya?

Ketika ramai ramai pembahasan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No. 19 Tahun 2019 (Revisi UU KPK), telah terjadi pro dan kontra. Bahwasanya revisi UU KPK itu dimaksudkan untuk menguatkan KPK. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa perubahan UU KPK tersebut justru akan melemahkannya.

Waktu berlalu, ditengah adanya pro dan kontra, revisi UU KPK akhirnya kelar juga. Pasca disetujui revisi UU KPK ada yang berpendapat bahwa kondisi kelembagaan KPK semakin kuat dan semakin meningkat kinerjanya. Penilaian ini misalnya disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo. Ia menilai KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri sudah sangat meningkat kinerjanya.

"Kami mengapresiasi kepada KPK yang salah satu poinnya adalah memperkuat sistem. Dengan memperkuat sistem inilah, KPK dipimpin oleh Pak Firli ini sudah menunjukkan hasil-hasil yang sangat signifikan, “kata Tjahjo, dalam acara Launching Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2021 "Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia" yang disiarkan kanal Youtube KPK. "Dan sekarang ditambah lagi oleh KPK yaitu tata kelola dana desa, manajemen aset, dan masalah-masalah perizinan," kata Tjahjo sebagaimana dikutip Antara 23/12/21.

Penilaian positif juga disampaikan oleh Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota DPR RI Komisi III.Ia mengapresiasi kinerja KPK tahun 2021 lalu yang bekerja maksimal dengan menyelamatkan keuangan negara Rp35,9 triliun dan memulihkan aset negara sekitar Rp374,4 miliar.

"Ini sebuah prestasi, namun KPK jangan terlalu puas diri. KPK harus lebih melakukan refleksi apa yang menjadi kekurangan dan dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara baik ke depannya," kata Andi Rio dalam keterangannya di Jakarta 31/12/21 sebagaimana dikutip Antara.

Sejalan dengan Andi Rio Idris, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani juga menyatakan kinerja KPK mengalami peningkatan di awal tahun 2022. Adapun aspek kinerja KPK yang dipandang meningkat tersebut adalah dalam hal operasi tangkap tangan (OTT).“Memang ada peningkatan kinerja terkait dengan penindakan korupsi yang berbasis OTT,” katanya sebagaimana dikutip pers, Minggu (23/1/2022).

Selain penilaian positif, KPK era Firli Bahuri pasca adanya perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No. 19 Tahun 2019, dinilai telah menunjukan segudang implikasi negatif dimana yang paling utama adalah buruknya kinerja KPK. Kinerja buruk ini bisa dilihat dari aspek pencegahan maupun penindakan yang dilakukannya. Belum lagi dari aspek kinerja internal, pimpinan KPK yang saat ini nampaknya lebih suka mempertontonkan kontroversi, daripada mencetak prestasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh ICW, praktis seluruh sektor kinerja penindakan mengalami penurunan drastis dibandingkan era sebelumnya. Mulai dari jumlah penyidikan, penuntutan, sampai pada eksekusi putusan, hampir semuanya mengalami penurunan sehingga membuat publik kecewa. Yang paling mencolok, KPK era Firli sangat buruk dalam melakukan kinerja penindakan, terbukti dari menurunnya jumlah OTT, ketidakjelasan penuntasan tunggakan perkara, kegagalan meringkus buronan, problematika supervisi dan pengambilalihan perkara.

Selain buruk dalam kinerja penindakan, sektor pencegahan yang dilakukan KPK juga belum optimal kerjanya. Revisi UU KPK juga ternyata sama sekali tidak menjawab permasalahan pencegahan korupsi yang awalnya menjadi target utama.

Bukan cuma kinerja penindakan dan pencegahan yang dinilai mengecewakan, kinerja internal organisasi pun sama problematisnya. Sejak awal memang sebagian besar Komisioner KPK periode 2019-2023 telah menuai banyak masalah sejak proses pencalonannya. Permasalahan internal itu antara lain mulai dari pimpinan yang mengabaikan perlindungan terhadap pegawai dalam kasus di PTIK, potensi maladministrasi pengembalian penyidik Rossa Purbo Bekti, pimpinan yang kental dengan gimik politik, polemik rencana kenaikan gaji komisioner, pembelian mobil dinas di masa pandemi, dan berbagai masalah lainnya.

Berangkat dari kondisi sebagaimana dikemukakan diatas pada akhirnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) tidak ragu untuk memberikan rapor merah terhadap kinerja KPK era Firli Bahuri cs. Hal ini tertuang dalam hasil evaluasi kinerja KPK periode Desember 2019-Juni 2020. Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, KPK era ini memasuki masa yang paling suram dalam sejarah perjalanan KPK .

Mungkin menyadari kondisi ini yang membuat KPK era sekarang merasa perlu berbenah diri untuk meningkatkan kinerjanya. Salah satu kendala bagi peningkatan kinerja adalah belum adanya ketentuan atau peraturan yang bisa membuat KPK lebih digdaya. Dalam hal ini KPK masih memerlukan tambahan “senjata” untuk membuatnya lebih optimal dalam bekerja. Mungkinkah harapan dari pimpinan KPK agar RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan segera disahkan menjadi faktor utama yang bisa meningkatkan kinerjanya?

Urgensi Dua Senjata

Kiranya sangat wajar dan sudah sepantasnya kalau pimpinan KPK menginginkan adanya tambahan senjata dalam meningkatkan kinerjanya. Dua tambahan senjata itu adalah adanya Undang Undang tentang Penyadapan dan UU Perampasan Aset yang sudah lama di bahas tapi masih belum menjadi Undang Undang sebagaimana harapan mereka. 

1.RUU Penyadapan

Pentingnya disahkan RUU Penyadapan mengingat selama ini terbukti bahwa keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus-kasus kakap yang menyedot perhatian masyarakat, sebagian besar didukung melalui hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK.

Beberapa kasus kakap yang berhasil diungkap KPK melalui mekanisme penyadapan di Indonesia, diantaranya: 1. Kasus Suap DPRD Banyuasin, 2.Kasus Politikus PDIP Ardiansyah,3. Kasus Luthfi Hasan Ishaq (mantan Presiden PKS), 4.Kasus Akil Muchtar (Mantan Ketua MK) dan sebagainya.

Dengan demikian penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana korupsi sejatinya merupakan salah satu kekuatan lembaga tersebut di dalam membongkar pelaku kasus tindak pidana korupsi yang memang telah mengakar dan menggurita di Indonesia.

Dalam konteks penegakan hukum baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan, hasil penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dijadikan sebagai perluasaan sumber alat bukti petunjuk sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d Jo. Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/ KUHAP) dalam kasus korupsi yang berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Namun di balik keberhasilan KPK membongkar kasus tindak pidana korupsi terjadi suatu penilaian yang bertolak belakang bahwa penyadapan yang dilakukan KPK dinilai telah melangar beberapa aturan yang ada di Indonesia. Menurut Chairul Huda pengajar hukum pidana Universitas Muhamadyah Jakarta, penyadapan pada dasarnya melanggar privasi dari seseorang dan karenanya melanggar Hak Asasi Manusia. Sebab berdasarkan ketentuan yang ada, kehidupan pribadi setiap warga dijamin perlindungannya.

Oleh karena itu berkaitan dengan permasalahan penyadapan, tentunya perlu adanya batasan hukum untuk melakukan penyadapan, sehingga wilayah pribadi seseorang tetap di hargai agar tidak melanggar ketentuan yang ada. Dalam hal ini Kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan yang diberikan oleh UU KPK hasil revisi belum memuat penjelasan yang rinci didalamnya. Dengan kata lain masih adanya kekosongan Hukum mengenai mekanisme dan batasan batasannya.

Oleh karena itu tata cara penyadapan secara sah ini perlu diatur secara komprehensif didalam RUU Penyadapan sebagai panduan bagi pihak pihak yang akan menggunakannya. Agar supaya mereka yang akan melakukan penyadapan tidak melanggar hak hak pribadi warga negara disatu sisi dan disisi lain tidak menghalangi upaya untuk mengungkap kasus pidana korupsi yang saat ini merajalela di Indonesia.

Hal-hal yang perlu diatur dalam RUU Penyadapan antara lain ketentuan mengenai kewenangan melakukan penyadapan, metode atau mekanismenya, syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk bisa dilakukan penyadapan, jangka waktunya, penggunaan data hasil penyadapan, kemampuan operator telekomunikasi serta diperlukan ancaman pidana bilamana terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya.

Prinsipnya, setiap tindakan yang dilakukan ataupun produk hukum yang diciptakan harus memperhatikan aspek hak asasi manusia, karena negara tidak boleh sewenang wenang bertindak yang mengakibatkan terlanggarnya hak asasi seseorang, penegakan hukum tindakan penyadapan harus dilakukan dengan dasar hukum yang kuat dan jelas pengaturannnya. Agar jangan sampai dikarenakan dasar hukum yang kurang kuat dan pengaturannya yang tidak jelas dan komprehensif, hak-hak warga negara menjadi terabaikan perlindunganya.

Dualisme kepentingan dalam proses penyadapan antara perlindungan hak azasi warga negara disatu sisi dan keharusan untuk bisa mengungkap kejahatan tindak pidana korupsi di pihak lain menjadi penting untuk bisa diformulasikan pengaturannya secara adil dalam RUU Penyadapan sehingga sangat wajar kalau perlu segera dilakukan pengesahan RUU Penyadapan untuk dijadikan landasan KPK dalam bekerja. 

RUU Perampasan Aset

Bagaimanapun keberadaan RUU Perampasan Aset sangat penting bagi penegak hukum dalam upaya proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi terutama yang ada di mancanegara. Selama ini kewenangan penegak hukum dalam perampasan aset masih terbatas, meskipun terdapat UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun proses eksekusi aset membutuhkan waktu panjang, mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi setidaknya membutuhkan waktu dua tahun lamanya.

Saat ini selain UU No.8 Tahun 2010, terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perampasan asset, seperti dalam Pasal 10 KUHP, perampasan aset masuk dalam pidana tambahan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).

Tak hanya itu, pengaturan perampasan aset tanpa pemidanaan, seperti Pasal 67 UU 8/2010 jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lainnya. Kemudian Pasal 32, 33, dan 34 UU 31/1999 melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Namun demikian, bagi aparat penegak hukum pengaturan dalam proses tersebut masih dirasa belum cukup fleksibel dan belum sesuai kebutuhan yang ada. Karena itu, dibutuhkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana penting untuk dapat disahkan menjadi UU sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhan, RUU Perampasan Aset penting untuk segera diundangkan segera. Tujuannya, agar upaya pemberantasan korupsi semakin dikebut sehingga tercapai tujuannya."RUU Perampasan Aset ini menjadi penting khususnya terhadap pemberantasan korupsi. Mengingat gap antara kerugian keuangan dengan uang pengganti masih sangat tinggi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhan dalam keterangan tertulisnya, Senin, 20/12/21 seperti dikutip media.

Menurut Direktur Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mungki Hadipraktito, terdapat lima poin urgensi pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana:

Pertama, menghemat waktu dan biaya penanganan perkara. Sebab, tahapan perampasan aset membutuhkan waktu panjang sejak penyelidikan hingga eksekusi barang rampasan aset hasil tindak pidana. Bila menggunakan instrumen yang terdapat dalam RUU Rampasan Aset Tindak Pidana bakal jauh lebih efisien dari sisi waktu dan biaya.

Kedua, jangkauan perampasan aset lebih jauh dari peraturan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan potensi asset recovery-nya. Terdapat beberapa kriteria aset yang dapat dirampas, seperti aset yang diperoleh hasil dari tindak pidana; aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan aset; aset yang merupakan barang temuan; aset sitaan dari tindak pidana; dan aset yang sah untuk mengganti dari tindak pidana.

Ketiga, substitusi aset untuk aset yang tidak dapat disita di mancanegara. Menurutnya, bila terdapat aset hasil tindak pidana di luar negeri yang tidak dapat dirampas, maka dapat diganti aset yang setara nilainya. Dengan begitu, tidak perlu merampas dengan mekanisme yang sulit menggunakan mutual legal asistance (MLA) yang panjang prosesnya.

Keempat, pengelolaan aset sitaan/rampasan di satu lembaga bakal lebih efektif dan efisien. Praktik di lapangan, kendati terdapat rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), namun masing-masing institusi penegakan hukum melakukan pengelolaan barang rampasannya.

Kelima, menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh. Menurutnya, melalui mekanisme tersebut termohon harus bisa membuktikan harta yang dihasilkan bukanlah hasil tindak pidana. Dalam Pasal 37 UU 31/1999 sudah mengatur pembuktiakn terbalik. Sayangnya, terbatas pengaturannya.

Mengapa Tak Kunjung Disahkan?

Keinginan pimpinan KPK agar supaya RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan bisa disahkan segera agaknya tidak bisa segera diwujudkan sesuai dengan harapannya. Sebab kedua RUU ini belum akan dibahas dalam waktu dekat karena pemerintah dan DPR kini tengah memprioritaskan revisi Undang-undang (UU) 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan (PPP)yang dinilai lebih mendesak pembahasannya.

Untuk diketahui Pemerintah dan DPR lebih memprioritaskan revisi Undang Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan, mengingat adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Undang Undang Cipta Kerja. Bahwa proses pembuatan RUU Cipta Kerja dinilai cacat formil karena proses pembuatannya dinilai tidak sesuai dengan tata cara dan ketentuan yang ada.

Di dalam Undang Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan, tidak diatur soal pembuatan Undang Undang yang menggunakan metoda omnibuslaw seperti halnya pembuatan UU omnibuslaw cipta kerja, sehingga perlu direvisi ketentuannya.

Selain itu, beriringan dengan pembahasan revisi UU PPP, pemerintah-DPR juga akan mengutamakan membahas revisi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja."Kami kan sudah bilang, ini kan setelah kita nanti selesaikan revisi 12/2011, revisi Undang-Undang PPP, kemudian revisi Undang-Undang Cipta Kerja, kami akan masuk ke yang itu," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2022) seperti dikutip media

Selain RUU PPP dan UU Cipta Kerja, menutut Yasonna Laoly mengatakan bahwa pemerintah bakal memprioritaskan pembahasan RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN). Hal itu disampaikannya setelah ditanya soal tindak lanjut RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang tak kunjung diselesaikan, padahal Presiden Jokowi meminta percepatan pengesahannya"Prioritas kami akan lebih dulu mendahulukan RUU IKN," kata Yasonna di Gedung Sekretariat Jenderal Kemenkumham, Jakarta, Kamis (6/1/22).

Kegagalan RUU Perampasan Aset masuk prolegnas prioritas di DPR sudah terjadi sejak Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa. Direktur Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim mengatakan, pihaknya sudah memperjuangkan pengesahan RUU ini sejak zaman SBY hingga pemerintah yang sekarang berkuasa. Namun, RUU ini tetap tak pernah masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR.

"Hanya masuk long list, ini saja enggak cukup, yang penting itu masuk (prolegnas) prioritas sehingga dibahas pada tahun itu, nah itu kita selalu mengalami kegagalan," kata Fithriadi dalam diskusi secara daring, Kamis (25/11/2021).

Perihal mengapa RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman disebabkan karena ada ketakutan dari DPR atau pejabat publik jika RUU Perampasan Aset disahkan. “Karena RUU Perampasan Aset ini kemungkinan ditakuti oleh DPR, dan elite politik karena bisa menyasar mereka yang selama ini punya kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya,” kata Zaenur, kepada pers, Jumat (17/9/2021).

Sejalan dengan Pukat UGM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md juga berpendapat sama. Dia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak yang takut apabila RUU Perampasan Aset tersebut disahkan segera."Terus terang, secara psikologis saya berdiskusi dengan beberapa teman di kantor saya, kenapa itu terjadi? Memang ada masalah yang agak menghawatirkan, dalam pengertian banyak orang yang takut," kata Mahfud dalam sebuah diskusi di Youtube Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia, Jumat (2/4/2021).

Pernyataan dari Menkopolhukam tentang adanya pihak pihak yang khawatir atau takut kalau RUU Perampasan Aset disahkan itulah rupanya yang membuat nasib RUU Perampasan Aset terkatung katung nasibnya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa gerangan pihak pihak yang khawatir dan takut itu sehingga menyebabkan pengesahan RUU Pengesahan aset menjadi tertunda ?.

Pemerintah sebagai salah satu pihak yang berkuasa dan yang mempunyai kewenangan untuk mendorong dan “memaksa” disahkannya RUU Perampasan Aset, apakah juga sedang dilanda ketakutan untuk menjalankan kekuasaaannya? Pada hal bukankah RUU itu telah menjadi keinginan kuat rakyat untuk bisa diwujudkan demi penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia? Tetapi mengapa pembuat Undang Undang seperti gamang untuk segera mengesahkannya?

Kalau penguasa saja merasa takut untuk mengambil sikap menentukan kebijakannya lalu bagaimana halnya dengan nasib rakyat jelata? Ketakutan yang melanda kalau RUU Perampasan Aset disahkan menjadi salah satu indikasi kuat betapa lemahnya political will pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Nasib RUU Perampasan Aset yang tak kunjung disahkan kiranya sama dengan nasib RUU penyadapan yang terkatung katung karena dianggap bukan RUU Prioritas sehingga pihak terkait tidak memasukkannya ke Prolegnas untuk bisa dibahas segera.

RUU yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat biasanya memang lambat dan kurang diprioritaskan penyelesaiannnya. Beda halnya dengan RUU yang bersingunggan dengan kepentingan pemilik modal dan kelompok oligarki, akan cepat pembahasannya. Karena biasanya ada mengandung “amunisi” didalamnya. Seperti misalnya RUU Minerba, RUU Cipta Kerja dan lain lainnya.

Khusus RUU Perampasan Aset, alasannya bukan sekadar karena dianggap kurang prioritas dibandingkan dengan RUU lainnnya tetapi juga karena disinyalir ada pihak pihak yang takut kalau RUU ini disahkan segera. Soalnya bisa saja kalau RUU ini disahkan bisa mengganggu kepentingannya atau bahkan akan menyasar pada dirinya. Logikanya buat apa dibuat Undang Undang yang justru nanti akan merugikan kepentingannya? Begitukah kira-kira?

Meningkatkan Kinerja

Mungkinkah kelembagaan KPK akan bertambah kinclong kinerjanya jika kedua RUU tersebut disahkan berlakunya? Pertanyaan ini tentunya relevan kalau diajukan ke pimpinan KPK yang begitu berharap agar supaya RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan bisa disahkan segera.

Relevan juga untuk dipertanyakan: apa target yang ingin dicapai KPK kalau kedua RUU tersebut sebagai senjata pemberantasan korupsi sudah di sahkan berlakunya.Sebab kalau tidak ada target pencapaian, rasanya akan sulit untuk mengukur keberhasilan peningkatan kinerja KPK setelah dua RUU terbut disahkan berlakunya.

Terlepas dari itu semua, RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan hanya salah satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakan hukum sehingga ia bukan segalanya. Karena penegakan hukum termasuk penegakan hukum pidana korupsi merupakan suatu proses sosial, yang tidak bersifat tertutup tetapi bersifat terbuka dimana banyak faktor yang akan mempengaruhinya.

Adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu yang pertama menyangkut substansi hukum atau aspek peraturannya, yang kedua adalah aspek struktur hukum, yang dapat dimaknai sebagai para pelaku penegak hukum yang akan menjalankan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan yang ada. Yang ketiga adalah faktor sarana dan prasarana yang menjadi pelengkap bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan amanah sesuai tugas dan fungsinya.

Faktor keempat adalah budaya hukum masyarakat karena penegakan hukum bukanlah diruang hampa, melainkan dilakukan di tengah-tengah masyarakat sehingga peran masyarakat sangat mempengaruhinya.

Faktor kelima dalam penegakan hukum adalah faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia. Aspek kebudayaan ini pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dinilai baik dan apa yang dinilai tidak baik sebagai acuannya.

Selain kelima faktor tersebut diatas, ada faktor lain yang sering disebut yaitu political wiil atau kemauan politik penguasa dalam penegakan hukum yang berkeadilan bagi bagi semua warga bangsa Politicall will ini seringkali justru menjadi faktor penentu wajah penegakan hukum di sebuah negara. Ini bukan berarti kemudian pemimpin negeri harus melakukan intervensi terhadap penegakan hukum yang ada dinegaranya.

Karena yang diinginkan sebenarnya bukan intervensi tetapi menjaga marwah agar penegakan hukum sesuai dengan cita cita bersama sesuai dengan yang tertuang di dalam konstitusi negara. Manakala penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan yang dikehendaki maka penguasa harus mempunyai kebijakan / kehendak politik untuk mengingatkan atau meluruskannya.

Dengan adanya banyak faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana dikemukakan diatas, mungkinkah pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan bisa meningkatkan kinerja KPK?

Dalam kaitan ini saya menjadi teringat perkataan seorang ahli hukum pidana Belanda bernama Taverne yang menyatakan: “hukum yang baik di tangan aparat yang buruk akan menjadi hukum yang buruk juga. Tetapi di tangan aparat-aparat yang baik, hukum yang buruk sekalipun dapat ditegakkan dengan baik,” demikian Taverne.

Pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Penyadapan bagaimanapun merupakan upaya yang sangat dibutuhkan untuk memperbaiki sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Tetapi adanya perbaikan dari sisi peraturan saja sepertinya tidak akan menjamin sepenuhnya upaya peningkatan kinerja KPK mengingat ada faktor faktor lain yang mempengaruhinya. Kalau menurut Anda bagaimana?


 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال