Mencium Aroma Orba di Pengisian Plt Kepala Daerah pada 2022 dan 2023

 

Desmond J Mahesa,Wakil  Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Ratusan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Sebanyak 101 kepala daerah hasil Pilkada 2017 habis masa jabatannya pada 2022, dan 170 kepala daerah hasil Pilkada 2018 yang masa jabatannya habis pada 2023.

Dalam menyikapi situasi tersebut Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016  tentang Tentang Perubahan Kedua Undang Undang Pilkada menghendaki bahwa akan dilakukan pengangkatan pejabat kepala daerah yang akan menjalankan tugas kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah periode berikutnya.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016, jabatan kepala daerah dapat diisi sesuai dengan terpenuhinya kualifikasi dan kriteria. Seperti untuk Pejabat Gubernur dan Walikota/Bupati yang masing-masing harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan jabatan pimpinan tinggi pratama.

Mengingat cukup banyak kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2022 dan 2023, tidak menutup kemungkinan terdapat pula potensi kurangnya kandidat yang dianggap memenuhi kualifikasi untuk pengisian kepala daerah di tahun 2022 dan 2023.Sebagai jalan keluarnya, ada potensi untuk penunjukan kepala daerah yang kosong tersebut dari kalangan polisi aktif maupun dari tentara.

Bolehkah menunjukkan kalangan polri dan tentara aktif untuk pengisian jabatan kepala daerah sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota di tahun 2022 dan 2023? Apa untung dan ruginya jika jabatan sipil diisi oleh unsur polisi dan tentara yang masih aktif menjalankan tugasnya? Bagaimana kemungkinan ditunjuknya unsur Polri dan tentara untuk mengisi jabatan sipil yang telah habis masa jabatannya? Mengapa penunjukan unsur Polri dan tentara dinilai mewarisi semangat orde baru (Orba)?

Tinjauan Aspek Yuridis

Secara yuridis, anggota Polri dan TNI aktif tidak diperkenankan untuk mengisi jabatan jabatan sipil sebagaimana diatur dalam dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Undang Undang ini mengharuskan pejabat setingkat madya diisi oleh aparatur sipil negara (ASN) bukan yang lainnya.

Larangan tersebut juga diatur dalam Undang Undang TNI Nomor 34 tahun 2004 dan juga Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Di dalam Undang Undang  TNI Nomor 34/2004, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, diatur juga di dalam Pasal 47 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Sementara itu dalam Undang Undang Polri Nomor 2/2002 dalam Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 28 Ayat 3 UU Polri No 2/2002 menyebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” negara.

Selanjutnya Undang Undang  Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara  mempertegas larangan penunjukan anggota TNI/Polri aktif menjadi Pj Gubernur. Pasal 109 ayat 2 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi tertulis sebagai berikut: "Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan, dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara kompetitif dan terbuka.

Larangan bagi unsur TNI dan Polri aktif menjabat menempati posisi jabatan sipil diperkuat oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diketahui MK menolak permohonan perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah.

Dalam pertimbangan MK, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih seperti dikutip media menjelaskan, pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 2024 merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya, sementara penjabat bupati/wali kota berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama.

Sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Namun, Enny menegaskan, pengisian jabatan pimpinan tinggi dari prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat menjadi gubernur dan bupati/wali kota harus dapat menjalankan fungsi yang diamanatkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam lingkup jabatannya maupun ketika diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Hal ini agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Untung dan Rugi

Seperti diketahui berdasarkan pendekatan sistem (System Approach), TNI dan Polri merupakan salah satu Sub sistem dalam ketatanegaraan yang dianut dalam UUD 1945 yang antara lain menegaskan  bahwa: Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan dan esensi dari negara hukum adalah pemerintahan harus berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), negara.

Bila dilihat dari sejarah demokrasi Indonesia, tentunya menjadi suatu kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, jika TNI / Polri aktif ikut ikutan berpolitik menduduki jabatan sipil yang proses pengisiannya telah dilakukan secara demokratis melalui pemilu/pemilukada. Selain itu gerakan reformasi telah mengamanahkan agar di hapusnya Dwifungsi ABRI dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Oleh karena itu sudah tepat kalau secara yuridis, TNI/POLRI dilarang untuk menduduki jabatan sipil karena jika dikaji secara lebih mendalam lebih banyak ruginya daripada untungnya. Dari sisi minusnya maka Gubernur., bupati atau Walikota yang bersal dari unsur Polri atau tentara akfif  bisa sangat mudah untuk di manipulasi oleh penguasa, apabila penguasa ingin mendukung calon pasangan tertentu yang menjadi jagoannya. Sehingga terjadinya manipulasi dalam penyelenggaran pilkada menjadi sangat terbuka peluangnya.

Jika pejabat sementara itu berasal dari Polri atau tentara maka akan sulit untuk melakukan penindakan bagi pejabat sementara tersebut bila menyalahgunakan jabatannya untuk mempengaruhi pilkada di daerahnya, mengingat TNI/Polri sebagai lembaga yang protektif terhadap anggotanya apalagi menyangkut citra lembaga. Selain itu bisa menyebabkan rusaknya citra TNI/Polri dimata masyarakat bila Pejabat sementara  dari perwira TNI/Polri tidak netral dalam menjalankan tugasnya.

Pengisian jabatan sipil oleh TNI dan Polri aktif juga akan menimbulkan anggapan dari masyarakat bahwa TNI/Polri ingin kembali masuk dalam dunia politik praktis, sehingga akan berdampak pada kepercayaan masyarakat yang semakin menurun kepada TNI/Polri dan hal tersebut tidak baik untuk keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Lagi pula dari sisi khittahnya, perwira tinggi TNI/Polri tidak memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai Pejabat sipil negara. Tupoksi pokok Polri adalah menjaga keamanan negara sementara Tupoksi pokok TNI menjaga kedaulatan negara. Makanya kalau TNI dan Polri ikut main politik bisa mengacaukan tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara karena akan muncul konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya.

Pengisian jabatan sipil oleh unsur perwira aktif dari TNI/Polri juga akan memunculkan kesan seolah olah stok pemimpin sipil yang memenuhi syarat /kriteria memang sudah habis sehingga perlu dicarikan dari kalangan TNI/Polri, apakah memang begitu kenyataanya?

Sungguhpun demikian ada juga yang memandang keuntungan jika TNI/ Polri menduduki jabatan sipil negara. Keuntungan itu diantaranya akan mempermudah koordinasi antara TNI/Polri dan pejabat sementara yang ditunjuk dari kalangannya. Terutama dalam rangka mengamankan dan menyukseskan Pemilu/Pemilukada yang akan berlangsung diwilayahnya.

Selain itu masyarakat lebih mudah mengawasi ada tidaknya netralitas TNI/ Polri pada saat penyelenggaraan Pilkada. Jika berhasil netral maka  akan  membawa dampak positif bagi institusi TNI/Polri untuk memperbaiki citra lembaganya.

Meskipun ada nilai positifnya tapi dampak buruknya dinilai lebih mengemuka sehingga ketentuan yang berlaku Indonesia  tidak mengijinkan perwira TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil yang telah habis masa jabatannya.

Potensi Penyimpangan

Meskipun sudah jelas adanya larangan bagi TNI/Polri menduki jabatan sipil yang telah habis masa jabatannya tetapi tetap terbuka peluang untuk adanya penyimpangan dengan alasan alasan yang dicari carinya. Presedennya sudah ada dan pernah dilakukan pada waktu Tjahyo Kumolo sebagai Mendagrinya.

Beberapa tahun silam pernah terjadi dimana beberapa anggota aktif TNI-POLRI yang diangkat sebagai pejabat kepala daerah karena habis masa jabatannya. Dalam perjalanan pilkada, kejadian aparat aktif jadi penjabat kepala daerah bukan kali pertama.

Pada 2018, ada dua jenderal polisi aktif yang ditunjuk sebagai penjabat daerah, yaitu: Komjen (purn) M. Iriawan dan Irjen (purn) Martuani Sormin. Iriawan yang waktu itu masih Asisten Operasi Kapolri menjabat sebagai Plt. Gubernur Jawa Barat, sementara Martuani didapuk sebagai Plt. Gubernur Sumatera Utara.

Bila ditarik ke belakang, ada nama Carlo Brix Teewu yang menjadi Pjs Gubernur Sulawesi Barat pada Desember 2016-Januari 2017. Di tubuh TNI, ada Mayjen Soedarmo yang pernah menjadi Plt. Gubernur Aceh sejak Oktober 2016. Karier militer terakhir Soedarmo adalah staf ahli bidang ideologi dan politik Badan Intelijen Negara (BIN). Ia lantas melakukan alih status sebagai ASN pada 2016 dengan menjadi Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Lalu, ada Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo. Tanribali dilantik Mendagri sebagai Penjabat Gubernur Sulsel pada 19 Januari 2008. Sehari sebelumnya, Tanribali diklaim sudah lepas jabatan di TNI dan menduduki kursi Staf Ahli Mendagri yang notabene setara eselon I.

Pengangkatan aparat aktif yang menduduki posisi jabatan sipil  tersebut didasarkan atas beberapa alasan di antaranya yakni keterbatasan pejabat dalam Kemendagri untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur pada 2017 sampai dengan pelaksanaan Pilkada 2018. Di samping itu, Mendagri tidak menghendaki penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pejabat kepala daerah, sebab dianggap berpotensi akan memobilisasi PNS untuk turut serta memihak salah satu pasangan calon dalam penyelenggaraan Pilkada (Pranata dan Makawi 2020, 272).

Tidak menutup kemungkinan apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu akan kembali terulang pada pengisian jabatan untuk Kepala Daerah di tahun 2022 dan 2023. Paling tidak sinyalemen ini dapat dibaca dari pernyataan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang membuka peluang bagi perwira tinggi TNI dan Polri untuk menduduki kursi penjabat (Pj) kepala daerah di tahun 2022 dan 2023.

Kapuspen Kemendagri Benni Irwan mengklaim bahwa opsi penunjukan TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah sudah sesuai aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Bahkan, Benny mengatakan penunjukan serupa sudah pernah dilakukan sebelumnya."Yang paling utama adalah kita memperhatikan aturan yang ada. Bagaimana diatur, baik oleh undang-undang, peraturan pemerintah, itu yang kita lakukan terlebih dahulu," kata Benni, Jumat (24/9/2021), sebagaimana dikutip CNN Indonesia.

UU Pilkada memang mengatur perihal pengisian kekosongan jabatan gubernur yang diangkat sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan madya. Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan “ Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan yang ada.

Berdasarkan pasal di Undang Undang tersebut lalu Mendagri saat itu mengeluarkan  Permendagri No.1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi kepala daerah. Pasal 4 ayat (2) Permendagri memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi pejabat gubernur berasal dari pejabat tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.

Disini Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi TNI/Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi Plt gubernur. Alasan keamanan akhirnya menjadi alasan lain untuk melegitimasi pengangkatan perwira aktif TNI/ Polri menjadi Plt. Pejabat daerah.

Berangkat dari fenomena diatas terkesan muncul adanya upaya akal akalan untuk melegitimasi TNI/Polri aktif agar dapat mengisi jabatan sipil yang telah habis masa jabatannya. Apakah modus seperti ini akan kembali di ulang untuk pengisian jabatan di tahun 2022 dan 2023?

Seharusnya pengangkatan Perwira TNI/Polri aktif menjadi Plt oleh Mendagri ditinjau kembali mengingat betapa sensitifnya permasalahn Pilkada di Indonesia. Oleh karena itu TNI/ Polri seharusnya bisa lebih bijaksana dalam merespon kebijakan Mendagri  dengan melakukan penolakan, sehingga dapat meningkatkan citra positif TNI/Polri di mata masyarakat Indonesia. Lebih lebih saat ini TNI/Polri terkesan sebagai alat kekuasaan dari pada alat negara untuk penegakan hukum yang adil bagi semua warga bangsa

Kalaupun Pemerintah melalui Mendagri merasa kekurangan sumberdaya manusia (SDM), sesungguhnya bisa mengambil SDM dari kementerian lain untuk menjadi Plt Gubernur, Bupati atau Walikota daripada menarik pihak Perwira Polri atau pun TNI aktif, karena masih banyak SDM-SDM dari kementerian lainnya.

Ada baiknya juga untuk merevisi ketentuan UU Pilkada terkait Plt Gubernur , Bupati/Walikota dengan memasukkan ketentuan bahwa Plt bisa di tunjuk dari akademisi/guru besar ataupun Pimpinan perguruan tinggi di wilayah tempat penyelenggaraan Pilkada. Mengingat bahwa masih banyak akademisi-akademisi yang berintegritas dan cocok untuk ditugaskan menjadi Plt kepala daerah karena memahami kondisi wilayahnya.

Aroma Orba

Kalau nantinya pemerintah masih tetap ngotot  berupaya untuk mengisi  jabatan di tahun 2022-2023 dari unsur TNI/Polri aktif maka dapat dipastikan pemerintah sekarang telah terjangkiti oleh wabah penyakit lama yaitu kerinduan untuk kembali ke zaman Orba.

Pada era orba keberadaan angkatan bersenjata dimana Polri dan tentara termasuk didalamnya, memang begitu dimanja. Mereka bisa menduduki jabatan-jabatan strategis yang seharusnya menjadi ranah sipil untuk mengisinya.

Semua itu berangkat dari pengamalan konsep dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesai). ABRI adalah suatu konsep yang muncul dari kebuntuan tentara Indonesia untuk tetap berkontribusi untuk negara selepas Indonesia berdaulat sebagai sebuah negara.

Kita tahu kalau setelah Indonesia merdeka, ada berbagai tantangan dari pihak luar yang mengancam kedaulatan Indonesia. Semua tantangan ini, kan, dihadapi oleh tentara Indonesia. Namun, setelah tantangan-tantangan dari pihak luar tersebut mulai terkikis satu per satu, pemerintah era tersebut mulai berpikir bagaimana caranya supaya tentara Indonesia bisa tetap terlibat lagi untuk negara.Melalui kebijakan dwifungsi ABRI ini dipercaya dapat mengakomodasi kebutuhan tentara Indonesia untuk terus berpartisipasi selepas kemerdekaan Indonesia.

Pada praktiknya, konsep dwifungsi ABRI era Orde Baru ini justru melenceng dari niat awalnya. Sebagai suatu organisasi, ABRI memiliki peran dalam proses penyusunan dan pelaksanaan pemerintahan negara. Peran ABRI sebagai organisasi militer era Orba ini dikenal dengan istilah “dinamisator dan stabilisator” dalam politik dan ekonomi bangsa.

Dalam prakteknya, dwifungsi ABRI telah membuat terkikisnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena melalui dwi fungsi ABRI memungkinkan ABRI mempunyai kekuasaan negara dan hal ini membuat demokrasi menjadi kehilangan makna. Selain itu, kerap terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ketika negara dibawah kekuasaan tentara. Militer dianggap terlalu mencampuri urusan sipil dan negara.

Ketika militer ikut campur tangan di pemerintahan, akan timbul perasaan superior di kalangan militer yang melihat bahwa dwifungsi adalah alat untuk mencampuri urusan segala pihak tanpa ada piha yang berani membendungnya. Timbul di kalangan militer (akibat perasaan superiornya) sehingga selalu menganggap sipil sebagai elemen yang lemah  tak becus mengurus dirinya.Dalam kondisi seperti ini  orang sipil seolah-olah tak mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu tanpa seizin militer yang begitu digdaya.

Trauma adanya pengaruh dominan militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka saat reformasi 1998 bergulir, salah satu tuntutan yang kencang disuarakan kelompok pro-demokrasi adalah pencabutan Dwifungsi ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terpilihnya Abdurahman Wahid alias Gus Dur sebagai presiden membuat tuntutan itu cepat dikabulkan lewat sejumlah keputusan yang diambilnya.

Dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999-2001) karena keburu dilengserkan, pemerintahan Gus Dur mencabut Doktrin Dwifungsi ABRI yang dalam implementasinya bermakna melepaskan peran tentara dalam sosial-politiknya. Militer aktif tidak lagi dilibatkan dalam politik partisan untuk mendukung Golongan Karya. Fraksi TNI-Polri dihilangkan dari parlemen Indonesia. Militer aktif tidak lagi menempati jabatan sipil yang selama ini dikangkanginya.

Menurut Agus Widjojo dalam Transformasi TNI (2015),  Purnawirawan yang pernah menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini menambahkan, reformasi TNI/ Polri sejatinya bukan merupakan perubahan, tapi pemurnian peran dan wewenang TNI sesuai dengan UUD 1945. Sebelumnya, peran TNI /Polri dianggap mengalami penyimpangan karena hadirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Sistem Pertahanan Keamanan Negara.

Kini ditengah maraknya kehidupan demokrasi dimana supremasi sipil menjadi panglimanya,akankah neo dwi fungsi ABRI akan kembali di praktekkan di Indonesia. Jangan sampai pengisian se kepala daerah di 2022 dan 2023 menjadi pintu masuk untuk kembalinya semangat Orba dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan berari mengkhianati agenda reformasi sekaligus mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu menjadi tugas setiap anak bangsa untuk ikut berkontribusi mengawasai jalannya pemerintahan agar tidak semakin jauh melenceng dari tatanan yang telah disepakati bersama. Jangan sampai karena munculnya ambisi kekuasaan lalu muncul upaya untuk kembali ke era orba yang telah terbukti membuat rakyat Indonesia sengsara.



Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال