Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Polemik soal Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) kembali mengemuka setelah video podcast Deddy Corbuzier yang mengundang nara sumber dari kaum LGBT ramai di bahas di sosial media. Konon gara-gara video podcastnya, Deddy Corbuzzer ditinggalkan oleh 8 juta follower-nya. Tayangan tersebut juga telah memancing tokoh tokoh nasional untuk angkat bicara. Salah satu tokoh yang bersuara adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui akun twitter pribadinya.
Menurut Mahfud MD LGBT dan pihak yang menyiarkan tayangannya belum ada pelarangan secara hukum di Indonesia. Hal ini dikemukakan usai menjawab pertanyaan dari Said Didu yang mengajukan pemahaman terkait polemik mengenai viral-nya konten Deddy Corbuzier dalam video YouTubenya.
Yang jelas munculnya tayangan di video podcastnya Deddy Corbuzzer itu telah memunculkan pro dan kontra di masyarakat kita. Lalu seperti apa gambaran pro kontra yang terjadi dalam menyikapi adanya LGBT ini di Indonesia? Apakah pro kontra tersebut pada akhirnya mempengaruhi pengaturan tentang LGBT di negara kita? Ke depan sebaiknya harus bagaimana pengaturannya?
Pro dan Kontra
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi topik hangat dan semakin marak diperbincangkan, baik di Indonesia pada khususnya, maupun dunia pada umumnya. LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah identitas, tetapi juga merupakan campaign substance and cover atas pelanggengan Same Sex Attraction (SSA). Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi keluarga.
Preferensi homoseksual itu hadir dalam keyakinan atas aktualisasi diri, pemikiran berisi pembenaran preferensi tersebut, dan keinginan yang mendorong untuk merealisasikannya. Perbuatan homoseksual itu mewujud dalam hubungan interpersonal sesama homoseksual. Selanjutnya, pembentukan keluarga LGBT adalah fase paling mutakhir dalam melanggengkan kedua perilaku yang lainnya, baik preferensinya maupun perbuatannya.
Salah satu dasar pemikiran yang membenarkan perilaku LGBT adalah falsafah etis hedonisme dimana Aristippus sebagai tokoh falsafah hedonisme dan murid Socrates menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hidup manusia adalah kesenangan dirinya.Manusia di dunia ini hidup dengan tujuan dapat membahagiakan diri mereka. Jikalau orang-orang LGBT bahagia bersama dengan orang yang mereka cintai, tanpa memandang apapun termasuk jenis kelamin, itu merupakan hal yang membuat mereka menjadi semangat untuk hidupnya.
Kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orangtua bisa menjadi faktor utama. Misalnya ada seorang anak perempuan yang sering melihat KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga) ayahnya memukul atau bahkan menyiksa ibunya, membuatnya membenci pria. Jadi, anak tersebut lebih memilih membela ibunya dan akhirnya lebih tertarik pada sesama jenis (lesbian) ataupun ingin mengubah jenis kelaminnya menjadi pria agar dapat melindungi ibunya. Karena beranggapan bahwa pria lebih kuat dari wanita.
Mereka yang pro LGBT juga menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, transgender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sesama jenis (homoseksual).
LGBT dianggap sebagai bagian dari hak azasi manusia sehingga beberapa negara di dunia pada akhirnya melegalkan hubungan sesama jenis tersebut bahkan hingga jenjang pernikahan antara sesama mereka. Tak hanya negara Eropa, tindakan ini juga diizinkan di beberapa negara Asia dan Amerika. Sekurang kurangnya ada 31 negara di dunia yang melegalkan LGBT dalam konstitusi mereka.
Mereka diantaranya: Belanda (2001), Belgia (2003), Kanada (2005), Spanyol (2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia (2008), Swedia (2009), Meksiko (2009), Argentina (2010), Islandia (2010), Portugal (2010), Denmark (2012), Inggris dan Wales (2013), Brasil (2013), Perancis (2013), Selandia Baru (2013), Uruguay (2013), Luxemburg (2014), Skotlandia (2014), Amerika Serikat (2015), Finlandia (2015), Greenland (2015), Irlandia (2015), Colombia (2016), Australia (2017), Jerman (2017), Malta (2017), Ekuador (2019), Taiwan (2019), Swiss (2019) dan Austria (2019).
Banyak yang setuju adanya LGBT sebagai bagian dari hak azasi manusia, namun banyak juga yang menolaknya. Mereka yang menolak adanya LGBT karena memandang pada dampak yang ditimbulkannya. LGBT dinilai lebih berbahaya dibandingkan kejahatan terorisme dan narkoba. Sebab, LGBT tersebut secara fitrah melanggar kodrat manusia dan agama serta tidak sesuai dengan Konstitusi dan Pancasila yang menjadi landasan dalam bernegara.
Pertama, hubungan sejenis ini melanggar kodrat manusia . Karena seharusnya hubungan manusia itu antara lelaki dan perempuan, yang fungsinya untuk melanjutkan keturunan bukan untuk kesenangan semata. LGBT mengakibatkan manusia tidak lagi memiliki keturunan, akhirnya kita akan mengalami putus generasi yang bisa memusnahkan manusia.
Kedua, LGBT melanggar Pancasila, khususnya Sila Pertama yang mengatur tentang Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi dasar dalam kehidupan di masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai manusia kita diperintah Tuhan untuk kawin dan memiliki keturunan, karenanya kita memiliki UU Perkawinan sebagai landasannya.
Ketiga, Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 dan 29 telah mengatur bahwa semua warga negara wajib untuk mematuhi ajaran agama masing-masing yang dianutnya, termasuk mematuhi larangan untuk kawin sesama jenis karena menyalahi kodrat manusia.Bahkan dalam Islam secara tegas di contohkan bagaimana kaum Luth dibinasakan lantaran mengabaikan larangan Tuhan kepadanya.
Telah nyata bahwa wahyu Tuhan mengutuk perilaku homoseksual sebagaimana tertuang di kitab Sucinya. Juga tidak akan ada akal sehat yang membenarkannya. Pun tidak akan ada pandangan berwawasan kebangsaan yang akan membelanya. Di luar itu, cuma akal dan pandangan yang bertekuk lutut di bawah hasrat pemenangan diri sendiri atau ketidaksadaran atas perusakan tatanan kemasyarakatan yang bermartabat saja yang mungkin mendukungnya.
Keempat, telah ditemukan banyak kasus kesehatan yang muncul dari perilaku LGBT. Menurut data WHO menyebutkan bahwa kaum Gay dan Transgender memiliki resiko 20 kali lebih besar tertular penyakit HIV/AIDS dibandingkan dengan populasi normal pada umumnya.
Kelima, LGBT dinilai sebagai penyakit kelainan jiwa harus disembuhkan bukan diakui keberadaannya. Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (Dit P2MKJN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Fidiansyah mengaku, Indonesia sudah memiliki sendiri buku pedoman kesehatan jiwa Indonesia. "Masalah LGBT adalah masalah kesehatan jiwa dan tegas dinyatakan (di buku pedoman kesehatan jiwa Indonesia)," ujarnya seperti dikutip media. Untuk itu, ia meminta semua pihak terus merapatkan barisan melawan LGBT karena dampak yang ditimbulkannya.
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya beberapa negara di dunia akhirnya melarang hubungan LGBT di negaranya. Sekurang kurangnya ada sepuluh negara yang diketahui melarang hubungan LGBT, bahkan beberapa diantaranya menerapkan hukuman mati sebagai ganjarannya. Beberapa negara yang melarang LGBT diantaranya : Brunei Darussalam, Nigeria, Arab Saudi, Qatar, Afganistan, Uni Emirat Arab, Pakistan, Yaman, Iran dan Somalia. Semua negara ini mayoritas menjadikan islam sebagai agamanya.
LGBT dalam Perspektif Hukum di Indonesia
Di Indonesia, mereka yang pro LGBT juga berusaha mencari cari cantolan legalitasnya. Mereka berdalih, Indonesia sebagai salah satu negara hukum (Rechtstaat) menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya".
Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat", nya. Kelompok LGBT di bawah payung “Hak Asasi Manusia” meminta masyarakat dan Negara untuk mengakui keberadaan komunitas ini, bila kita melihat dari Konstitusi yakni dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan sebagai berikut:
(1). Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2). Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekspresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang itu menyebutkan, "Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa." Begitu juga ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 70 yang menyatakan sebagai berikut :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dan Pasal 73 Undang-Undang HAM yang menyatakan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Melihat pendukung LGBT yang selalu berlindung atas pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia, bukan berarti LGBT diperbolehkan di Indonesia. Mengingat masyarakat Indonesia sebenarnya secara mayoritas menilai LGBT bertentangan dengan norma-norma dan nilai-nilai Indonesia terutama Pancasila yang pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sila pertama secara tidak langsung menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang beragama dan secara garis besar agama manapun tidak memperbolehkan (mengharamkan) praktik LGBT di Indonesia.
Namun apa yang tertuang dalam Sila Pertama Pancasila itu baru berupa nilai nilai dan belum menjadi sebuah norma mengikat yang berimplikasi sanksi bagi pelakunya. Salah satu ketentuan yang bersinggungan dengan norma adalah apa yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“.
Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan. Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia.
Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi berikutnya. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung penafsiran bahwa LGBT seyogyanya tidak mendapatkan tempat di Indonesia namun aturan tersebut dinilai hanya bersifat penafsiran belaka tidak secara tegas melarangnya.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak menganggap perbuatan homoseksual sebagai suatu tindakan kriminal; selama tidak melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik; antara lain hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan misalnya. Perbuatan homoseksual tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, selama hanya dilakukan oleh orang dewasa (tidak melibatkan anak-anak atau remaja di bawah umur), secara pribadi (rahasia/tertutup, tidak dilakukan di tempat terbuka/umum, bukan pornografi yang direkam dan disebarluaskan), non-komersial (bukan pelacuran), dan atas dasar suka sama suka (bukan pemaksaan atau pemerkosaan).
Ditengah kondisi pengaturan LGBT yang terkesan abu abu sebagaimana dikemukakan diatas, muncul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang menolak permohonan judicial review terhadap Pasal 284 ayat (1) s/d (5), 285 dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketiga pasal ini telah diuji materialkan (judicial review) oleh sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar MK memberikan tafsir, bahwa LGBT dapat dikenai pidana sebagaimana perbuatan zina, pemerkosaan, dan pencabulan sebagai bukan delik aduan dan merupakan delik pidana murni.
Namun, MK melalui amar Putusan No 46/PUU-XIV/2016 menolaknya, karena perluasan jenis delik pidana bukan merupakan kewenangannya, karena telah memasuki wilayah kebijakan pembuatan tindak pidana baru yang kewenangannya ada pada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan presiden. Melalui putusan ini, MK secara langsung telah menjaga hak atas privasi warga negaranya, tidak menambah overpopulasi penjara, mencegah terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas gender.
Banyak pihak atau kalangan yang menafsirkan berbeda-beda terhadap keputusan MK. Ada yang menafsirkan bahwa Putusan tersebut cenderung melegalkan LGBT ada pula yang menafsirkan bahwa Putusan tersebut menyatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk membuat tindak pidana baru.
Tentu saja pengaturan tentang LGBT yang terkesan multitafsir tersebut membuat adanya ketidakpastian tentang eksistensi dari para pelaku LGBT di Indonesia. Apakah LGBT itu pelakunya bisa dipidana atau bagaimana. Ketentuan yang terkesan “banci” alias abu abu ini pada akhirnya memunculkan penafsiran seperti dinyatakan oleh Mahfud MD yang menyatakan bahwa LGBT dan pihak yang menyiarkan tayangannya belum ada pelarangan secara hukum di Indonesia.
Rencana Ke depan
Memang benar, setiap manusia mempunyai kebebasan masing–masing, tetapi jika ditelaah lebih dalam bahwa kebebasan yang dimiliki berbanding lurus dengan batasan yang harus dipenuhi pula, seperti apakah melanggar agama, kesusilaan, kepentingan umum, hingga keutuhan bangsa? Jika kebebasan atas landasan hak azasi manusia itu dijadikan dasar untuk melegalkan LGBT tentunya akan mencederai nilai-nilai Pancasila.
Untuk itu sudah sepatutnya tindakan LGBT dikualifikasikan sebagai suatu delik (tindak pidana) karena dapat merusak moral bangsa Indonesia. Apalagi dalam Seminar Nasional Rekodifikasi Dan Adaptasi Unsur-Unsur Lokal Dalam Rancangan KUHP (2016) dipaparkan bahwa pergerakan LGBT di Indonesia sudah sejak tahun 1960an dan akhir akhir ini cenderung makin merajalela. Karena itu Pemerintah harus turun langsung ke dalam kasus polemik LGBT supaya tidak menimbulkan disintegrasi bangsa. Mengingat sampai sekarang semakin banyak pendapat pro kontra, sehingga harus diluruskan dengan pandangan hukum yang jelas norma atau ketentuannya.
Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah tengah membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Salah satu substansi yang menjadi perhatian publik adalah soal LGBT yang hendak dimasukkan ke dalam materi dalam RUU KUHPidana.
Adanya inisiatif DPR dan presiden yang hendak memasukkan isu LGBT ke dalam RUU KUHP ini merupakan langkah positif dalam rangka merespons putusan MK tersebut, sekaligus merespons harapan publik yang menghendaki LGBT sebagai delik pidana baru dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Namun, yang perlu dicermati secara kritis delik anti-LGBT dalam draf RUU KUHP ini sebatas pelarangan LGBT untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun, bukan untuk semua orang pada umumnya.
Dengan sendirinya draf RUU KUHP terkait dengan LGBT belum memiliki komitmen kuat mengatur anti-LGBT secara imparsilitas atau holistik, sebagaimana disuarakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia, yang menghendaki KUHP yang baru nanti dapat mengatur secara komprehensif tentang larangan delik LGBT.
Perlunya diatur bahwa perbuatan LGBT merupakan delik pidana baru yang setara dengan perbuatan zina, sehingga dapat menjerat semua orang, baik anak-anak maupun dewasa jika melakukan perbuatan LGBT dapat dipidana. Dengan demikian, konsekuensi ketentuan Pasal 284 (perzinaan) dalam KUHP juga harus diubah dengan menempatkan perbuatan zina berlaku untuk semua orang tanpa ada kecualinya.
Pentingnya juga untuk dipertegas bahwa perbuatan LGBT merupakan delik pidana absolut bukan delik pidana aduan semata. Sehingga siapa pun yang melakukan perbuatan LGBT dapat ditangkap oleh aparatur hukum tanpa harus menunggu aduan masyarakat. Karena acap kali masyarakat takut melaporkan perbuatan LGBT ini, bahkan yang lebih tragis lagi korban perbuatan LGBT ini juga tak berani melaporkan kepada aparat hukum yang berwenang menanganinya.
Selanjutnya belajar dari kasus video podcastnya, Deddy Corbuzzer, maka penting juga untuk diatur tentang pelarangan aneka kegiatan yang terkait dengan penyokong LGBT, mulai dari penyebaran konten video LGBT yang harus dikategorikan sebagai pornografi, unjuk rasa di depan umum yang dimaksudkan untuk mendukung LGBT dan sebagainya.