Mewaspadai Berseminya Kembali Dwi Fungsi TNI/Polri di Era Reformasi

 

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Akhir-akhir ini soal dwi fungsi TNI/Polri kembali ramai dibicarakan setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menunjuk beberapa perwira aktif dilingkungan TNI/ Polri sebagai pejabat sementara (Pjs) Gubernur, Walikota atau Bupati.

Sebagai contoh Paulus Waterpauw ditunjuk sebagai Pj Gubernur Papua Barat untuk menggantikan Dominggus Mandacan yang sudah purna bakti. Paulus dilantik pada 12 Mei 2022 sebagai pj oleh Mendagri. Paulus sendiri merupakan seorang perwira bintang tiga Polri.

Selain Paulus, ada Andi Chandra As`aduddin seorang perwira berpangkat brigadir jenderal (brigjen) yang menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah (Sulteng) berlatar belakang TNI.

Dia ditunjuk sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku menggantikan Yus Akerina yang masa jabatannya berakhir belum lama ini.

Penunjukan perwira aktif dari Polri maupun TNI menduduki jabatan publik sebagai Gubernur, Walikota atau Bupati ini menyisakan pertanyaan sendiri mengenai potensi kembalinya dwi fungsi TNI/Polri yang sebenarnya telah dihapus dari bumi pertiwi.

Penghapusan dwi fungsi TNI/Polri menjadi agenda utama tuntutan mahasiswa ketika bergulir gerakan reformasi. Mengapa ketika reformasi bergulir di tahun 1998 mahasiswa begitu getol menuntut penghapusan dwi fungsi TNI/Polri? Kini setelah 20 tahun usia gerakan reformasi, apakah dwi fungsi TNI/Polri telah bersemi kembali?

Bagaimana gambaran multi tafsir status hukum dari penunjukan TNI/Polri aktif menduduki jabatan publik seperti Gubernur, Walikota atau Bupati? Mengapa anak anak bangsa ini perlu mewaspadai kembalinya dwi fungsi TNI/Polri?

Dwifungsi Sepakat Dihapus

Dwifungsi ABRI pada dasarnya adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI/Polrimemiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara ini.

Berbicara mengenai dwi fungsi TNI/Polri kiranya kita perlu berkaca pada catatan sejarah ketika bergulir gerakan reformasi. Ketika reformasi digulirkan mahasiswa di tahun 1998, salah satu tuntutan yang begitu kencang disuarakan mahasiswa saat itu adalah berkaitan dengan pencabutan dwifungsi ABRI atau TNI/Polri.

Elemen penggerak reformasi saat itu khususnya mahasiswa memang telah merasakan dampak dan bahayanya implementasi dwi fugsi ABRI dalam kehidupan demokrasi.

Saat itu gerakan mahasiswa di kampus kampus menjadi tumpul karena sering dimata matai oleh anasir anasir ABRI yang merasuki hampir segala lini kehidupan di negeri ini.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai dampak adanya dwi fungsi ABRI banyak sekali jabatan-jabatan publik seperti Gubernur, Walikota dan Bupati yang di isi oleh kalangan TNI/Polri pada hal seharusnya jabatan itu di isi oleh unsur sipil melalui mekanisme demokrasi.

Akibat dominasi ABRI, peluang dan aspirasi politis masyarakat sipil menjadi tidak bisa terealisasi.

Yang lebih mengenaskan lagi, ABRI yang sebenarnya mempunyai tugas pokok menjaga kedaulatan NKRI harus terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis untuk kepentingan penguasa negeri sehingga netralitasnya menjadi tergadai. Kalangan ABRI juga bisa menempati lembaga perwakilan sehingga ada fraksi ABRI di DPR RI.

Terkait dengan dwi fungsi ABRI ini, menarik catatan dari Gus Dur mantan presiden RI. Setahun sebelum menjadi presiden, Gus Dur telah menguraikan pelbagai bahaya dari kondisi di lapangan mengenai pelaksanaan Dwifungsi ABRI.

Dalam tulisannya bertajuk “Dwifungsi ABRI: Prinsip dan Cara”, yang dimuat di harian Kompas edisi 13 Oktober 1998, ia menjelaskan tentang persepsi militer terhadap dwifungsi ABRI.

Menurut Gus Dur, dalam memandang perannya ini, timbul perasaan superior di kalangan militer yang melihat bahwa dwifungsi adalah alat untuk mencampuri urusan segala hal tanpa terkendali.

Dalam pandangan mereka, orang sipil seolah-olah tak mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu tanpa seizin ABRI. Pandangan seperti ini, imbuh Gus Dur, pada akhirnya mematahkan segala usulan alternatif dari sipil dalam pelbagai keputusan karena akan selalu dikalahkan oleh alternatif dari ABRI.

Selain itu Menurut Gus Dur pandangan yang timbul di kalangan militer akibat perasaan superior ini adalah selalu menganggap sipil sebagai elemen yang tak becus mengurus dirinya sendiri.

Mengingat bahayanya dwi fungsi ABRI sebagaimana dinyatakan diatas pada akhirnya setelah Abdurahman Wahid alias Gus Dur dilantik sebagai presiden RI, segera dilakukan sejumlah reformasi TNI/Polri.

Dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999-2001), Gus Dur memisahkan Polri dari TNI. Doktrin Dwifungsi ABRI dicabut yang implementasinya melepaskan peran sosial-politik TNI/Polri.

Militer aktif tidak lagi melibatkan diri dalam politik partisan untuk mendukung Golongan Karya dan Fraksi TNI-Polri dihilangkan dari DPR RI. Doktrin kekaryaan yang selama itu melekat tidak digunakan lagi. Militer aktif tidak lagi menempati jabatan sipil karena semua posisi itu di isi melalui proses demokrasi.

Bersemi Kembali?

Namun setelah 20 tahun usia gerakan reformasi, mulai ada tanda-tanda kembalinya dwi fungsi ABRI di negeri ini. Tanda tandanya mulai nampak ketika Tjahyo Kumolo menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Saat itu, tahun 2018, ada dua jenderal polisi aktif yang ditunjuk sebagai penjabat daerah, yaitu: Komjen (purn) M. Iriawan dan Irjen (purn) Martuani Sormin.

Iriawan ditunjuk sebagai Plt. Gubernur Jawa Barat pada hal saat itu ia masih menjabat sebagai Asisten Operasi Kapolri. Sementara Martuani didapuk sebagai Plt. Gubernur Sumatera Utara pada hal masih menduduki posisi sebagai Kepala Divisi Propam Polri.

Bila ditarik ke belakang, ada Pjs Gubernur Sulawesi Barat periode Desember 2016-Januari 2017 yaitu Irjend Pol.Carlo Brix Teewu yang ditunjuk oleh Mendagri dimana yang bersangkutan adalah perwira tinggi aktif Polri.

Di tubuh TNI, ada Jenderal Soedarmo yang secara resmi ditunjuk Mendagri sebagai pelaksana tugas Gubernur Aceh pada 27 Oktober 2016. Ia menggantikan gubernur definitif Aceh saat itu, Zaini Abdullah, yang mengikuti Pilkada 2017.

Soedarmo merupakan perwira tinggi TNI Angkatan Darat dengan jabatan terakhir sebagai staf ahli bidang ideologi dan politik Badan Intelijen Negara (BIN). Setelah itu, Soedarmo Soedarmo kembali ditugaskan menjadi Plt gubernur Papua dan dilantik pada 10 April 2018.

Ada lagi Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo yang ditunjuk menjadi Plt Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel). Setelah menjadi Plt gubernur, Tanribali pada 2009-2015 kembali ditunjuk menjadi Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri.

Seakan akan sudah dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak menyalahi ketentuan yang ada saat ini, maka pengangkatan perwira aktif TNI/Polri untuk menduduki jabatan publik seperti Gubernur, Walikota atau Bupati kembali terjadi.

Baru baru ini di era Mendagri Tito Karnavian, Paulus Waterpauw ditunjuk sebagai Pj Gubernur Papua Barat untuk menggantikan Dominggus Mandacan yang sudah purna bakti. Paulus dilantik pada 12 Mei 2022 sebagai pj oleh Mendagri. Paulus sendiri merupakan seorang perwira bintang tiga Polri.

Menyusul Paulus, ada Andi Chandra As`aduddin seorang perwira berpangkat brigadir jenderal (brigjen) yang menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah (Sulteng) berlatar belakang TNI.

Dia ditunjuk sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku menggantikan Yus Akerina yang masa jabatannya berakhir belum lama ini.

Menanggapi adanya penunjukan perwira aktif TNI sebagai pejabat publik seperti Gubernur, Walikota dan Bupati, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebut, hal itu merupakan murni keputusan pemerintah melalui Mendagri.

Mabes TNI akan ikut apa pun kepercayaan yang telah diberikan pemerintah yang bekuasa saat ini. "Ya itu kan keputusan pemerintah. Saya sendiri nanti juga akan melihat.

Tapi jelas kalau ini kepercayaan yang diberikan pemerintah, kami pun siap mendukung walaupun juga pasti mengikuti aturannya," ujar Andika kepada wartawan, Rabu (25/5/2022) seperti dikutip iNews.id.

Sebagai pihak yang menerima “manfaat” dari adanya pemberian jabatan kepada unsur TNI, maka wajar wajar saja kalau hal itu ditanggapi dengan santai oleh panglima TNI. Apalagi saat ini konon banyak perwira tinggi dikalangan TNI/Polri yang sedang non job karena terbatasnya jabatan strategis yang harus mereka isi.

Adanya penunjukan perwira TNI /Polri menduduki jabatan publik oleh Mendagri bisa menjadi sinyal sinyal kembalinya dwi fungsi TNI/ Polri di negeri ini.

Pihak pihak terkait boleh boleh saja membantah atau tidak mengakui tetapi kalau ini dibiarkan dan sudah menjadi tradisi maka akan terlembaga sehingga dianggap wajar untuk terus dilestarikan pada hal menyalahi prinsip prinsip demokrasi.

Parahnya kalau ada pihak pihak yang usil mau mengutak atik masalah ini bisa berujung pada tindakan atau kejadian yang mungkin tidak mereka perkirakan bakal terjadi.

Mereka bisa ditangkap untuk kemudian diadili. Sebagai contoh kasus yang menimpa Robertus Robet, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang ditangkap tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.

Seperti diberitakan, pada Kamis dini hari (7/3/2019), aktivis HAM ini ditangkap atas tuduhan penghinaan terhadap TNI.Seminggu sebelum penangkapan, Robet sempat melakukan orasi dalam Aksi Kamisan di depan istana negara, Jakarta, terkait tema dwifungsi TNI/Polri.

Orasi tersebut disampaikan untuk merespon ujaran Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, terkait wacana penempatan perwira TNI/Polri di lembaga pemerintahan sebagaimana yang saat ini terjadi.

Dalam video Youtube yang diunggah akun Tajuk Flores (7/3/2019), Robet terlihat membuka orasinya dengan menyanyikan lagu kritik untuk militer Orde Baru yaitu saat ketika Presiden Soeharto menjadi penguasa negeri ini.Lagu yang populer di kalangan aktivis reformasi 1998 itu memuat lirik:

“Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota nggak pernah bayar, apalagi makan di warung Tegal....”. Robet juga menyinggung soal bahaya dwifungsi ABRI yang pernah terjadi di Indonesia, salah satunya lewat pernyataan berikut:

“Kalau kamu pernah tahu sedikit, pernah belajar sejarah, tentang bagaimana militer hidup dalam seluruh kehidupan sipil kita, kamu akan berpikir dua kali untuk mengiyakan apa yang akan dilakukan pemerintah dengan mengembalikan kembali jabatan-jabatan sipil dipegang oleh militer.”, katanya dengan nada tinggi seperti dikutip kbr.id, 08/03/2019.

Benturan Regulasi

Segala keputusan atau kebijakan tentu saja ada dasar hukum yang dijadikan pijakan atau ada ketentuan yang melandasi. Karena para pengambil kebijakan tidak akan mau dibilang menyalahi ketentuan atau menyalahi konstitusi.

Seperti penunjukan perwira aktif TNI/Polri yang terjadi saat ini. Mereka merasa mempunyai dasar hukum yang bisa dijadikan landasan untuk basis argumentasi.

Dalam kaitan tersebut pemerintah berdalih bahwa penunjukan ini telah mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.  

Hal ini ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD seperti dikutip detiknews, Rabu (25/5/2022) untuk memberikan “pembelaan” terhadap Mendagri yang telah menunjuk perwira aktif TNI /Polri.

Menurutnya penetapan perwira tinggi (pati) TNI aktif sebagai penjabat (pj) kepala daerah dibenarkan dalam undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), maupun putusan MK (Mahkamah Konstitusi).

Pertama, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatakan bahwa TNI dan Polri tidak boleh bekerja di luar institusi TNI kecuali di sepuluh institusi kementerian/lembaga, misalnya kantor yang membidangi Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), SAR, Sekretaris Militer Presiden.Kemudian, Pertahanan Negara, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Narkotika Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, dan Mahkamah Agung.

Ketentuan tersebut diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan bahwa anggota TNI/Polri aktif bisa menduduki jabatan sipil di 10 institusi.

Berdasarkan dua ketentuan ini mengandung makna bahwa jika anggota TNI/Polri aktif ingin menduduki jabatan sipil di luar instansi tersebut, ia harus mengundurkan diri atau pensiun dini.

Kedua, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 20 mengatur anggota TNI dan Polri boleh masuk ke birokrasi sipil asalkan diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya saat ini.

Hal ini sejalan dengan bunyi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 di mana di situ disebutkan TNI-Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara dengan jabatan yang saat ini diduduki.

Berdasarkan ketentuan diatas mengandung makna bahwa TNI/Polri aktif yang sudah menduduki jabatan di sepuluh institusi tersebut sebagai pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014],yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah baik sebagai Gubernur, Walikota atau Bupati.

Ketiga,Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022. Vonis MK itu mengatakan dua hal, satu, TNI dan Polri aktif tidak boleh bekerja di institusi sipil, terkecuali di dalam sepuluh institusi Kementerian sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku saat ini.

Lalu kata MK sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama boleh menjadi pejabat kepala daerah baik sebagai Gubernur, Walikota atau Bupati.

Keputusan MK pada dasarnya merujuk pada ketentuan yang diatur di Undang Undang Nomor 5/2014 tentang ASN yang menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014].

Pemerintah memang telah memberikan dasar argumentasi penunjukan perwira aktif TNI/ Polri untuk menduduki jabatan sipil seperti Gubernur, Walikota dan Bupati dengan syarat syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Undang Undang tentang ASN maupun Keputusan Mahkamah Konstitusi. Tetapi argumentasi ini mendapatkan kritikan dari elemen koalisi masyarakat sipil seperti Perludem, KoDe Inisiatif, Pusako Andalas dan Puskapol UI.

Kritik yang disampaikan elemen masyarakat sipil tersebut bisa dirangkum dalam penjelasan sebagaimana uraian berikut ini :

Pertama, Pemerintah telah mendalilkan bahwa TNI/Polri aktif yang sudah menduduki jabatan di sepuluh institusi (seperti dimaksud pasal 19 ayat (1) UU No.5/2014) sebagai pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama,yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah yaitu sebagai Gubernur, Walikota atau Bupati.

Pada hal jabatan kepala BIN daerah (seperti misalnya yang di emban oleh Andi Chandra As`aduddin yang kemudian ditunjuk Mendagri untuk Pjs Bupati Seram Barat) tidak termasuk jabatan tinggi pratama sehingga tidak bisa dijadikan landasan untuk menunjuk yang bersangkutan sebagai penjabat bupati karena tidak sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur bahwa penjabat bupati atau wali kota hanya dapat berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama.

Jika merujuk pada Undang Undang Intelijen negara dan Perpres 90/2012 tentang BIN, jabatan di BIN dinilai bukan jabatan aparatur sipil negara sebagaimana didefinisikan dalam Undang Undang ASN.

Kedua, penujukan Penjabat dari TNI/Polri aktif tidak melalui mekanisme yang demokratis sehingga menyalahi ketentuan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021, mengingatkan pentingnya klausul secara demokratis tersebut dijalankan dalam penunjukan Pjs untuk posisi Gubernur, Walikota atau Bupati.

Dalam implementasinya, MK juga memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk transparansi.

Namun, Kemendagri dinilai tidak mengindahkah soal ini. Sebagai contoh tidak dilibatkannya publik dalam pemilihan Brigjen Andi sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat sehingga Mendagri dinilai tidak patuh pada perintah Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, Seperti diketahui, Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakan Kedaulatan Negara, Mempertahankan Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta melindungi Segenap bangsa dan Seluruh tumpah darah Indonesia dari Ancaman dan Gangguan terhadap Keutuhan Bangsa dan Negara Telah diatur secara rinci tentang Tugas Militer sebagai alat Pertahanan Negara yang tidak dapat dimasukan dalam ruang lingkup Penegakan Hukum (Law Enforcement) maupun Instansi Sipil Pemerintahan Daerah.

Oleh karena itu keputusan pemerintah untuk mengangkat unsur TNI/Polri di jabatan sipil dinilai telah melanggar TAP MPR Nomor: X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang tertuang pada BAB IV tentang Kebijakan Reformasi Pembangunan pada sektor Hukum.

Ketentuan ini pada intinya menyebutkan, bahwa penanggulangan krisis di bidang Hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya Hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan dan Ketentraman Masyarakat. Yakni melalui Pemisahan secara Tegas Fungsi dan Wewenang Aparatur Penegak Hukum agar dapat dicapai Proporsionalitas, Profesionalitas serta Integritas yang Utuh;

Ke empat, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Aturan ini menyebutkan, TNI berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu Pasal 5 Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menegaskan peran TNI adalah sebagai alat pertahanan Negara yang pada implikasinya bahwa anggota TNI aktif terpisah dari Institusi Sipil Negara.

Oleh karena itu penunjukan Pjs Gubernur, Walikota atau Bupati yang berasal dari unsur TNI/Polri sekalipun orang yang akan ditunjuk telah mengundurkan diri dan/atau pensiun, penunjukan kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan, tetap harus dilakukan secara demokratis sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021.

Adanya serangkaian pelanggaran pelanggaran sebagaimana dikemukakan diatas pada akhirnya memunculkan tuntutan dari Koalisi Sipil yang mendesak agar Kemendagri tidak menunjuk prajurit TNI dan Polri aktif untuk menjadi Pj Gubernur, Walikota atau Bupati.

Bahkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut penunjukan anggota TNI/Polri aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah merupakan pembangkangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini

"Penempatan perwira aktif TNI/Polri dalam jabatan sipil merupakan bentuk pembangkangan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan," kata peneliti KontraS, Rozy Brilian dalam konferensi pers daring, sebagaimana dikutip law-justice.co Jumat (27/5/2022).

Ia menilai penunjukan ini akan membuka potensi maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan prosedur pembuatan kebijakan yang bermasalah. Jika hal ini dibiarkan dikhawatirkan akan bergerak lebih dalam lagi ke ranah sipil “ujar Rozy.

Senada dengan Kontras, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk membatalkan penunjukan anggota TNI aktif, yakni Brigjen Andi Chandra As`aduddin.

Penunjukan yang bersangkutan dinilainya melanggar Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, TAP-MPR Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Polri, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021.

"Kami mendesak sekali lagi untuk membatalkan pelantikan Bupati Seram Barat, dan tidak lagi melakukan penunjukan penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI atau Polri aktif, kalau tidak dia akan memundurkan jalan reformasi TNI," kata Usman seperti dikutip law-justice.co (27/5/2022).

Sementara itu Ketua PBHI, Julius Ibrani menegaskan, penunjukan prajurit TNI aktif menjadi Penjabat Kepala Daerah Seram Barat merupakan bentuk Dwifungsi TNI. Hal ini melanggar peraturan perundang-undangan dan semestinya segera di akhiri.

Perlu Diwaspadai

Diwaktu waktu mendatang sepertinya kondisi Indonesia akan sentralistik setelah pengangkatan penjabat kepala daerah di 271 wilayah sepanjang 2022 dan 2023. Sebab, proses penunjukan penjabat kepala daerah yang terjadi saat ini terkesan tak memperhatikan aspirasi daerah, tidak transparan, dan tanpa pembentukan peraturan pelaksana.

Oleh karena itu perlu konsistensi Pemerintah untuk melaksanakan amanat reformasi, menjalankan hukum, dan menjamin prinsip demokrasi dalam penunjukan Pj Kepala Daerah dalam rangka mengisi kekosongan kekuasaan di daerah-daerah yang kepala daerahnya telah habis masajabatannya.

Kiranya penting untuk membuat rambu rambu yang tegas dan jelas dalam pengangkatan pejabat publik agar tidak dimanfaatkan oleh mereka yang punya kuasa.

Sebagai contoh berdasarkan putusan MK nomor 67/PUU-XIX/2021, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023.

Peraturan pelaksana ini penting untuk segera dibuat demi tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas serta tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku di Indonesia.

Peraturan pelaksana ini diharapkan mampu memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung secara akuntabel, partisipatif dan terbuka. Hal ini tentu untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah, serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah yang dipimpinnya.

Pemimpin yang kompeten dan berintegritas itu tentunya tidak harus datang dari unsur TNI /Polri karena stok pemimpin sipil pastilah banyak tersedia kalau Pemerintah serius untuk mencarinya.

Jangan sampai hanya karena soal keamanan atau politis menjadi alasan bagi Pemerintah untuk memprioritaskan penunjukan Pjs Kepala daerah dari unsur Polri atau tentara.

Sebab saat ini ditengah maraknya kehidupan demokrasi di era reformasi dimana supremasi sipil menjadi panglimanya, muncul kekhawatiran lahirnya kembali neo dwi fungsi ABRI dalam praktek berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Oleh karena itu patut diwaspadai, karena munculnya kembali dwi fungsi ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan berari pengkhianatan terhadap agenda reformasi sekaligus mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Alhasil menjadi tugas setiap anak bangsa untuk ikut berkontribusi mengawasai jalannya pemerintahan agar tidak semakin jauh melenceng dari tatanan yang telah disepakati bersama.

Jangan sampai karena munculnya ambisi kekuasaan lalu muncul upaya untuk kembali dwi fungsi TNI/Polri yang telah terbukti membuat rakyat Indonesia sengsara.

Harap dimaklumi sisa sisa pejabat Orba memang masih banyak berkeliaran di era pemerintahan yang sekarang berkuasa. Mereka tentu ingin melestarikan kenikmatan yang selama ini mereka dapatkan melalui institusi Polri atau tentara.

Kiranya setiap elemen bangsa mempunyai fungsi dan tugas masing masing sesuai dengan tanggungjawabnya. Kalau memang polisi atau tentara bisa mengisi jabatan jabatan sipil, bolehkah sipil mengisi jabatan yang ada dilingkungan polisi atau tentara?

 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال