Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Ada kejadian cukup menggelitik dan kontroversial ketika Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menggelar rapat kerja yang menghadirkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Kamis 9 Juni 2022.
Rapat kerja hari itu antara lain membahas rencana pemerintah untuk menaikkan harga tiket naik Candi Borobudur hingga Rp. 750 ribu yang kemudian memicu terjadinya pro dan kontra.
Kontroversi macam apa yang mewarnai rapat kerja antara Menteri Luhut dengan anggota Banggar DPR yang kemudian banyak mendapatkan perhatian netizen di sosial media? Belajar dari apa yang terjadi selama berlangsungnya rapat Banggar DPR bersama Menteri Luhut, sesungguhnya menunjukkan fenomena apa?
Kejadian Itu
Rapat Kerja DPR RI dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada hari kamis 9 Juni 2022 itu banyak diberitakan karena ada hal kontroversial disana. Adalah Anggota Banggar DPR RI Agung Widiyantoro yang mengaku nyalinya ciut bertemu dengan Menteri Luhut lantaran yang bersangkutan pasang muka serius dan tak pernah senyum selama berlangsungnya rapat yang diikutinya.
Agung menduga Luhut terlalu serius karena beban tugas dan cakupan koordinasi yang cukup luas dibawah kendalinya."Saya kalau boleh mengatakan pesan sedikit, Pak, jangan karena beban tugas dan rentang kendali yang cukup luas ini, sehingga Bapak kurang senyum gitu," kata Agung ketika rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta seperti dikutip media.
Karena ciut nyali maka Agung pun mengaku agak ragu untuk melontarkan pertanyaan lantaran wajah Luhut yang sangat serius menurut penilaiannya.
"Dari awal saya sudah, nyali saya ciut, Pak. Saya akan tanya, tapi Bapak nggak senyum, dari awal Bapak sudah injek gas kenceng banget. Gimana caranya saya masuk ruang-ruang itu," kata politikus Golkar menguraikan argumentasinya.
Untuk diketahui rapat Banggar yang membahas rencana kenaikan tarif masuk candi Borobudur tersebut memang berlangsung cukup serius dan terkesan tegang salah satunya karena Menteri Luhut yang hadir saat itu jarang senyum selama berlangsungnya rapat kerja. Kondisi inilah yang membuat anggota DPR dari fraksi golkar Agung Widiyantoro merasa ciut nyalinya dan karenanya merasa canggung untuk menanyakan duduk persoalan yang sedang dibahas dalam rapat kerja. Yang tak kalah kontroversialnya adalah tanggapan dari Menteri Luhut selama berlangsung rapat kerja. Saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Banggar DPR RI, Menteri Luhut sepertinya begitu geram menanggapi banyaknya kritik yang dilayangkan oleh DPR kepadanya.
Dalam kesempatan itu Luhut meminta anggota DPR tidak melontarkan pendapat di publik jika tidak tahu masalahnya. "Kadang-kadang maaf teman-teman bapak ibu [DPR] juga yang langsung kritik saya, nembak tidak tahu masalahnya," kata Luhut kepada anggota DPR dalam rapat Banggar DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Padahal, kata Luhut, anggota dewan bisa bertanya langsung soal kebijakan kenaikan tiket Candi Borobudur kepadanya."Mohon lain kali telepon saya saja pak, masalahnya apa sih. Jadi jangan cari, mohon maaf bapak ibu, cari popularitas dengan nyerang saya pak," ungkapnya. Luhut menekankan wacana kenaikan harga tiket masuk Borobudur sudah berdasarkan kajian dan berdasarkan data. Luhut menjamin kepada anggota DPR bahwa kebijakan yang diambil bukan dari kemauan dirinya semata.
Selain itu Luhut juga meminta kepada masyarakat agar tidak mencibir kebijakannya terkait dengan kenaikan tarif Borobudur karena keputusan itu sudah diambil berdasarkan kajian dan data. “Jadi kita jangan jadi bangsa yang nyinyir gitu lho," ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Menko Polhukam ini menjelaskan argumentasinya.
Luhut juga mengingatkan agar anggota Dewan dan pejabat tidak bereaksi berlebih dan mencari panggung dengan cara mengkritik dirinya."Saya bilang juga pada DPR, jangan over react apalagi pejabat negara apalagi anggota DPR terus berkomentar, yang sepertinya kita tidak melakukan studi. Kita lakukan studi dengan baik," kata dia.
Fenomena Apa?
Mencermati apa yang terjadi dalam rapat Banggar yang menghadirkan Menteri Luhut tersebut ada dua hal yang kiranya perlu mendapatkan perhatian kita bersama.Yang pertama adalah soal sikap Anggota Banggar DPR RI Agung Widiyantoro yang mengaku merasa ciut nyalinya menghadapi Menteri Luhut hanya karena sang Menteri jarang senyum selama rapat kerja.Sedangkan yang kedua adalah sikap daripada Menteri Luhut sendiri dalam merespons tanggapan anggota DPR dan anggota masyarakat yang mengkritisi kebijakan yang diambilnya.
Pengakuan Anggota Banggar DPR RI Agung Widiyantoro yang merasa ciut nyalinya (terlepas adanya unsur candaan didalamnya), hal itu mengesankan adanya sikap inferior pada dirinya dalam menghadapi pihak eksekutif yang menjadi mitra kerjanya.
Sikap dari anggota DPR yang ciut nyalinya ketika berhadapan dengan Menteri Luhut ini sempat mendapatkan kritikan pedas dari Najwa Shihab melalui video yang beredar luas di sosial media.Menurut Najwa, salah satu mandat DPR adalah berbicara dan memantau atau mengawasi eksekutif yang menjadi mitra kerjanya.“Itu mandat konstitusi,” kata Najwa sembari mengatakan bahwa DPR punya hak angket, interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.“Kalau mengawasi (saja), tapi tidak ngomong atau gak boleh ngomong, itu DPR apa CCTV sih,” katanya.
Menurut Najwa, legislator dan senator memang perlu nyinyir dalam menjalankan perannya. “Dalam arti perlu ngomong, termasuk ikut menyuarakan aspirasi rakyat,” begitu katanya. Anggota DPR harus bicara agar rakyat tahu mana pejabat yang berkualitas dan yang tidak.“Masak karena Pak Luhut gak senyum lalu keder,” kata Najwa.
Najwa menegaskan bahwa rakyat dibungkam itu cerita lama. “Netizen bebas bicara apa saja,” katanya. Jadi tugas utama anggota DPR itu bicara! Kalau bicara saja tak punya nyali, tak berani, lalu apa gunanya menjadi anggota DPR yang mewakili rakyatnya?
Memang tidak sepantasnya pengakuan “ciut nyali” itu keluar dari seorang wakil rakyat karena sebenarnya posisi wakil rakyat disini adalah kuat karena mewakili puluhan bahkan mungkin ratusan pemilik suara yang menitipkan amanah kepadanya. Menjadi tugas wakil rakyat untuk berani bersuara sejalan dengan fungsinya sebagai pengontrol kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Kalau kemudian wakil rakyat itu ciut nyalinya dan takut buka suara lalu bagaimana dengan efektifitas fungsi pengawasan yang dilakukannya?
Apalagi kata parlemen itu sendiri berasal dari bahasa Perancis “Parler” yang artinya berbicara, maka sebagai wakil rakyat sudah sewajarnya untuk berbicara memperjuangkan dan mempertahankan apa yang menjadi keinginan rakyat yang diwakilinya.
Dalam kaitan ini anggota DPR tidak perlu ciut nyali atau takut menggunakan hak bicaranya karena Undang Undang telah memberikan “jaminan keamanan” kepadanya. Setiap anggota DPR diberikan hak immunitas yaitu kekebalan hukum dimana anggota DPR tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-rapat di lembaganya.
Hak imunitas anggota DPR diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 20A ayat (3) serta Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Undang Undang tentang MPR, DPR , DPD dan DPRD (MD3). Dengan adanya hak immunitas ini untuk memastikan bahwa segala yang dikerjakan Anggota DPR RI dilindungi hukum, dalam rangka melaksanakan tugas kedewanan sesuai fungsinya.
Meskipun anggota DPR sudah diberikan hak immunitas dalam menjalankan fungsi dan tugasnya namun harus diakui , saat ini agak sulit menemukan anggota DPR yang berani bersuara kritis terhadap kebijakan dan program pemerintah yang sedang berkuasa. Sangat sedikit pula wakil rakyat yang benar-benar mau dan mampu menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Beda kasus kalau menyuarakan kepentingan partai yang menjadi induk semangnya.
Kondisi anggota DPR yang ciut nyali dan gagap bersuara tersebut bertambah parah karena dipengaruhi oleh situasi politik yang mewarnai gedung wakil rakyat di Senayan Jakarta. Aura yang mempengaruhi situasi politik itu sekurang kurangnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
Pertama, Konsekuensi dari Koalisi Gemuk. Saat ini posisi pemerintah begitu kuat menguasai Lembaga perwakilan dengan lebih dari 80 persen kursi di parlemen yang ada.Konsolidasi kekuasaan eksekutif di DPR saat ini telah mengebiri lembaga legislatif dalam menjalankan fungsinya. Terutama fungsi pengawasan yang terkesan mandul tak berdaya.
Fenomena konsolidasi kekuasaan di legislatif memang jelas menguntungkan pemerintah yang sekarang berkuasa. Dengan kekuatan lebih dari 80 persen kursi di parlemen, eksekutif semakin mudah untuk mengendalikan kekuatan di legislatif melalui kaki tangannya.
Suara suara sumbang bisa ditekan sedemikian rupa. Kepentingan-kepentingan eksekutif makin diakomodasi dengan mudahnya. Alhasil dengan peta kekuasaan saat ini, anggapan bahwa DPR hanya tukang stempel program pemerintah kiranya sulit ditolak kebenarannya.
Koalisi gemuk pendukung pemerintah telah membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena dengan sendirinya kubu Oposisi menjadi semakin "kurus" dan akhirnya tidak berdaya.Secarah konsep demokrasi apabila salah satu kubu terlalu "Gemuk" akan berpengaruh nantinya kepada proses check and balances sehingga menimbulkan kesan " one man show" sehingga tidak ada yang mengontrolnya.
Sebab sejatinya demokrasi lahir untuk menghalau kesewenang wenangan diantara para penguasa dan kesewanang wenangan itu dapat di kontrol dengan konsep Check and Balance, namun ketika salah satu kubu terlalu "Gemuk" mungkinkah chek and balances akan berjalan sebagaimana harapan kita bersama?
Di Indonesia ada keengganan atau kesungkanan bagi anggota DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya secara ketat manakala sudah merapat ke penguasa.Pada hal seharusnya meskipun sudah berada di lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol mestinya tetap jalan karena merupakan amanat dari perundang undangan dan demi lurusnya jalanya pemerintahan yang berkuasa.
Kedua, terjadi “Perselingkuhan” antara DPR dengan Pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada waktu proses amandemen UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002, ada semangat untuk memperkuat posisi lembaga perwakilan (DPR) sehingga Presiden tidak menjadi dominan seperti yang terjadi pada Presiden di era Orba.
Oleh karena itu saat amendemen UUD 1945, ada upaya untuk merancang desain baru di konstitusi kita, yang mengangkat pemegang kekuasaan legislatif terutama DPR agar bisa lebih seimbang dengan Presiden dilihat dari aspek kekuasaannya. Namun rupanya para pengubah UUD itu tidak pernah membayangkan seberapa parah nanti kalau satu titik terjadi kolaborasi antara dua lembaga yang diberi kekuasaan besar menjalankan otoritas bernegara.
Kekuatiran tersebut telah terbukti adanya saat ini dengan adanya “kolaborasi” antara DPR dan Pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Pada hal awalnya dengan desain konstitusi yang menyeimbangkan kekuatan eksekutif dan legislatif itu dimaksudkan untuk berjalannya prinsip checks and balances dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam perjalanan kemudian, dua kekuatan itu berkolaborasi dengan terbentuknya koalisi besar sehingga mengancam hilangnya fungsi chek and balances yang seharusnya dijalankannya.
Dalam kaitan ini rupanya partai politik tak bisa menaan menahan diri untuk tidak semuanya bergabung ke pemerintah yang berkuasa. Dalam hal ini kita memang memerlukan pemerintahan yang kuat tapi kuat dalam pengertian di sini, tidak menguasai segala-galanya. Artinya, ada kekuatan yang cukup di DPR untuk bisa mengimbangi posisi pemerintah yang berkuasa.
Dengan merapatnya kekuatan partai politik di DPR untuk mendukung Pemerintah maka potensi untuk terjadinya praktek “perselingkuhan” sangat terbuka. Hal ini ternyata sudah terbukti paling tidak bisa dilihat pada proses pelaksanaan fungsi legislasi di DPR yaitu pembuatan Undang Undang yang nyaris tidak ada “perlawanan” dalam proses pembahasan dan pengesahannya.
Bahkan dalam beberapa kasus DPR yang diharapkan menjalankan fungsi kontrolnya justru malah menjadi juru bicara eksekutif sehingga mengaburkan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.
Terjadinya “ perselingkuhan “ ini tentu saja membuat DPR menjadi enggan untuk bersuara karena merasa bertanggungjawab untuk ikut mengamankan kebijakan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah yang berkuasa.
Ketiga, menjadi wakil partai bukan wakil rakyat. Meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya harus diakui peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak anggota DPR mengalami pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya.
Seperti yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu dikendalikan oleh ketua umum partai politik masing-masing. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar."Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya," kata mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini seperti dikutip media 07/10/20.
Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya," ungkapnya.
Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.
Keempat, adanya hantu recall. Sebagai konsekuensi wakil rakyat lebih mencerminkan dirinya sebagai wakil partai maka hal yang paling ditakutkan oleh wakil rakyat yang ingin bersuara vokal adalah ancaman recall atau pergantian antar waktu (PAW).
Hak recall yang dimiliki oleh partai sebagai amanat dari Undang Undang MD3 tak ubahnya seperti hantu yang menakutkan bagi wakil rakyat karena bisa menyapa mereka kapan saja termasuk karena suara vokalnya. Mungkin alasan formal recall bukan karena suara yang di ucapkannya karena alasan bisa saja dicari cari untuk membenarkan kebijakan yang diambil oleh sebuah partai guna mengganti kadernya yang duduk sebagai wakil rakyat.
Adanya hantu recall bisa membuat wakil rakyat tidak bisa berkerja secara mandiri dan independent mewakili kepentingan rakyat, karena takut melawan keinginan petinggi partai politik yang berakibat terkena mutasi bahkan PAW.Memang dalam hal ini setiap wakil rakyat diberikan hak immunitas tetapi hak ini bisa saja terabaikan manakala yang bersangkutan dianggap melanggar atau tidak loyal kepada partai yang menjadi induk semangnya.
Tentu saja kondis ini akan semakin “sempurna” manakala anggota DPR enggan bicara karena memang sudah ciut nyalinya ketika berhadapan dengan eksekutif yang menjadi mitra kerjanya. Kalau sudah sampai tahap yang demikian maka rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya hanya bisa mengelus dada.
Tak Mengerti Demokrasi
Sebagaimana telah disinggung diatas, selain adanya anggota DPR yang ciut nyalinya ketika berhadapan dengan pejabat eksekutif, ada juga pejabat eksekutif yang tidak paham posisinya lantaran sikapnya ketika merespons tanggapan dari anggota DPR dan anggota masyarakat yang mengkritisi kebijakan yang diambilnya.
Sikap yang ditunjukkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan tersebut menurut Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil masih belum bisa memahami demokrasi di Indonesia karena tidak menerima atas sejumlah kritik yang ditujukan kepadanya. “Jadi dia beranggapan bahwa demokrasi itu hanya meributkan saja dan demokrasi hanya suatu kebisingan saja," kata Nasir seperti dikutip Tirto pada Jumat (10/6/2022).
Nasir menegaskan bahwa anggota DPR memiliki fungsi pengawasan, sehingga wajar kalau anggota DPR menyampaikan kritikan kritikannya. Adapun tugas pemerintah untuk memberikan klarifikasi, baik berupa pembenaran atau bantahan atas kritik yang ditujukan kepadanya. “Jadi dia beranggapan seperti itu. Jangan ribut-ribut, padahal sebagai anggota DPR kita punya fungsi pengawasan. Sebagai anggota DPR, kami tidak perlu konfirmasi, sampai bilang telpon dulu saya," ungkapnya.
Dia juga menyebut anggota DPR tidak wajib untuk menghubungi langsung pejabat terkait bila ingin memberikan kritikannya. Karena menurutnya tugas untuk memberikan konfirmasi adalah milik wartawan bukan anggota legislatif. "Sebenarnya itu boleh-boleh saja dan tidak wajib. Kalau dia perlu konfirmasi itu tugas wartawan. Anggota dewan tidak perlu konfirmasi," ujarnya.
Berdasarkan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas, pada akhirnya Nasir Jamil sampai pada kesimpulan bahwa Menteri bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan nampaknya belum memahami demokrasi. “Jadi dia beranggapan bahwa demokrasi itu hanya meributkan saja dan demokrasi hanya suatu kebisingan saja,” katanya.
Pada hal melalui sistem demokrasi yang sudah disepakati bersama seyogyanya menjadi landasan bekerja bagi pejabat publik dalam upaya pembangunan dan pencapaian tujuan negara. Karena melalui pelaksanaan demokrasi yang benar akan berimbas pada upaya positif untuk pertumbuhan ekonomi, keamanan, keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Demokrasi dan kesejahteraan rakyat pada dasarnya seperti dua sisi mata uang yang saling kait-mengait satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan demokrasi yang benar bisa menjadi jembatan emas dalam mengantarkan rakyat suatu negara menuju kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman dan mencapai keadilan sebagaimana yang dicita citakan oleh pendiri bangsa.
Karena demokrasi pada dasarnya mengantarkan suatu negara agar berpihak kepada kepentingan rakyat banyak alias hajat hidup orang banyak, bukan rakyat segelintir (oligarki) saja. Itulah pekerjaan penting yang harus diprioritaskan oleh negara melalui pejabat pejabatnya.
Dengan demikian ikhtiar untuk upaya pencapaian tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari siapa pun yang terpilih sebagai pejabat negara khususnya mereka yang terpilih melalui pemilu sebagai bagian dari mekanisme demokrasi di negara kita. Lalu apa jadinya jika seorang pejabat negara tidak memahami demokrasi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya?
Yang sering muncul kemudian adalah adanya pejabat negara yang anti kritik karena salah memahami posisinya. Dikiranya jabatan yang disandangnya itu merupakan cek kosong baginya untuk bisa menjalankan kebijakan sesuai seleranya. Pada hal melekatnya jabatan padanya merupakan akibat dari mandat yang telah diberikan rakyat kepadanya sehingga ada konsekuansinya. Konsekuensinya adalah harus bersedia dikritik kalau tidak benar kerjanya.
Karena itu kritik merupakan keniscayaan di negara demokrasi seperti halnya Indonesia. Kritik terkadang memang terasa pahit, tetapi ia sangat dibutuhkan untuk menyehatkan dalam pengelolaan negara. Tanpa kritik, pemerintah yang punya segala sumber daya dan kuasa rentan untuk menyimpang dari jalan kebenaran yang seharusnya dijalankannya.
Alhasil bisa jadi benar, kalau dikatakan para pejabat yang anti kritik itu tidak mengerti demokrasi karena nyatanya ia membentengi dirinya dengan kesibukan untuk menjaga harkat dan martabatnya ketimbang kerisauannya terhadap titipan amanah yang diberikan kepadanya.
Ia lebih risau memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya ketimbang memikirkan hasil kerjanya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Ia lebih rela menerima cemoohan rakyat karena dinilai tidak becus kerjanya ketimbang harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongannya.
Lalu apa jadinya jika tipe pejabat yang demikian ini kemudian bertemu dengan wakil rakyat yang ciut nyalinya hanya karena sang pejabat pelit tersenyum atau garang penampilannya? Bisakah kiranya fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan oleh wakil rakyat akan berjalan efektif manakala menemukan tipe pejabat yang demikian itu penampilannya? Bisakah Anda membayangkannya?