Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI |
BORNEOTREND.COM - Masih dalam suasana peringatan 77 tahun Indonesia merdeka, sangat relevan kiranya kalau kita merenungi sejenak sejarah perjalanan bangsa Indonesia dalam rangka memperingati hari kelahirannya. Sekaligus perenungan sejauhmana upaya penyelenggara negara dalam upayanya mendorong pencapaian tujuan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Diakui atau tidak, setelah 77 tahun Indonesia merdeka, ternyata tujuan negara itu belum tercapai sebagaimana harapan kita bersama. Presiden dan pemerintahan boleh silih berganti tetapi cita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur secara merata masih menjadi utopia belaka.
Dulu ketika orde lama berkuasa, banyak terjadi penyimpangan penyimpangan yang dilakukan oleh para pemimpin yang berkuasa di masanya. Setelah orde lama tumbang dan digantikan oleh Orde baru, penyimpangan penyimpangan serupa juga terjadi sehingga rejim itu tumbang setelah 32 tahun berkusasa. Lahirnya orde reformasi yang menggantikan pemerintahan orde baru digadang gadang bakal mampu membawa perubahan bagi perbaikan kehidupan rakyat Indonesia.
Nyatanya orde reformasi juga belum mampu mewujudkan cita cita pendiri bangsa. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah dibajak oleh para pengkhianat bangsa yang membuat upaya untuk pencapaian tujuan negara menjadi terkendala untuk yang kesekian kalinya. Rakyat Indonesia nasibnya tak ubahnya seperti lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya.
Bagaimana modus para pengkhianat negara itu menjalankan aksinya ?, Seperti apa konsekuensi yang timbul sebagai akibat adanya pengkhianatan mereka ?, Upaya apa yang bisa dilakukan untuk meluruskan kembali kerusakan yang telah dilakukan oleh para pengkhianat bangsa?
Modus Pengkhianat
Jika dahulu pada masa orde lama dan orde baru (orba) pengkhianatan terhadap negara dilakukan dengan cara tidak konsisten menjalankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara, maka pada masa orde reformasi, pengkhianatan itu dilakukan dengan cara mengobrak-abrik landasan yang menjadi pijakannya.
Bermula dari tuntutan reformasi yang di usung oleh para mahasiswa dimana salah satu agendanya adalah amandemen UUD 1945, tetapi kenyataannya pelaksanaan agenda ini telah dimanfaatkan oleh para pengkhianat negara sebagai penumpang gelapnya.
Bukan amandemen yang dilakukan melainkan kudeta terhadap konsitusi negara. Karena kalau sekadar amandemen itu maknanya membetulkan (to correct) untuk adanya penambahan atau perubahan yang masih mencakup konstitusi asalnya atau konstitusi aslinya. Tetapi yang terjadi kemudian adalah perubahan besar yang lebih tepat dinyatakan sebagai penggantian konstitusi negara.
Kudeta konstitusi dengan dalih amandemen UUD 1945 itu dilakukan pada kurun waktu 1999 sampai dengan tahun 2002. Akibat kudeta konstitusi ini maka “karya agung”para pendiri bangsa Indonesia menjadi kehilangan maknanya sebagai sarana untuk mewujudkan tujua negara.
Adapun modus modus para pengkhianat negara dalam mengobrak abrik Undang Undang Dasar 1945 itu dilakukan dengan cara :
Pertama, Menghilangkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi Negara. Upaya penghilangan itu dilakukan secara terselubung dengan cara menggergaji substansinya. Dalam hal ini UUD hasil Amandemen 1999-2002, memang masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 pada Alinea ke empatnya. Namun penjabaran dalam pasal-pasal UUD hasil Amandemen tidak mencerminkan ideologi Pancasila.
Penjabarannya justru mengakomodasi ideologi lain dalam hal ini ideologi : LiberalismeIndividualisme. Karena logika dari pasal-pasal yang ada sudah tidak konsisten dan tidak koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Karena peniadaan nilai-nilai fundamental inilah, maka pemberlakuan UUD 1945 hasil Amandemen, tak ubahnya Pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kedua, Menghilangkan Prinsip Kedaultan Rakyat. Seperti diketahui, UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang asli menyatakan bahwa : “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, yang dilanjutkan dengan Pasal 3 yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara”.
Tetapi dengan adanya amandemen UUD 1945, ketentuan ini berubah sehingga menjadi : Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dengan adanya perubahan ini mengandung makna bahwa kedaulatan rakyat diserahkan kepada Presiden, Wakil Presiden dan anggota DPR dan DPD yang dipilih langsung untuk menjalankan pemerintahan kekuasaan negara.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) ini apabila dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, diartikan sebagai pergantian sistem pemerintah sendiri (zelfbestuur) menurut UUD 1945 menjadi sistem presidensiil menurut UUD hasil Amandemen sehingga posisi MPR yang awalnya sebagai perwujudan atau penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan yang memegang serta melaksanakan kekuasaan tertinggi pemerintahan negara, menjadi kehilangan tajinya.
Presiden bukan lagi menjadi Mandataris MPR, sehingga tidak ada mekanisme pertanggungjawaban setiap 5 tahun di depan MPR dan tidak ada Sidang Istimewa jika Presiden melanggar hukum atau tidak melaksanakan politik GBHN. Karena kebijakan Presiden memang bukan berdasar politik rakyat atau GBHN, tetapi cenderung menjalankan politiknya sendiri yang berbasis kepentingan kaum oligarki yang membiayainya.
Ketiga, Menghapus Penjelasan UUD 1945. Berdasarkan Keputusan Panitia Ad-Hoc (PAH-I) Badan Pekerja MPR RI,dinyatakan bahwa menghapus “Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia” dalam UUD hasil Amandemen jelas melanggar diktum bahwa “Penjelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.”
Karena dengan dihapusnya Penjelasan berarti berakhirnya Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Karena itu dengan Putusan MPR pada Rapat MPR Tahun 2002 tentang penghapusan seluruh Penjelasan, pada dasarnya adalah kudeta terselubung terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaaannya pada 17 Agustus 1945 dan menggunakan Pancasila sebagai grondslag dan staatsfundamentalnorm Pancasila.
Ke empat, Menghilangkan Sila ke-Empat Pancasila. Sila ke-4 Pancasila berbunyi; ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan/Perwakilan’ yang mengandung tujuh butir penjelasan di antaranya: Di dalam musyawarah, mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Hal itu bermakna, suara atau pendapat dan pikiran itu harus didengar dan ditimbang bobotnya, untuk kemudian disepakati dengan moral ketuhanan, sesuai dengan watak bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 yang baru, prinsip prinsip sila keempat Pancasila ini menjadi sirna.
Kelima, Meninggalkan Prinsip Kesejahteraan Sosial. Didalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang asli dinyatakan bahwa Indonesia menganut demokrasi Pancasila dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan… dan seterusnya.
Penjelasan atas Pasal 33 di dalam naskah Penjelasan UUD 1945 yang asli sangat terang benderang berorientasi kepada Kesejahteraan Rakyat dan buukan sekadar mengatur Perekonomian Nasional semata. Tetapi dengan adanya amandemen UUD 1945 menghilangkan itu semua. Karena UUD hasil Amandemen 1999-2002 hanya terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal, sehingga tidak ada lagi Penjelasan Pasal 33.
Akibat dari ini semua adalah berkembangnya oligarki ekonomi dimana perekonomian negara diserahkan pada mekanisme pasar yang memberikan peluang besar bagi berkembangnya swasta nasional dan mancanegara untuk menguasai perekonomian negara mengabaikan kesejahteraan sosial rakyat Indonesia. Termasuk cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh mereka.
Keenam, Menghilangkan kata ‘Asli’ dalam Pasal 6 UUD hasil Amandemen UUD 1945.Didalam UUD 1945 yang asli Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli. Orang Indonesia asli itulah sesungguhnya pemilik Nusantara. Orang Indonesia asli itulah yang sejatinya paling berhak memimpin dan mengelola Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional negara Indonesia yang didirikannya.
Guna mencegah agar pemilik Indonesia yang sebenarnya jangan sampai tersingkir, maka Presiden dan Wakil Presiden haruslah orang asli Indonesia. Jangan sampai kejadian seperti negara Singapura dimana penduduk aslinya tersingkir dan hanya menjadi warga kelas dua.
Tetapi dengan adanya amandemen UUD 1945, ketentuan Pasal 6 (1) berubah sehingga bunyinya menjadi : Pasal 6 (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan adanya perubahan ini terbuka peluang orang bukan Indonesia asli menjadi pemimpin di Indonesia.
Modus para pengkhianat dalam mengobrak abrik UUD 1945 tersebut diduga melibatkan orang luar yaitu orang asing melalui antek anteknya di Indonesia. Adanya intervensi Asing ini menurut Valina Singka Subekti: Pelaku-Saksi sejarah dalam proses Amandemen di tahun 1999 – 2002, mengungkapkan, melalui proses Amandemen tersebut menyebabkan hilangnya eksistensi Pancasila sebagai Dasar Negara, sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum Indonesia adalah karena intervensi kekuatan asing, bahkan dengan dukungan dana yang sangat besar (Singka, 2008).
Menurut Samuel Hantington, seperti ditulis Profesor Kaelan, Guru Besar Filsafat UGM, dalam penelitian akademik tentang Konstitusi, dikatakan dalam proses demokratisasi di Indonesia aktor internasional serta berbagai LSM domestik mendapat dukungan dana dari UNDP (United Nations Development Program) serta USAID (United States Agency for International Development). Mengalirnya dana dalam jumlah yang sangat besar ini bertujuan untuk menghapuskan Sistem Demokrasi Indonesia berdasarkan Pancasila.
Konsekuensi Pengkhianatan Itu
Konsekuensi adanya pengkhianatan tersebut telah menghambat upaya untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang di Alinea ke empat pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pada hal sejak awal negara ini merdeka, para pendiri bangsa sudah bercita cita luhur yaitu ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang mensejahterakan rakyatnya.
Pengkhianatan itu telah berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara politik, ekonomi, sosial, keamanan dan sosial budaya. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi, dengan adanya penghilangan Penjelasan pasal 33 UUD 1945 tersebut perekonomian Indonesia menjadi sangat liberal sehingga tidak sesuai dengan nilai nilai Pancasila.
Pemerintah yang terpilih melalui Pemilu langsung telah membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya melalui mekanisme pasar sehingga perlindungan terhadap kepentingan rakyat agar hidup mereka menjadi sejahtera bukan menjadi tujuan utama. Hal ini terbukti dengan adanya beragam Undang-Undang yang memberi kesempatan dan peluang kepada Swasta Nasional maupun Asing (atau yang berkolaborasi melalui pasar modal dan share holder) untuk menguasai Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia.
Termasuk juga penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga segelintir orang (berdasarkan data yang sudah banyak beredar di media massa) dapat menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya bisa mengelus dada. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural yang saat ini berkembang di Indonesia.
Ketidakadilan tersebut telah membuat Oligarki semakin membesar dan menguat dalam dua dasawarsa terakhir ini sehingga menguasai perekonomian Indonesia. Kemiskinan struktural tidak kunjung dapat diatasi oleh negara karena negara tidak jelasnya keberpihakannya dalam membela kepentingan rakyatnya.
Ketidakadilan itu terjadi karena Oligarki Ekonomi telah menyandera kekuasaan dengan kekuatan modal dan uang yang didapat dari pengerukan sumberdaya alam (SDA). Karena fakta yang telah diteliti oleh banyak pemerhati dan akademisi, bahwa Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai lahirnya pemimpin nasional, telah menyandera kekuasaan untuk berpihak kepada kepentingan mereka.
Buah dari adanya pengkhianatan melalui upaya kudeta konstitusi negara tersebut bisa berimbas bukan hanya terjadi saat ini saja melainkan berefek jangka panjang menerpa anak cucu kita. Efek jangka panjang dari amandemen UUD 1945 itu menurut La Nyalla Mattaliti memang sengaja dirancang oleh para pengkhianat bangsa untuk menimbulkan kesulitan bagi bangsa Indonesia.
Khususnya kesulitan bagi orang Indonesia Asli untuk mewujudkan Cita-Cita dan Tujuan Nasional negara seperti yang telah dirumuskan para pendiri bangsa. Karena dengan Amandenen 1999-2002, “mereka” dapat dengan mudah menguasai: 1. Perpolitikan Indonesia 2. Perekonomian Indonesia 3. Kepemimpinan Nasional Indonesia.
Menurut penilaian Mattaliti, jika tiga titik strategis itu telah dikuasai oleh Orang Indonesia (bukan orang Indonesia asli ) maka akan memudahkan proses untuk menguasai Indonesia. Sehingga bisa saja Indonesia maju dan berkembang sejajar dengan negara negara maju lainnya di dunia tetapi pertanyaannya : orang asli Indonesia kebagian apa? Bisa jadi nasib rakyat Indonesia nantinya akan seperti orang Melayu di Singapura yang terpinggirkan begitu keturunan Tiong Hoa (Lee Kwan You) menguasai Singapura.
Yang jelas dengan dikuasainya tiga titik strategis tersebut merupakan karpet merah bagi penguasa Indonesia (bukan orang Indonesia asli) nantinya yang difasilitasi oleh para pengkhianat bangsa melalui melalui UUD hasil Amandemen tahun 1999-2002. Dengan sistem politk yang berlaku sekarang dimana partai politik begitu berkuasa menentukan calon calon pemimpin bangsa maka menjadi peluang emas bagi mereka yang mempunyai banyak uang untuk menguasai Indonesia.
Yang terjadi kemudian adalah bahwa Presiden yang terpilih adalah Petugas Partai, karena Partai Politik yang menjadi pengusungnya. Ini sejalan dengan Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 yang memberikan kekuasaan penuh kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa. Presiden bukan lagi sebagai Mandataris MPR, sehingga tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban Presiden setiap 5 tahun di depan MPR seperti sebelumnya.
Tidak ada lagi Sidang Istimewa jika Presiden melanggar hukum atau melanggar garis garis besar Haluan negara karena GHBN memang sudah tidak ada. Presiden bekerja bukan berdasar politik rakyat yang dituangkan dalam GBHN, melainkan cenderung menjalankan politiknya sendiri yang berbasis kepada kepentingan kaum oligarki yang telah membiayainya. Bukankah ini suatu fenomena yang sangat menggenaskan bagi bangsa Indonesia?
Kembali ke Naskah Asli UUD 1945
Diluar masalah subtansi yang sudah diobrak abrik para pengkhianat bangsa, amandemen UUD 1945 sesungguhnya mengandung inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat yang terkandung didalamnya. Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.
Dengan adanya hasil amandemen UUD 1945 yang dinilai tidak berdasarkan pada nilai nilai Pancasila sehingga melahirkan praktek praktek liberal kapitalistik maka siapapun rezim yang nantinya berkuasa jika sistem kapitalis liberal ini yang diterapkan, hasilnya tak akan tetap gagal mengantarkan bangsa Indonesia kepada tujuan bernegara sebagai mana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu banyak tokoh bangsa yang menginginkan bangsa Indonesia kembali pada UUD 1945 yang asli yaitu UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggl 18 Agustus 1945. Dalam hal ini banyak alasan kenapa harus kembali kepada UUD 1945 asli, beberapa di antaranya yaitu kondisi Indonesia saat ini mirip dengan era kolonial Belanda dimana Indonesia tidak berdaya untuk mempertahankan seluruh pengelolaan sumber daya alam yang di-eksploitasi habis oleh pihak mancanegara.
Kapitalis barat dan timur secara terang benderang sudah menggerus habis seluruh potensi bangsa melalui sistem yang mereka bangun untuk menguasai Indonesia pada berbagai sektor vital bangsa. Indonesia sudah tersandera oleh kelompok-kelompok yang memiliki akses luar biasa dalam mengatur seluruh sistem negara untuk kepentingan kapitalis dunia.Model Liberal kapitalistik yang tengah mengungkung Indonesia saat ini sudah menodai dan menciderai amanat Proklamasi dan UUD 1945.
Oleh karena itu UUD 1945 musti dikembalikan ke naskah asli, termasuk bagian penjelasannya karena penjelasan adalah bagian penting dalam UUD 1945. Saat ini bagian Penjelasan itu telah dibuang sehingga UUD 1945 sudah kehilangan rohnya.Setelah dikembalikan ke naskah aslinya barulah dibicarakan perubahan perubahan yang diinginkan sesuai kesepakatan bersama. Perubahan harus dilakukan secara cermat dan teliti tidak perlu tergesa-gesa.
Isu isu penting seperti kedudukan MPR, pembatasan masa jabatan presiden, masalah hak azasi manusia dan sebagainya perlu menjadi kesepakatan nasional yang proses penetatapannya tidak cacat substansi maupun prosedurnya.
Sampai saat ini sesungguhnya belum ada satu produk hukum pun baik berupa TAP MPR, Undang Undang atau aturan lainnya yang mengesahkan berlakunya UUD 1945 Hasil Amandemen (empat kali) yang terjadi pada kurun waktu 1999-2002.
Pada hal Pasal 3 UUD 1945 ayat (1), menyatakan bahwa: "Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Dengan belum adanya produk hukum yang menetapkan UUD 1945 hasil Amandemen tersebut sesungguhnya mengandung makna bahwa UUD 1945 yang asli secara de jure masih sah berlaku sebagai landasan penyelenggaraan Negara. Namun secara de facto sudah dipraktekkan ketentuan yang ada di UUD baru hasil Amandemen sehingga memunculkan tanda tanya. Kiranya Mahkamah Konstitusi (MK) perlu menyikapi persoalan ini supaya tidak ada simpang siur mengenai status hukumnya.
Manakala segenap penyimpangan penyimpangan tersebut diatas tidak segera di carikan solusinya, maka sama artinya dengan memberikan peluang bagi para pengkhianat negara untuk menggelar pesta penjarahan kekayaan sumberdaya alam Nusantara diatas derita rakyat Indonesia.