Mewaspadai Munculnya Calon Presiden Indonesia Hasil Produk Simulakra

 

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa.
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Pemilihan umum Presiden (Pilpres) dan Wakil Presiden 2024 memang terbilang masih lama tetapi baunya sudah tercium dimana-mana. Para kandidat yang berencana maju menjadi orang nomor satu di Indonesia saat ini sudah mulai tebar pesona. 

Spanduk dan baleho mereka sudah mulai bertebaran di berbagai kota bahkan sampai ke desa desa. Hampir setiap hari kita memang dijejali iklan-iklan politik berisi pencitraan masing-masing capres, baik melalui televisi, radio, media cetak, dan lain sebagainya.

Ada juga yang mulai bergerilya mendatangi tempat tempat yang dianggap bakal mampu menaikkan elektabilitasnya. Lokasi lokasi yang menjadi konsentrasi massa seperti pasar dan pusat pusat keramaian lainnya menjadi pilihannya. Ada juga yang mendatangi pesantren, pengajian dan tempat tempat ibadah lainnya.

Yang tidak biasa berkotor tangan atau tidak biasa hidup di lingkungan “kumuh” kali ini rela turun ke sawah, naik kendaraan umum maupun bergaya seperti orang susah pada umumnya. Semua ini adalah dalam rangka pembentukan citra dirinya agar bisa identik dengan pemimpin yang sederhana,dekat dengan rakyatnya.  

Mereka itu semua sesungguhnya sedang mempersiapkan dirinya dalam panggung Simulakra sebagai sarana untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Tingkah dan perilaku mereka disokong oleh buzzer-buzzer dan media-media yang menjadi pendukungnya.

Lalu apa sesungguhnya Simulakra? Apakah presiden yang berkuasa sekarang merupakan produk dari Simulakra? Mengapa rakyat Indonesia selalu terjebak dan kemudian terlena dalam panggung Simulakra? Bagaimana mewaspadai tampilnya pemimpin bangsa produk Simulakra?


Fenomena Simulakra

Simulacra adalah sebuah terminologi yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard (1929-2007), seorang sosiolog politik asal Prancis ketika menggambarkan realitas semu/ tidak nyata. Bagi Jean Baudrilllard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), manusia abad kontemporer digambarkan hidup dalam dunia simulacra (gambar atau citra ).

Istilah simulacra adalah sebutan teoritis untuk menjelaskan suatu simbol atau tanda dan citra yang muncul dalam kenyataan yang tidak mengacu pada kebenaran yang sesungguhnya. Namun simulasi ini menciptakan citra, tanda, dan simbol yang kemudian menjadi bagian dari kenyataan yang ada.

Menurut Baudrillard, saat ini komunikasi interaksi yang ditampilkan media massa cenderung mengabaikan realitas yang sebenarnya. Setiap orang dapat dengan mudah menerima informasi yang dihasilkan di dunia maya misalnya berupa iklan dengan menampilkan hasil yang sempurna sehingga masyarakat tergoda untuk menirunya.

Iklan menjadi model simulcra karena komunikasi yang ditampilkan seolah-olah merupakan kenyataan yang nyata sehingga masyarakat yang melihatnya mengikuti gaya komunikasi yang terserap dalam iklan media massa yang sebenarnya merupakan manipulasi belaka. Tidak ada kebenaran mutlak yang ditampilkan dalam iklan, itu semua sekadar simulasi untuk mempengaruhi pikiran target yang menjadi sasarannya.

Simulacra membentuk citra yang tidak memiliki proses acuan yang oleh Baudrillrad disebut simulacrum yang merupakan tahap pembentukan citra yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kenyataan sebenarnya.

Baudrillard memberikan contoh citra simulacra yang hadir di dunia adalah hadirnya Disneyland. bukunya ia menulis, "Disneyland is a perfect model of all images of simulacra. Di dalamnya terdapat permainan ilusi dan permainan bayangan melamun seperti banyak lautan dan gambar masa depan dunia. Dunia imajiner mampu dan sukses mengoperasikan dunia "(Baudrillard 1985).

Sangat jelas bahwa pendapat Baudrillrad tentang Disneyland merupakan representasi dari dunia ilusi dan fantasi yang belum pernah ada sebelumnya. Kehadirannya dalam kenyataan dalam bentuk pemikiran imajiner yang diciptakan sebagai simulacrum, sebagai simulacra disneylad menunjukkan fakta bahwa ia mampu menampilkan dunia yang terlihat nyata bahkan melebihi kenyataan yang sebenarnya.

Saat ini ditengah perkembangan teknologi yang sangat canggih dan luar biasa telah mampu memudahkan setiap individu yang dipisahkan oleh ruang dan jarak bahkan waktu untuk berkomunikasi secara langsung, ini juga sebenarnya merupakan bentuk simulasi dan simulakra.

Dalam teorinya, Baudrillrad menjelaskan bahwa realitas dalam media adalah realitas semu dimana sesuatu kebenaran dimanipulasi agar masyarakat mengikuti dan mengkonsuminya. Terlebih ketika manusia hidup di era post-truth, realitas komunikasi digambarkan sebagai sebuah rentang masa yang cenderung mengabaikan kebenaran dan fakta. Dalam konteks ini realitas dan kebenaran dimaknai sebagai sebuah persepsi yang terikat pada perspektif dan interpretasi personal seorang anak manusia.

Pemikiran Baudrillard ini relevan bila digunakan untuk melihat realitas kehidupan berpolitik di Indonesia, karena dinamika kehidupan berpolitik di negara ini banyak menimbulkan berbagai realitas palsu alias tidak sesuai dengan realita yang sesungguhnya.

Dengan demikian Simulakra adalah konstruksi pikiran imajiner manusia atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara nyata. Tidak ada kondisi yang ‘sebenarnya’ melainkan representasi yang dianggap sebagai realitas/ fakta.

Semua orang pasti tahu, citra atau pencitraan adalah upaya-upaya sistematis untuk membentuk persepsi, pikiran, serta mempengaruhi sikap perilaku kita agar bersedia memberikan respons sesuai kehendak si pembuat citra.

Kadang kadang fenomena Simulakra ini dikait kaitkan dengan berita hoaks (kabar bohong) yang saat ini banyak bertebaran di pemberitaan media.Hoaks dan simulakra sepintas mirip, tetapi sebenarnya keduanya mempunyai makna yang berbeda. Misalnya, Anda tidak sakit, tapi bilang sakit kepada atasan Anda sebagai alasan untuk tidak masuk kerja, ini adalah hoaks namanya.

Pengertian tersebut berbeda dengan Simulakra karena dalam Simulakra tak sekadar berkata bohong belaka melainkan lebih mendalam penggambarannya. Dalam pengertian Simulakra kondisi Anda yang tidak sakit tetapi dibilang sakit itu diyakinkan dengan upaya Anda untuk berusaha menciptakan situasi sakit yang sebenarnya. Sebagai contoh tidur di rumah sakit, berselimut menggigil, sambil berpose seperti orang sakit pada umumnya.

Kondisi diri yang sedang sakit tersebut kemudian dibuktikan dengan adanya foto foto yang dikirimkan ke ke atasan Anda untuk meyakinkannya. Pada foto yang dikirimkan bisa juga ditambahkan caption sedang sakit dan imbauan dokter untuk istirahat untuk pemulihannya. Dalam perspektif atasan yang dikirimi foto itu, Anda pasti akan dikira benar benar sakit sehingga bisa dimaklumi kalau tidak bisa masuk kerja.

Dalam pengertian Simulakra, kondisi sakit tersebut bisa dibuat untuk menciptakan realitas semu alias bukan sesungguhnya. Realitas (mirip) orang sakit memang ada, tapi gejala sakit sebagai suatu hal yang alamiah itu dipalsukan sedemikian rupa sehingga tidak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya

Contoh upaya untuk menciptakan Simulakra pernah terjadi pada saat berlangsungnya unjuk rasa tahun 2019 di Jakarta. Saat itu tersiar berita adanya `ambulans DKI yang membawa batu` saat berlangsungnya unjuk rasa. Berita ambulan membawa batu itu pertama kali disebarkan akun media sosial Twitter TMC P*lda M*tro J*ya yang ternyata bohong belaka. Ambulans itu dianggap membawa batu dan bensin untuk massa perusuh yang mendompleng demonstran dalam aksi penolakan sejumlah Rancangan Undang (RUU) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Dalam kasus tersebut, ambulansnya memang ada, batunya pun juga ada. Tapi narasi yang diungkap tak mewakili realitas sebenarnya sampai klarifikasi dibuat untuk menjernihkan kondisi yang sesungguhnya.

Padahal beritanya sudah menyebar kemana mana disambut dengan gegap gempita oleh para buzzerr yang memojokkan kelompok tertentu khususnya gerakan 212.Inilah yang dinamakan simulakra, yakni sebuah tiruan tanpa wujud asli realita yang sesungguhnya untuk tujuan tertentu sesuai dengan kehendak penciptanya.

Produk Simulakra

Presiden yang berkuasa sekarang ini disebut sebut sebagai produk Simulakra. Penilaian ini antara lain datang dari pengamat politik UNJ Ubedilah Badrun yang menilai Presiden Joko Widodo adalah produk dari industri politik Simulacra."Jokowi adalah produk politik simulacra. Sebuah episode industri politik yang mampu menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif dan sistemik," demikian katanya seperti dikutip media.

Penilaian dari pengamat politik tersebut kiranya mendekati fenomena yang ada. Kalau kita baca dari sejarah perjalanan politik Jokowi sampai sekarang menjadi orang nomor satu di Indonesia, penuh dengan taburan citra yang bisa jadi bernuansa “rekayasa”. 

Masih segar dalam ingatan kita ketika Jokowi akhirnya hijrah dari solo ke ibukota untuk maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Saat itu namanya begitu populer di media massa sebagai calon pemimpin idaman rakyat jelata.

Kebetulan saat itu menjelang Pilkada DKI Jakarta, sebuah yasasan Wali Kota Sedunia (The City Mayors Foundation) menempatkan Jokowi Walikota terbaik ketiga di dunia. Yayasan yang tidak jelas track recordnya tersebut pada Januari 2013 melabelkan Jokowi sebagai Walikota terbaik dunia. Berbagai pihak saat itu menduga, penghargaan “abal – abal” itu sengaja dibuat untuk mendongkrak popularitasnya dan menutupi kegagalan kerjanya selama 2 periode memimpin kota Solo yang baru saja ditinggalkannya.

Dengan adanya penghargaan tersebut, maka masyarakat tidak akan melihat kegagalan Jokowi tetapi diarahkan pada sosoknya yang “ndeso” dan merakyat, dan peduli pada rakyat jelata. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diperbuatnya kepada rakyat Solo yang memiliki indeks kemiskinan cukup tinggi di Provinsi Jawa Tengah pada masanya.

Saat itu media massa dan sosial media pun dikerahkan untuk mengangkat profil Jokowi sebagai calon ideal Gubernur DKI Jakarta. Kita dapat melihat puluhan berita Jokowi setiap harinya, begitu juga dengan media sosial atau jejaring sosial yang ada di dunia maya.

Sebuah tim dengan anggota yang sangat besar disiapkan untuk mengangkat nama Jokowi lewat sosial media. Tim tersebut dikenal dengan nama Jasmev ( Jokowi – Ahok Social Media Volunteers) yang tetap eksis pasca Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Jasmev bertugas memblow-up berita pencitraan Jokowi baik yang sudah naik di media massa ataupun tentang kegiatan sehari harinya. Jasmev secara terus menerus mengangkat pencitraan positif Jokowi dan menyerang siapa saja yang berani mengkritiknya. Jasmev membuat Jokowi seolah-olah seperti nabi yang tidak memiliki celah dan kesalahan, sehingga muncul istilah nabi Jokowi di jejaring sosial media.

Tim Jokowi bekerja sistematis dan berkelanjutan, tujuannya bukan hanya untuk posisi meraih jabatan sebagai Gubernur DKI tetapi Presiden Republik Indonesia. Tim Jokowi tidak hanya bergerak di media tetapi juga di lapangan dengan membentuk komunitas – komunitas yang menyatakan diri mendukung pencapresan Jokowi sebagai presiden Indonesia.

Komunitas tersebut juga sengaja dibentuk untuk tujuan menekan Ketua Umum PDIP Megawati agar memberikan izin Pencapresan Jokowi sebagai kendaraan politiknya. Strategi ini berhasil, sehingga Jokowi dinobatkan sebagai Capres PDIP 2014 dan berhasil membutakan masyarakat tentang siapa sesungguhnya Jokowi dan kepentingan yang membonceng di belakangnya.

Dalam kampanyenya Jokowi telah berjanji untuk tidak meninggalkan Jakarta selama masa jabatannya. Tapi janji itu terbukti hanya jadi cara untuk mengelabui para pemilihnya saja karena belum sampai habis masa jabatannya ia sudah loncat posisi menjadi calon presiden Indonesia.

Selama memimpin DKI Jakarta, persoalan utama Jakarta yaitu banjir dan macet terbukti gagal diselesaikannya. Bahkan kemudian muncul gagasan dari para pendukungnya bahwa persoalan banjir dan macet Jakarta akan mudah teratasi kalau Jokowi sebagai presidennya.

Selain gagal mengatasi macet dan banjir , kegagalan Jokowi juga dapat kita lihat dari rendahnya penyerapan APBD Jakarta yang merupakan indikator utama dalam menilai kemampuan dan kinerja seorang kepala daerah dalam memimpin daerahnya. Di tangan Jokowi, konon serapan APBD DKI Jakarta tercatat paling rendah se- Indonesia dan sepanjang sejarah yaitu 55% saja.

APBD DKI yang terserap pada tahun 2013 sebagian besar hanya untuk biaya rutin yakni pembayaran dan belanja gaji pegawai DPRD dan Pemda DKI Jakarta. Logikanya, Pemprov tidak memiliki uang dan tidak akan bisa membangun kota Jakarta dan membuat program yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti halnya di Solo, Jokowi tidak mampu mengentaskan kemiskinan warga Jakarta.

Tetapi rupanya gerakan untuk membangun citra dan kehebatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah mengalahkan dan melupakan fakta fakta yang ada. Nyatatnya popularitas terus menanjak menjelang pemilu Presiden tahun 2014,saat mana kemudian ia di usung sebagai calon presiden Indonesia bersama Jusuf Kalla yang berhasil mengalahkan pasangan Prabowo—Mohammad Hatta.

Kehadiran Jokowi yang melejit karir politiknya sebagai pemimpin Indonesia tidak terlepas dari adanya fenomena keinginan rakyat pada umumnya yang ingin supaya pemimpin Indonesia berasal dari rakyat jelata bukan dari darah biru atau berasal dari keturunan kaum feodal yang selama ini menguasai jagad perpolitikan di Indonesia.

Dilihar dari sisi ini, kehadiran Jokowi memang berhasil memutus dominasi keluarga dan koneksi dari `Cendana`, `Teuku Umar`, dan `Cikeas` yang selama ini mendominasi dunia politik di Indonesia. Rupanya spirit demokrasi yang meluas saat itu yang kemudian bertemu dengan dengan spirit untuk memutus mata rantai pemimpin dari kalangan darah biru dan feodal telah menjadi momentum bagi Jokowi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Kondisi tersebut telah direspons oleh kelompok kritis dari lapisan sosial baru yang non keluarga dan non koneksi `Cendana`, `Teuku Umar` dan `Cikeas` untuk memberikan dukungannya. Kehadiran Jokowi saat itu dinilainya sebagai jawaban dari problem penderitaan mobilitas vertikal politik kelompok yang selama ini merindukan lahirnya pemimpin dari kalangan rakyat jelata.

Kebanyakan orang pada saat itu lupa untuk mengkaji siapa sebenarnya dibalik tampilnya seorang Jokowi sebagai calon presiden Indonesia. Pada hal dibalik itu semua ada para pemilik modal dan tokoh tokoh politik lama yang ikut bermain di dalamnya.

Kelompok oligark termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan saat Soeharto berkuasa ikut mendalangi perjalanan politiknya. Orang orang lama semasa Orba berkuasa, ikut tampil di garda depan dalam menggawangi karier politiknya. Mereka yang seolah tampil sebagai tokoh pejuang demokrasi dengan kedok populisnya. Dalam koneks ini kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, dimana medianya sendiri notabene adalah milik mereka.

Menurut Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs , Jokowi adalah produk oligarki di masanya. "Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi berkat dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga yang mendoronganya menuju kemenangannya.

Namun, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilihnya. Meski dia mendapat dukungan akar rumput, dia bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput," begitu katanya seperti dikutip tirto. 9/12/21.

Dalam hal ini Jokowi berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya. Karena itulah hingga dia menjadi presiden dua periode seperti sekarang, dia tidak bisa melawan kepentingan elite dan partai politik yang telah mengusungnya.

Dilihat dari latar belakangnya sangat wajar kalau pemerinhtah saat ini dinilai telah berpelukan begitu mesra dengan oligarki karena ia menjadi produknya. Sekaligus ia menjadi produk Simulakra yang berhasil diciptakan oleh tokoh tokoh politik dan pemilik modal yang menjadi menyokongnya.

Terjebak Dalam Panggung Simulakra

Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini, realitas telah hilang dan kebenaran seringkali manguap begitu saja. Saat ini yang namanya realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan dicitrakan sedemikian rupa.

Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya episode baru dinamika manusia boneka. Simulacra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang palsu dan yang nyata.

Diakui atau tidak manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata di luar simulasi yang telah diciptakan oleh dalangnya. Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan kepentingan politik atau kepentingan lainnya.

Masyarakat tidak sadar akan pengaruh citra (signs/simulacra), hal ini membuat masyarakat kerap kali mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulacra untuk membeli, bekerja, dan lain-lain termasuk misalnya untuk memilih presiden, gubernur, Bupati atau Walikota yang akan menjadi pemimpinnya.

Di panggung Simulakra pilihan-pilihan hidup kita termasuk dibidang politik kini dipengaruhi oleh citra yang diciptakan oleh agen-agen periklanan, manajer kampanye politik, para buzzer dan aktor aktor politik melalui media media yang dikuasainya. Kita teringat di zaman Hitler dulu, Joshep Goebbels (Menteri Propaganda Nazi), menyatakan bahwa pencitraan palsu atau kebohongan yang diulang-ulang akan membuat publik menjadi percaya. Karena itulah pencitraan dijadikan senjata dan alat untuk mencapai tujuan politiknya.

Kini semua orang pasti tahu, citra atau pencitraan adalah upaya-upaya sistematis untuk membentuk persepsi, pikiran, serta mempengaruhi sikap perilaku kita agar bersedia memberikan respons sesuai kehendak si pembuat citra.

Saat ini meskipun pemilu 2024 terbilang masih lama, namun setiap hari kita sudah dijejali dengan iklan-iklan politik berisi pencitraan masing-masing capres, baik melalui televisi, radio, media cetak, dan lain sebagainya.

Mungkin sudah ada puluhan bahkan ratusan miliar rupiah uang yang digelontorkan untuk membuat kegiatan pencitraan ini demi mempengaruhi calon pemberi suara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan-perusahaan konsultan politik mendesain citra para politisi agar sesuai dengan selera publik yang menjadi pendukungnya.

Pada saat yang sama, publik yang sudah hidup di alam simulakra cenderung memberikan suaranya kepada citra si kandidat, bukannya pada realitas si kandidat yang sebenarnya.Yang jadi masalah adalah, bagaimana jadinya kalau kita sudah terasuki oleh pencitraan tadi lalu mempercayainya membabi buta, dan tak sanggup lagi membedakan mana citra dan mana realitas yang sebenarnya?

Dalam hal ini Publik telah terjebak di panggung Simulakra dan seolah olah tak mampu lepas dari rekayasa penciptaam simulasi palsu yang mereka bikin untuk mempengaruhi persepsi rakyat sebagai pemilik suara. Rakyat akhirnya terjebak pada situasi kebingungan dan kegamangan dalam menentukan pilihannya karena penuh sesaknya arus informasi yang mengalir dikepalanya yang kebanyakan berisi pencitraan belaka.

Perlu Waspada

Oleh karena itu patut diwaspadai, karena saat ini kaum oligarkh, para pemilik modal yang banyak duitnya sedang bersiap siap mengelus ngelus jagoannya agar lolos untuk bisa menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya. Mereka yang sedang “beternak” penguasa sedang menyiapkan panggung Simulakra untuk meraih simpati rakyat yang menjadi pemilik suara di pemilu nantinya.

Calon-calon jagoannya yang sebernarnya tidak ada prestasinya atau jelek kualitasnya bisa saja disulap menjadi calon pemimpin ideal karena sihir pencitraan yang diciptakannya. Mereka bisa tampil mempesona seolah olah dialah sang pemimpin harapan rakyat jelata yang bisa merubah kehidupan rakyat pada umumnya.

Seolah mereka pemimpin masa depan yang aka mengantarkan rakyat Indonesia menjadi maju dan sejahtera sebagaimana cita cita para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Dengan kekuatan sumberdaya yang dimilikinya, para “peternak” penguasa ini bisa menyewa Lembaga survey, membuat kegiatan kegiatan deklarasi dukungan, mengaji buzzer buzzer hingga penguasaan media untuk diarahkan dukungannya kepada jagoan calon pemimpin bangsa yang di usungnya.

Oleh karena itu ditengah situasi yang demikian rakyat seyogyanya harus tetap cerdas menyikapinya. Biarkan saja spanduk dan baleho baleho kampanye mereka bertebaran di berbagai kota dan desa. Biarkan saja mereka blusukan masuk ke gorong gorong atau pergi kesawah berkotor tangan untuk mendongkrak citra dirinya. Biarkan saja mereka bersafari ke pondok pondok atau sarana ibadah untuk mencari simpati disana.

Masyarakat perlu memperhatikan latar belakang dan kinerja dari calon pemimpin yang ingin naik kelas menjadi orang nomor satu di Indonesia. Kalau kebetulan mereka saat ini sedang menjadi Kepala Daerah semisal Gubernur, Bupati atau Walikota kira kira bagaimana kinerjanya ?. Demikian pula kalau mereka saat ini sedang menjabat sebagai seorang Menteri atau sedang memimpin suatu Lembaga negara di era pemerintahan yang sekarang berkuasa.

Kewaspadaan itu perlu ada karena saat ini sudah bermunculan calon calon pemimpin bangsa hasil rekayasa Simulakra. Karena ada saja Menteri yang sibuk tebar pesona kemana mana pada hal terbengkalai tanggungjawabnya sebagai pejabat negara. Adanya BUMN BUMN yang bangkrut dan terlilit utang adalah salah satu indikatornya.

Ada juga pemimpin Lembaga negara yang mandul tidak berdaya dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya dalam mengawasi pemerintah yang sedang berkuasa tapi pemimpinya sibuk bersafari ria untuk mencari simpati massa. Balehonya ada dimana mana untuk menaikkan citra dirinya pada hal sebenarnya jeblok kinerjanya.

Ada juga seorang Kepala Daerah yang konon sangat tinggi elektabilitasnya tapi sebenarnya jeblok kinerjanya. Karena daerah yang dipimpinnya termasuk kategori 15 daerah miskin di Indonesia.

Bukan cuma itu, permasalahan banjir masih sering menyambangi wilayahnya, belum lagi dugaan ia menjadi pemimpin boneka pemilik modal karena cenderung lebih memihak kepada mereka dalam penyelesaian kasus di wilayahnya seperti Kasus Wadas, tambang Kendeng dan sebagainya. Sementara yang bersangkutan konon lebih sibuk bermedia sosial untuk menaikkan citra dirinya.

Oleh karena itu serangkaian fakta yang terhidang tersebut jangan sampai ditenggelamkan oleh mereka para peternak penguasa yang menciptakan simulasi semu lewat panggung Simulakra.

Karena kalau ini yang terjadi maka pada akhirnya nanti rakyat bisa terninabobokkan sehingga membuat terlena mereka dalam menentukan pilihannya. Pendeknya jangan sampai terpilih pemimpin Indonesia yang penampilannya merakyat tapi kebijakannya menggencet rakyatnya. 

Bagaimana menurut Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال