Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: istimewa) |
BORNEOTREND.COM - Hari Selasa, 20 September 2022 yang lalu, Forum Legislasi Diskusi Parlemen DPR dan KWP menggelar diskusi yang bertemakan Rancangan Undang Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana di Gedung Nusantara III DPR RI, Jakarta.
Diskusi tersebut bisa jadi muncul karena akhir-akhir ini DPR sedang disorot banyak pihak sebagai akibat RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang tak kunjung dibahas untuk bisa disahkan segera. Sasaran tembak sebenarnya bukan hanya ke Gedung Parlemen tapi juga kepada para mahasiswa yang dinilai tidak mau berunjuk rasa menuntut pembahasan segera RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
"Saya berharap pihak mahasiswa itu bisa mendesak DPR RI agar bisa segera membahas RUU perampasan aset para koruptor. RUU ini jelas-jelas berpihak pada rakyat, namun sudah 1 dekade belum jelas nasibnya bagaimana," kata Yusuf Muhammad seorang pegiat media sosial yang sekaligus buzzer pendukung Pemerintah yang saat ini berkuasa. Ia merasa kecewa dengan DPR RI yang kembali lagi tidak memasukkan pembahasan RUU Perampasan Aset Koruptor dalan Prolegnas 2022.
Mengapa RUU Perampasan Aset Tindak Pidana terkatung-katung pembahasannya? Benarkah sinyalemen yang menyatakan bahwa pengesahan RUU ini nantinya akan menjadi senjata makan tuan bagi pembuatnya? Bagaimana kaitan UU Perampasan Aset dengan Undang Undang MLA yang sudah disahkan berlakunya?
Terkatung-katung
Kita semua tentu sepakat bahwa keberadaan RUU Perampasan Aset sangat penting bagi penegak hukum dalam upaya proses pengembalian aset hasil tindak pidana. Selama ini kewenangan penegak hukum dalam perampasan aset masih terbatas, meskipun terdapat UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Namun proses eksekusi aset membutuhkan waktu panjang, mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi setidaknya membutuhkan waktu dua tahun lamanya. Itulah sebabnya mengapa RUU Perampasan Aset perlu disahkan segera.
Meskipun RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dinilai sangat penting namun faktanya RUU ini masih terkatung katung pembahasannya. Nampaknya, upaya untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset sama berlikunya dengan upaya pemberantasan korupsi di negeri kita.
Kalau kita telusuri sejarahnya, sebenarnya usulan untuk membentuk RUU Perampasan Aset sudah berlangsung cukup lama.Usul untuk membentuk RUU Perampasan Aset lahir di tengah keputusasaan banyak pihak menyaksikan kasus korupsi yang merajalela di Indonesia. Usul itu sudah dimulai sejak tahun 2008 pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pada bulan November tahun 2010, RUU ini kemudian rampung dibahas antar kementerian untuk dimajukan pada tahapan selanjutnya. Melalui surat Menteri Hukum dan HAM No. M.HH.PP.02.03-46 RUU Perampasan Aset disampaikan kepada presiden pada 12 Desember 2011, kemudian harmonisasi naskah akademik dilakukan pada tahun 2012. RUU Perampasan Aset sempat masuk masuk sebagai RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah pada tahun 2015, namun setelah itu ceritanya seperti hilang begitu saja.
Pembicaraan mengenai RUU Perampasan Aset kembali mengemuka setelah RUU tersebut tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seperti diberitakan, Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3/2021) mengesahkan 33 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Pengesahan 33 RUU itu pun disorot oleh sejumlah pihak lantaran salah satu RUU yang dinilai penting yaitu RUU Perampasan Aset Tindak Pidana justru tak masuk didalamnya.
Tidak masuknya RUU Perampasan Aset kedalam Prolegnas 2021 disesalkan banyak pihak yang mengindikasikan bahwa pembentuk Undang Undang (dalam hal ini DPR) dinilai tidak mempunyai political will yang kuat dalam upaya Perampasan Aset hasil tindak pidana di Indonesia.
Sesungguhnya soal lambatnya pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana itu juga terjadi pada beberapa RUU lainnya. Saat ini masih banyak RUU yang belum kelar kelar juga pembahasannya meskipun telah berlangsung sangat lama. Anggota DPR yang membahas RUU tersebut sudah berkali kali berganti orangnya. Tetapi RUU yang dibahas tidak kelar kelar juga.
Beberapa RUU sangat lama pembahasannya hingga lebih dari lima kali masa sidang dan tak kunjung disahkan diantaranya adalah :RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, RUU tentang Wawasan Nusantara.
Lalu RUU tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, RUU tentang Kewirausahaan Nasional, RUU tentang Ekonomi Kreatif, RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;RUU tentang Perkoperasian, RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;RUU tentang Jabatan Hakim;RUU tentang Pertembakauan;RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan masih banyak lagi yang lainnya.
Berlarutnya pembahasan RUU tersebut memang menimbulkan polemik di masyarakat terkait dengan kinerja fungsi legislasi DPR dan Pemerintah yang berkuasa.Disinilah uniknya, pembahasan RUU terlalu lambat menimbulkan polemik tetapi terlalu cepat penyelesaiannya juga menimbulkan tanda tanya. Karena muncul kecurigaan ada apa-apanya.
Senjata Makan Tuan?
Terkatung-katungnya nasib RUU Perampasan Aset memang menimbulkan banyak tanda tanya. Padahal RUU itu termasuk salah satu RUU Prioritas yang sudah dijanjikan Presiden Jokowi dalam Nawacita 2014-2019 yang lalu dan kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Begitu pentingnya posisi daripada RUU Perampasan Aset untuk disahkan pemberlakuannya namun sampai sekarang tak kunjung disahkan juga. Bahkan tidak juga dimasukkan kedalam Prolegnas prioritas 2022. Hal ini memunculkan tanda tanya, ada apakah sebenarnya?
Tidak kunjung di bahasnya RUU Perampasan Aset TIndak Pidana akhirnya mengarah pada tuduhan kepada DPR sebagai “tersangkanya”. DPR dianggap masyarakat telah mencederai amanat yang diberikan rakyat kepadanya karena selalu mengakandaskan pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Mereka menduga kalau RUU tersebut di sahkan akan menjadi senjata makan tuan karena yang terkena para pejabat negara termasuk yang ada di gedung DPR yang notabene sebagai pihak yang mengesahkannya. Makanya RUU Perampasan Aset tetap di biarkan untuk tidak dibahas dan disahkan agar para pelaku tindak pidana beserta keluarganya dapat terus menikmati hasil korupsi atau kejahatannya meskipun secara pidana pelaku telah menjalani hukumannya.
Para pejabat negara yang terlibat kasus korupsi akan dengan tenang menjalani masa hukuman karena setelah bebas, apalagi dengan diskon hukuman besar-besaran, mereka bisa tetap menikmati hasil korupsinya. Begitu pula dengan pelaku kejahatan atau tindak pidana lainnya.
Kecurigaan tersebut ternyata juga dirasakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Ia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak yang khawatir atau takut jika RUU Perampasan Aset disahkan segera.
"Saya berdiskusi dengan beberapa teman kenapa tidak jadi (masuk proglegnas) terus terang banyak orang yang takut," ujar Mahfud dalam diskusi Jumpa PPATK Pekanan, yang ditayangkan di kanal youtube PPATK, Jumat (2/4/21) seperti dikutip mediaindonesia.com.
Apakah benar, pernyataan dari Menkopolhukam tentang adanya pihak pihak yang khawatir atau takut kalau RUU Perampasan Aset disahkan berlakunya?Itukah rupanya yang membuat nasib RUU Perampasan Aset terkatung katung nasibnya? Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa gerangan pihak pihak yang khawatir dan takut itu sehingga menyebabkan pengesahan RUU Pengesahan aset menjadi tertunda?
Begitulah kira kira anggapan dan sangkaan yang berkembang dikalangan mereka yang mencurigai tidak kunjung di sahkannya RUU Perampasan Tindak Pidana. Sebuah sangkaan dan kecurigaan yang kiranya wajar wajar saja dialamatkan kepada para pejabat termasuk wakil rakyat yang sering dinilai belum mampu mengemban amanah rakyat yang diwakilinya. Tetapi apakah memang benar begitu faktualnya?
Dalam hal ini perlu untuk diluruskan bahwa sesungguhnya RUU Perampasan Aset tidak hanya menyangkut soal tindak pidana korupsi (Tipikor), melainkan tindak pidana lain yang membawa kerugian pada negara. Artinya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, juga bisa dikenakan untuk tindak pidana yang lain, terutama yang membawa kerugian kepada negara, meskipun bukan karena korupsi misalnya saja tindak pidana narkotika hingga tindak pidana penyelundupan yang sama-sama membawa kerugian kepada negara.
Adapun persoalan yang menyangkut lambatnya proses pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset Negara kiranya tidak pada tempatnya untuk menjadikan DPR sebagai kambing hitamnya. Sebab seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi, Baleg tak bisa menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan atas tersendatnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Sebab, penyusunan RUU ini membutuhkan keterlibatan pemerintah yang sedang berkuasa. Baidowi menyebut, saat rapat penetapan Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) Prioritas 2022, pemerintah tidak mengusulkan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas untuk disahkan segera.
Dikutip dari pemberitaan kompas.com, 10 Desember 2021, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pada tahun lalu, RUU Perampasan Aset sebenarnya telah diusulkan oleh pemerintah agar masuk prolegnas prioritas namun kemudian ditunda. Alasan ditunda karena pemerintah dan DPR saat itu ingin fokus terlebih dulu menyelesaikan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pernyataan ini dipertegas Yasonna di Gedung Sekretariat Jenderal Kemenkumham, Jakarta, Kamis 6 Januari 2022, saat ditanya soal tindak lanjut RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang tak kunjung diselesaikan pengesahannya. Dia mengatakan bahwa pemerintah bakal memprioritaskan pembahasan RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN).
Masih menurut Yasonna, pemerintah juga telah memutuskan untuk kemudian memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sebagai dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Jelas kiranya bahwa terkatung-katungnya pembahasan RUU Perampasan Aset tidak semata mata karena adanya dugaan senjata makan tuan saja tetapi juga karena faktualnya ada agenda lain yaitu untuk menyelesaikan RUU yang dianggap lebih prioritas untuk diselesaikan segera.
Kalau mau jujur memang harus diakui, RUU yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat biasanya memang lambat dan kurang diprioritaskan penyelesaiannnya. Beda halnya dengan RUU yang bersingunggan dengan kepentingan pemilik modal dan kelompok oligarki, akan cepat sekali pembahasannya. Karena biasanya ada mengandung “amunisi” didalamnya. Seperti misalnya RUU Minerba, RUU Cipta Kerja dan lain lainnya.
Sejauh ini memang banyak faktor yang bisa mempengaruhi perjalanan pembahasan suatu RUU hingga menjadi UU agar dapat berlaku sebagaimana mestinya. Faktor faktor tersebut bisa bersifat dominan tapi bisa juga biasa biasa saja. Semuanya akan mempengaruhi kinerja pembuat UU dalam menyelesaikan tugasnya.
Diantara faktor yang menjadi variable cepat atau lambatnya pembahasan suatu RUU adalah karena adanya tekanan dan kepentingan yang mempengaruhinya. Sebagai contoh cepatnya pembahasan RUU Omnibuslaw cipta kerja karena memang ada “titah” dan dorongan sangat kuat dari penguasa agar pembuat UU segera merampungkan tugasnya.
Dugaan adanya kepentingan dan tekanan dalam pembahasan suatu RUU sehingga mempengaruhi kecepatan dan keterlambatan penyelesaiannya kiranya bisa dirasakan namun sulit untuk pembuktiannya. Yang jelas lambat atau cepatnya pembahasan suatu RUU karena memang banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor faktor tersebut diantaranya terkait dengan siapa sponsornya, apa kepentingannnya, sejauhmana supportnya untuk penyelesaiannya, seberapa besar RUU itu mengandung nilai finansial tertentu yang menguntungkan bagi para pembuatnya dan sebagainya.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka ketika pembahasan suatu RUU, hitung hitungan siapa mendapatkan apa dan berapa nilainya bukan suatu hal yang tabu terdengar di telinga. Lagi lagi hal ini sulit dibuktikan tetapi sering tercium baunya. Mungkin karena faktor ini pula yang menyebabkan RUU yang bersinggungan dengan kepentingan publik sering terkatung katung penyelesaiannya. Termasuk dalam kategori ini adalah RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.
Oleh karena itu kalau ingin supaya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ingin cepat dibahas dan disahkan berlakunya maka semangat dan dorongan pemerintah perlu lebih ditingkatkan seperti halnya dorongan dan “tekanan” ketika pembahasan RUU Cipta Kerja, RUU Minerba dan RUU Pindah Ibukota. Tanpa dorongan dan “titah” yang kuat di dukung sumberdaya yang mumpuni, niscaya harapan pemerintah untuk RUU Perampasan Aset untuk disahkan segera bisa dibaca sebagai sebuah jargon pencitraan belaka.
RUU Perampasan Aset dan UU MLA
Di tengah tengah “tekanan” untuk segera disahkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, saya menjadi teringat beberapa Undang Undang yang dulu juga begitu getol di dorong untuk bisa disahkan segera yaitu Undang Undang MLA atau Undang-Undang tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (UU MLA).
Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan beberapa negara diantaranya Australia (diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 1999), China (diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006), dan juga Korea. Selain itu ratifikasi juga dilakukan dengan negara negara seperti Hong Kong, India, dan Vietnam, Uni Emirat Arab, Iran, Swiss, dan Rusia.
Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. MLA antar negara-negara ASEAN ini diwujudkan melalui UU No. 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana).
Terakhir telah disahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss dimana Undang Undang ini disahkan tanggal 5 Agustus 2020 yang lalu.
Dengan telah ditandatanganinya beberapa UU MLA tersebut harapannya aset aset warga negara Indonesia hasil kejahatan yang ada dimancanegara bisa ditarik pulang ke Indonesia. Lebih lebih sebelumnya Presiden Jokowi pernah menyatakan adanya dana tak kurang dari 11 ribu triliun yang bisa dikembalikan ke Indonesia.
Dalam kaitan tersebut, pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng dalam keterangan tertulis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (20/10/21) menyatakan bahwa UU MLA memang lebih efektif menutup APBN yang jebol ketimbang UU omnibus law UU Cipta Kerja.
"Dari pada birokrasi pingsan urus ratusan PP, Perpres, Kepres, dan ribuan Permen soal omnibus law, mending Paduka yang Mulia (Presiden Joko Widodo) laksanakan UU MLA ini," kata Salamuddin Daeng dalam rilisnya. "Omnibus law belum jelas dapat uangnya kapan untuk bisa nutup APBN yang jebol? Sementara MLA jelas dapat uang secepat kilat," lanjut dia.
Tetapi seperti diketahui bersama UU MLA yang sudah disahkan tersebut nampaknya belum optimal dilaksanakan sehingga belum mampu mengembalikan aset dan uang warga negara Indonesia hasil kejahatan yang disimpan di beberapa negara.
Oleh karena itu ditengah tengah gencarnya keinginan untuk pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, kiranya kita perlu berkaca ulang pada beberapa Undang Undang yang telah disahkan sebelumnya yang ternyata masih belum optimal dilaksanakan juga. Fenomena ini bisa memunculkan dugaan jangan jangan kalau RUU Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan, nasibnya akan sama dengan Undang MLA yang belum jelas sejauhmana realisasinya.
Sungguhpun demikian kita bersama tetap berharap RUU Perampasan Aset TIndak Pidana bisa diselesaikan segara agar bisa dijadikan instrument legal untuk penyitaan aset hasil tindak pidana. Semoga saja RUU Perampasan Aset yang telah masuk Prolegnas di tahun 2023 tidak terganggu pembahasannya oleh Undang Undang prioritas yang datang secara tiba-tiba seperti halnya UU Cipta Kerja, UU Pindah Ibukota atau yang sejenisnya.