Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Ditengah hiruk-pikuk pemberitaan soal kenaikan harga BBM bersubsidi, berita yang menyangkut pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J oleh Bharada Richard Eliezer (RE) atas perintah Irjen Pol Ferdy Sambo masih menghiasi pemberitaan media massa.
Terungkapnya kasus pembunuhan itu seolah olah membuka kotak pandora yang menunjukkan wajah institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang sedang tidak baik baik saja. Karena selain masalah pembunuhan ternyata kasus ini telah memunculkan bias terbukanya kasus kasus lain yang tidak diduga sebelumnya seperti masalah perjudian, narkoba dan yang lain-lainnya. Bias kasusnya sudah melebar kemana mana, maka pantas saja kalau sudah dua bulan lamanya penanganan kasus ini belum kelar kelar juga.
Sejumlah persoalan tersebut pada akhirnya menjadi akumulasi untuk munculnya suatu tuntutan agar segera dilakukannya perubahan secara menyeluruh terhadap institusi kepolisian dimana diantaranya adalah dengan merevisi Undang Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Apa pentingnya Undang Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri perlu direvisi segera?Mengapa gagasan untuk merevisi Undang Undang ini telah memunculkan tanggpan pro dan kontra? Adakah agenda tersembunyi dibalik rencana revisi Undang Undang Polri pasca munculnya kasus pembunuhan Brigader Joshua?
Urgensi Revisi
Dalam sistem negara demokratis, kepolisian merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepolisian mengemban tugas sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang yang mengaturnya. Hal ini dilakukan agar kinerja polisi tidak didasarkan kehendak penguasa dan pengusaha belaka.
Pasca terkuaknya kasus pembunuhan Brigader Joshua, wajah kepolisian kita memang semakin menunjukkan “jati dirinya”. Bahwa ternyata kepolisian negara kita memang tidak sedang baik baik saja.Karena kiprah korps bhayangkara sudah terlalu jauh menusuk ke jantung kekuasaan dengan keikutsertaannya berpolitik dan menjadi pendukung penguasa serta juga pengusaha.Seolah olah meninggalkan fungsi aslinya sebagai pelindung,pengayom dan pelayanan masyarakatnya.
Selain cenderung memihak kepada kepentingan penguasa dan pengusaha, korps bhayangkara selama ini dikenal garang dan sadis, sarat dengan tampilan kekerasan sehingga melaggar hak azasi manusia.
Penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Polri sejatinya justru menunjukkan sikap arogansinya yang tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tindak kekerasan itu sering terjadi pada penanganan aksi unjuk rasa yang tak jarang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Pada hal unjuk rasa merupakan hak dasar warga negara untuk menyampaikan pendapatnya yang dijamin oleh UUD 1945. Tetapi perlindungan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat ini seringkali hanya berhenti di tataran retorika berlaka.
Selain masalah aksi kekerasan, sudah sering terdengar juga adanya pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aturan perundang-undangan namun tidak diselesaikan sebaimana mestinya.Contohnya kasus penyelesaian pembunuhan Brigader Joshua yang masih terkatung katung karena adanya tarik menarik kepentingan didalamnya. Dampaknya adalah ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian dalam menyelesaikan perkara di institusinya. Padahal pada negara demokratis sudah seharusnya kepolisian mewujudkan kepercayaan publik melalui pelaksanaan tugas yang sesuai peraturan dan masukan dari masyarakatnya.
Fenomena lain yang membuat miris adalah adanya banyak perwira kepolisian yang menduduki jabatan publik seperti yang terjadi pada era Presiden Soeharto berkuasa.Hal ini menunjukkan pengisian jabatan publik oleh anggota Polri yang masih aktif sebagai ketidaksesuaian terhadap cita-cita reformasi setelah pisah dari tentara. Selain itu, juga membuat adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang akibat rangkap jabatan yang di embannya.
Secara substantif, urgensi perlunya revisi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 karena dalam Undang Undang ini aroma militeristik masih begitu terasa. Semangat militeristik ini telah menjadikan Polri cenderung tidak berorientasi pada kekuatan rakyat sipil untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyakaratnya.
Kelemahan lainnya terkait dengan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dimana dalam Undang Undang ini tak ada ketentuan yang jelas mengaturnya sehingga dalam pelaksanaan implementasi sering memunculkan penyimpangan penyimpangan yang berujung pada pelanggaran hak azasi manusia.
Dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 juga tidak mengatur hal-hal yang dapat mendorong akuntabilitas dan transparansi seluruh tindakan kepolisian selain itu tidak mengakomodasi prinsip-prinsip yang berorientasi kepada transparansi tindakan sehingga seringkali disalahartikan banyak pihak termasuk masyarakat, dan ini membuat Polri berada pada posisi yang tidak menguntungkan tentunya.
Didalam Undang Undang Polri juga masih menitikberatkan pada fungsi keamanan daripada fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat yang sesungguhnya menjadi fungsi pokoknya.
Selain itu, dalam Undang Undang Kepolisan tidak dijelaskan rentetan tanggung jawab korps bhayangkara. Sebagai contoh seorang anggota Polri yang bersalah: “Apakah dua pemegang jabatan di atasnya juga bertanggung jawab? Bagaimana realisasinya?”
Kelemahan lainnya dalam Undang Undang Kepolisian, tidak ditemukan satu ayat atau bahkan kalimat yang menyatakan anggota kepolisian "dipersiapkan dan dipersenjatai" seperti yang ada di Undang Undang TNI (Tentara Nasional Indonesia). Untuk diketahui di Undang Undang TNI, jelas disebut dalam Pasal 1 butir 21 bahwa "Tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata."
Dalam batang tubuh dan penjelasan Undang Undang TNI, banyak sekali ditemukan kata senjata. Misalnya ancaman bersenjata, pemberontakan bersenjata, dipersenjatai, teror bersenjata, dan sebagainya. Selain itu, banyak terdapat kata/frasa militer dan operasi militer. Di dalam Penjelasan Pasal 2 juga terdapat kalimat "Yang dimaksud dengan Tentara Profesional adalah ... mahir menggunakan alat tempur".
Sementara itu dalam batang tubuh Undang Undang Kepolisian, hanya terdapat satu kalimat yang menyebut kata "senjata", yaitu pada Pasal 15 ayat 2 butir e: "memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam". Lalu dalam Penjelasan pasal tersebut disajikan penjelasan tentang yang dimaksud dengan senjata tajam. Pemberian izin dan pengawasan ini adalah terkait penggunaan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam oleh masyarakat.
Jika di dalam Undang Undang TNI, tentara itu "dipersiapkan dan dipersenjatai" tidak demikian halnya dengan korps bhayangkara. Dalam Undang Uudang Kepolisian, tidak ada satu kalimat pun yang menyebut anggota kepolisian dipersenjatai. Penggunaan senjata oleh anggota kepolisian juga tidak diatur. Kenyataan ini tentunya menjadi hal ini sangat fatal dan harus diperbaiki segera.
Karena pada kenyataannya sudah lazim diketahui, banyak aparat kepolisian yang menenteng senjata kemana mana. Bahkan sebagiannya adalah senjata tempur yang seyogyanya hanya boleh dipegang oleh tentara yang menjaga kedaulatan negara.
Permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan tersebut diatas tentu tidak lepas dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dalam hal ini Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002. Oleh karena itu setelah berlaku lebih dari 20 tahun lamanya, saat ini ada keinginan untuk dilakukan revisi atau perubahan agar relevan dengan situasi dan perkembangan yang ada. Selain itu, perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 agar dapat pula menyesuaikan dengan dinamika sosial, hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta aspek budayanya.
Kebutuhan untuk adanya revisi Undang Undang Kepolisian semakin menemukan relevansinya karena beberapa Undang Undang lain yang mengatur soal aparatur penegakan hukum sudah pula dilakukan revisi terbatas agar sesuai dengan kebutuhan yang ada.Seperti revisi Undang Uundang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberikan penguatan kelembagaan pada tugas penuntutan yang selama ini dirasakan kurang mendukung kinerjanya. Begitu pula revisi terhadap Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan semakin memperkuat kelembagaan KPK.
Memunculkan Pro dan Kontra
Gagasan untuk adanya revisi Undang Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri ditanggapi beragam oleh kalangan akademisi, pengamat, politisi dan elemen masyarakat lainnya. Pakar hukum kepolisian dari Universitas Bhayangkara Jakarta, Dr Edi Hasibuan mengatakan revisi Undnag Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri belum mendesak dilakukan. Karena menurutnya, Undang Undang tersebut masih cocok dengan kondisi masyarakat saat ini.
"Kami melihat revisi Undang Undang tentang Polri belum mendesak untuk dibahas dalam program legislasi nasional (prolenas) tahun 2022. Karena Undang Undang Polri yang ada sekarang belum diperlukan untuk revisi," kata Edi dalam keterangan tertulis di Jakarta, seperti dikutip media Ahad (28/8/2022).
Sikap senada juga ditunjukkan oleh Habiburrakhman, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra. Habiburokhman tak sepakat jika DPR dan pemerintah merevisi Undang Undang Polri Nomor 2 Tahun 2022 karena kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir Joshua.
Menurut dia, pihak yang mewacanakan revisi Undang Undang Polri buntut kasus Brigadir Joshua karena tak memahami konteks masalah yang sebenarnya."Kalau orang mau ngomong revisi, berarti dia enggak paham konteks masalah," kata Habib kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (23/8/2022) seperti dikutip media.
Ada yang menolak revisi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tetapi banyak pula yang mendukungnya. Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR, Achmad Baidowi punya pandangan berbeda. Menurutnya sudah saatnya regulasi yang mengatur kepolisian dilakukan perubahan segera. Apalagi Undang Uudang Polri telah berusia dua dekade.
Karenanya, F-PPP mengusulkan agar dilakukannya revisi terbatas terhadap Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002. Setidaknya dengan merevisi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 bertujuan agar reformasi di tubuh Polri dapat berjalan optimal serta perlu dilakukan penguatan secara kelembagaan.“Kami mengusulkan revisi terbatas Undang Undang Kepolisian agar masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022,” ujarnya melalui keterangannya, Selasa (23/8/2022).
Senada dengan Achmad Baidowi, Khairul Fahmi, pengamat militer dan isu keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies Universitas Jember menyatakan bahwa Undang-Undang Kepolisian yang terbit pada 2002 tersebut harus segera direvisi agar sesuai dengan perkembangan yang ada. “Undang Undang Polri sudah berusia 20 tahun. Selain untuk menghindari terus berulangnya kekerasan, tentunya ada banyak situasi dan kondisi saat Undang Undang itu hadir, sudah tak cukup relevan dengan kondisi hari ini dan tantangan ke depan,” kata Fahmi, Minggu (29/9) seperti dikutip media.
Sementara itu menurut Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pentingnya revisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 karena Undang Undang yang mengatur tentang Polri ini masih menitikberatkan pada fungsi keamanan daripada fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat.Karena itu perlu ada sistem atau mekanisme yang mengontrol setiap tindakan yang dilakukan polisi agar tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Agenda Tersembunyi?
Terlepas adanya pendapat yang bernuansa pro dan kontra, terkuaknya kasus pembunuhan terhadap Brigadir Joshua harus menjadi momentum untuk adanya reformasi di tubuh kepolisian republik Indonesia. Reformasi ini tentunya tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan upaya untuk merevisi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menjadi cantolannya.
Sebagai bentuk keseriusan upaya untuk revisi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, Badan Legislasi DPR akan memasukkan revisi Undang Undang Kepolisian ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2023. Untuk tahun ini Undang Undang Kepolisian masih belum masuk menjadi Prolegnas tahun 2022.
Seiring dengan upaya tersebut, Komisi III DPR RI telah mendorong digelarnya beberapa kegiatan focus group discussion (FGD) dalam rangka revisi Undang Undang Kepolisian untuk menampung aspirasi dari masyarakat dan pihak terkait soal kinerja korps bhayangkara. Hal ini juga dimaksudkan agar produk legislasi yang dihasilkan DPR bisa maksimal sehingga sesuai dengan harapan bersama. Lantaran, dalam FGD diyakini akan ditemukan masukan atau aspirasi poin-poin baru yang berkaitan dengan aturan serta kinerja kepolisian republik Indonesia.
Salah satu isu yang mengemuka diantaranya terkait dengan kedudukan Polri agar tidak mencipatkan kekuasaan yang besar dan penyalahgunaan wewenang yang selama ini diduga telah dilakukannya. Munculnya usulan beberapa pihak seperti dari Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) untuk merevisi Undang-Undang Kepolisian RI (Undang Undang Polri) dan membentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri sebagai lembaga yang menaungi Polri perlu dipertimbangkan untuk dipikirkan bersama.
Seperti diketahui munculnya usulan Lemhanas yang menginginkan agar Polri tidak di bawah presiden langsung tapi di bawah kementrian, kalau itu memang sebuah solusi maka harus diperjuangkan dan didukung bersama sama.
Selain itu revisi Undang Undang Polri juga perlu untuk adanya penegasan mengenai pentingnya pemahaman tentang paradigma kepolisian yang demokratis, berwajah sipil serta dekat dengan rakyat yang menjadi induk semangnya. Tindakan kepolisian perlu mengacu pada empat norma yakni: memberi protitas pada pelayanan masyarakat; segala tindakan dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum; menghargai dan melindungi HAM (terutama untuk jenis kegiatan-kegiatan politik seperti kebebasan berpendapat dan unjuk rasa) serta transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugasnya.
Paradigma tersebut dapat dibentuk pada pola dan kurikulum anggota kepolisian yang menekankan Polri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, bukan kepanjangan alat penguasa atau pengusaha. Di samping itu perlu adanya sikap mawas diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat terhadap kinerja kepolisian, sebab terdapat kecenderungan dari kepolisian yang tidak mengakui kesalahan dan anti terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.
Selain itu, adanya revisi Undang Undang Polri juga harus memuat tentang kewenangan diskresi yang selama ini terkesan disalahgunakan dalam pelaksanannya. Tindakan kepolisian dalam melakukan kekerasan selalu mengatasnamakan diskresi atas dasar kepentingan umum yang nyatanya tidak selalu demikian faktanya.
Pada praktiknya tindakan diskresi justru menciptakan banyaknya pelanggaran HAM dalam penanganan beberapa kasus, misalnya penanganan unjuk rasa. Atas kewenangan diskresi inilah kepolisian dapat mengintepretasikan sendiri tindakannya dan membenarkan setiap aksi yang dilakukannya. Karena itu, diperlukan adanya aturan yang jelas tentang diskresi dan keterlibatan masyarakat dalam bentuk pengawasan kinerja kepolisian agar tidak kebablasan yang akhirnya bisa melanggar hak azasi manusia.
Tak kalah pentingnya dalam rangka revisi Undang-Undang Polri tersebut adalah yang berkaitan dengan norma yang mengatur pengawasan internal Polri yang dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Khususnya soal kewenangan Propam dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, pemberian sanksi etik dan penindakan. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Propam tersebut semestinya terpisah dan tak boleh lagi dilakukan sepihak oleh Divisi Propam. Selain itu penguatan peran pengawasan eksternal perlu juga dikaji sedemikian sehingga peran pengawas eksternal seperti Kompolnas menjadi lebih berdaya.
Komposisi personil yang duduk di Kompolnas juga harus lebih banyak diisi oleh unsur publik sehingga lebih independent dalam menjalankan peran dan fungsinya tidak seperti sekarang dimana komposisi Kompolnas lebih banyak didominasi oleh unsur eksekutif sehingga seperti jeruk makan jeruk saja.
Selain itu agar kewenangan pengawasan eksternal Kompolnas menjadi lebih kuat kiranya patut dipertimbangkan agar Lembaga ini diberi kewenangan penyelidikan pelanggaran anggota polri terkait dugaan pelanggaran pidana. Tidak seperti yang terjadi sekarang dimana seringkali Kompolnas hanya menjadi “jubir” kepolisian saja seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua.
Intinya dengan adanya revisi Undang-Undang Polri diharapkan akan mengantarkan institusi korps bhayangkara menjadi institusi yang berwajah sipil, demokratis serta dekat dengan rakyatnya. Institusi Polri yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sebagai induk semangnya. Bukan institusi Polri yang cenderung menjadi centeng penguasa dan pengusaha.
Sudah barang tentu agenda revisi Undang Undang Polri yang bisa dijadikan landasan/ cantolan untuk reformasi di tubuh Polri ini tidak akan pernah sunyi dari adanya kemungkinan intervensi pihak pihak yang selama ini merasa di untungkan dengan posisi Polri yang ada saat ini khususnya unsur penguasa dan pengusaha.
Juga sangat masuk akal kalau internal Polri sendiri masih ada yang begitu bersemangat untuk mempertahankan status quonya saat ini yang sarat dengan upayanya untuk tidak adanya perubahan berarti atas lembaganya. Mereka yang sudah merasakan “keenakan” dengan kewenangannya untuk membuat kebijakan sendiri dan melaksanakan sendiri tanpa pengawasan berarti dari pihak-pihak yang seharusnya mengawasinya.
Dalama rangka pelaksanaan agendan revisi Undang-Undang Polri tentu saja agenda agenda tersembunyi ini perlu diwaspadai agar revisi Undang Undang Polri tidak sekadar memenuhi aspirasi publik sehubungan dengan adanya tuntutan reformasi di tubuh Polri yang dipicu oleh mencuatnya kasus pembunuhan Brigadir Joshua.