Oleh Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM – Selama bertahun tahun negara tetangga kita Singapura dikenal sebagai surganya para kriminal menyembunyikan dirinya. Para koruptor yang berhasil menggarong uang negara sering melarikan diri ke Singapura untuk menghindar dari kejaran para penegak hukum Indonesia.
Para buronan itu selain menyembunyikan diri juga menanamkan aset-aset berharganya disana sehingga membuat sumringah Pemerintah negeri Singa. Kemajuan perekonomian Singapura yang begitu mempesona telah memudahkan para buronan untuk pencucian uang dan praktek praktek kejahatan lainnya. Semuanya telah memberikan keuntungan lain bagi para koruptor untuk betah tinggal disana. Tidak hanya para koruptor, para pelaku kriminal lainnya juga memanfaatkan Singapura sebagai “bunker” untuk mengamankan dirinya.
Tetapi masa masa indah para buronan Indonesia berkelana di negara Singapura menikmati hasil kejahatannya, mungkin tidak akan bisa bertahan lama. Pasalnya pemerintah bersama DPR akan segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Ektradisi Buronan yang selama ini memang sudah lama dinantikan pengesahannya.
Mulai hari Senin tanggal 7 November 2022, komisi III DPR RI akan membahas RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan. Draft RUU-nya sudah dikirimkan oleh Presiden Jokowi ke DPR tanggal 22 Agustus 2022 yang lalu untuk dibahas segera.
Kalau sudah disahkan, RUU Ektradisi Buronan boleh dikata sebagai “senjata pamungkas” yang bisa digunakan oleh para penegak hukum Indonesia guna mengembalikan para pelaku kriminal kembali ke Indonesia.
Apa itu ekstradisi buronan yang RUU-nya sedang dibahas di Komisi III ?, Seperti apa kilas balik upaya ekstradisi buronan kriminal dari Singapura yang saat ini sedang di bahas RUU-nya?, Mengapa begitu lamanya proses yang ditempuh untuk bisa meringkus pelaku kriminal yang bersembunyi di Singapura?. Apakah UU Ekstradisi Buronan nantinya akan menjadi sarana manjur untuk memulangkan para pelaku kriminal di Singapura kembali ke Indonesia?
Ekstradisi Buronan
Dikutip dari Britannica, dalam hukum internasional, ekstradisi merupakan sebuah proses di mana satu negara dapat meminta orang yang menurut hukumnya dinilai melakukan kejahatan meskipun yang bersangkutan berada di mancanegara.
Dalam Undang Undang (UU) Nomor 1 tahun 1979 tentang Ektradisi, dijelaskan bahwa ektradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, ekstradisi adalah: “Permintaan suatu negara atas pelaku kejahatan saat pelaku kejahatan ada di negara lain sehingga bisa menghadapi proses hukum dari negara yang meminta,” (Kompas.com, Kamis (27/1/2022).
Sederhananya, ekstradisi adalah proses di mana seorang tersangka yang ditahan negara lain yang kemudian diserahkan kepada negara asal tersangka untuk di sidang sesuai perjanjian diantara kedua negara.
Dalam UU tersebut turut dijelaskan siapa saja yang dapat diekstradisi, yakni orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk perintah penahanan atau menjalani pidana.
Ekstradisi dapat juga dilakukan pada orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena membantu, mencoba, dan melakukan mufakat kejahatan, sepanjang pembantuan, percobaan, dan permufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum negara yang meminta ekstradisi dan menutut hukum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Dengan demikian orang yang diekstradisi termasuk yang telah didakwa atas kejahatan, tetapi belum diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Orang yang diadili tetapi berhasil melarikan diri dari penahanan, pun juga yang dihukum secara in absentia juga masuk dalam kategori yang bisa diekstradisi ke negara asalnya.
Dalam kasus lain, ekstradisi juga bisa dilihat sebagai sebuah proses di mana satu negara menangkap dan mengirim seseorang ke negara lain untuk penuntutan pidana atau menjalani hukuman penjara.
Prosedur sebelumnya sebelum ada alas hukum yang melandasi ekstradisi buronan dari Singapura, Indonesia harus meminta bantuan kepada Australia. Hal itu guna memproses pelaku kejahatan di Singapura. Karena terlebih dahulu Singapura memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia.
Biasanya dilakukan melalui red notice, kemudian adanya permintaan untuk menemukan dan menahan sementara orang yang terlibat dalam kasus-kasus kriminal atau tindak pidana. Namun status dari orang tersebut terlebih dahulu sudah harus ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) agar jelas identitasnya.
Kilas Balik
Menurut UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ektradisi, ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian antar negara. Dalam hal perjanjian belum ada, maka ekstradisi bisa dilakukan atas dasar hubungan baik antara Indonesia dan negara lainnya.
Sejauh ini dalam kasus hubungan ektradisi antara Indonesia dengan Singapura, para kriminal yang lari ke negeri singa berlangsung aman aman saja. Contoh para buronan korupsi yang pernah lari ke Singapura dan tetap aman sejahtera disana diantaranya Sjamsul Nursalim, tersangka kasus korupsi BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI); Samadikun Hartono, tersangka korupsi BLBI Bank Modern; Sujiono Timan tersangka korupsi BPUI, Harun Masiku, tersangka kasus suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024 hingga tersangka korupsi Cassie Bank Bali, Djoko S Tjandra.
Salah satu alasan mengapa para buronan itu menjadikan Singapura sebagai tempat pelariannya adalah karena belum ada Perjanjian Ekstradisi antara kedua negara. Pada hal Perjanjian menjadi dasar bagi suatu negara meminta pemulangan seorang tersangka yang berada atau tengah ditahan di luar negaranya.
Indonesia dan Singapura sebenarnya telah merintis perjanjian ekstradisi sejak 1972 namun belum kelar kelar juga. Pada tahun 1998, upaya pembentukan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dilanjutkan dengan mulai dilakukannya pertemuan bilateral maupun regional dengan pemerintah Singapura.
Pada tahun 2002, Presiden kelima Indonesia Megawati bersama Perdana Menteri Singapura Goh Chok Thong melakukan pertemuan bilateral guna membahas pengembangan kerja sama kedua negara di segala bidang di Istana Bogor pada 16 Desember 2002. Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah tercapainya kesepakatan bahwa Indonesia dan Singapura akan menyusun action plan atau rencana aksi pembentukan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.
Pada tanggal 27 April tahun 2007 bertempat di Istana Tampaksiring, Bali, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Hasan Wirajuda, dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menandatangani perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Perjanjian tersebut disaksikan oleh Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Lee Hsien Loong Perdana Menteri Singapura. Namun demikian, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang diteken pada 2007 tersebut tidak dapat diberlakukan karena Perjanjian belum diratifikasi oleh kedua negara.
Adapun alasan kedua negara belum meratifikasi perjanjian adalah karena pemerintah Indonesia dan Singapura telah bersepakat agar pengesahan perjanjian ekstradisi dilakukan secara paralel dengan pengesahan perjanjian kerja sama keamanan Indonesia-Singapura.
Dalam perkembangannya, Komisi I DPR RI periode 2004-2009 menolak untuk mengesahkan perjanjian kerja sama keamanan yang telah ditandatangani dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri pada 25 Juni 2007. Sehingga penolakan itu berdampak pada mandeknya proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.
Persoalan yang mengganjal terkait dengan Perjanjian Ekstradisi, akhirnya dibahas kembali pada saat Presiden Jokowi berkuasa. Pada 8 Oktober 2019, Indonesia dan Singapura membahas kembali tentang Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia – Singapura (Realignment Flight Information Region/ FIR) dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang dinamakan Defence Cooperation Agreement (DCA) yang selama ini menjadi ganjalan kedua negara. Sebagaimana diketahui, pihak Singapura menginginkan kedua perjanjian diatas dijadikan satu paket dengan Perjanjian Ekstradisi buronan antar kedua negara.
Pada 22 Oktober 2021, setelah melakukan korespondensi, konsultasi dan perundingan, pemerintah Singapura menerima usulan Indonesia. Akhirnya, pada 25 Januari 2022 Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong tiba di Pelabuhan Bandar Bentan Telani Kabupaten Bintan bertemu Presiden Joko Widodo atau Jokowi di The Shancaya Resort Bintan untuk melakukan pertemuan bilateral kedua negara.
Pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong itu pun mencapai sejumlah kesepakatan di bidang politik, hukum, dan keamanan antara Indonesia dengan Singapura. Salah satunya, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura dimana Perjanjian ini membuka jalan bagi pemerintah RI memulangkan buronan kriminal hingga koruptor yang kabur ke Singapura, begitu pun sebaliknya.
Sesungguhnya Perjanjian Ekstradisi yang ditandatangani tanggal 25 Januari 2022 itu bukanlah suatu hal yang istimewa karena sejatinyahanya pengulangan penandatanganan serupa tahun 2007 dengan amandemen pasal yang mengatur keberlakuan secara retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun lamanya.
Lagi pula perjanjian ekstradisi yang sudah ditandatangani tersebut tidak akan langsung berlaku karena perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR melalui Pengesahan UU EKstradisi Buronan yang saat ini sedang dibahas untuk disahkan segera. Nanti setelah Pengesahan akan dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku diantara kedua negara.
Dengan demikian, pembahasan RUU Ekstradisi Buronan menjadi prasyarat yuridis yang sangat dibutuhkan untuk bisa meringkus para pelaku kriminal termasuk koruptor yang saat ini sedang menikmati masa masa indahnya di negeri Singa. Apakah pembahasan RUU Ekstradisi Buronan ini nantiny akan menjadi alot nantinya, kita tunggu saja prosesnya.
Mengapa Begitu Lama?
Persoalan negara tetangga kita Singapura yang disebut sebut sebagai kawasan persembunyian pelaku kriminal dari Indonesia sudah berlangsung sangat lama. Sudah cukup lama pula pemerintah Indonesia mengupayakan agar mereka bisa di esktradisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan berdasarkan hukum yang berlaku di negara kita.
Tetapi upaya tersebut memang tidak mudah dilakukan karena kedua negara yaitu Indonesia dan Singapura dalam hal ini memiliki kepentingan yang berbeda. Dalam kaitan ini Singapura tentu saja merasa diuntungkan kalau para pelaku kriminal khususnya para koruptor itu menyimpan aset aset berharga di negaranya.
Investasi yang terus mengalir ke kas negara Singapura akan berakhir kalau pemerintah Singapura menyetujui pengembalian pelaku kriminal itu ke negara asalnya yaitu Indonesia. Itulah sebabnya Singapura selalu menunda nunda atau menghindar dari tekanan Indonesia untuk mengembalikan buronan yang bersembunyi di negaranya.
Sementara pada disisi yang lain, buronan yang berasal dari Singapura tidak banyak yang melarikan diri ke Indonesia dan membawa harta kekayaan milik Singapura, sehingga menjadi sebuah keadaan yang tidak mendesak bagi Singapura apabila tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Tentu saja perilaku negara Singapura yang terkesan enggan membuat perjanjian ekstradisi buronan itu sangat merugikan Indonesia karena uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan negara ini justru dibawa kabur oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab ke mancanegara sehingga menguntungkan mereka.
Itulah salah satu faktor yang barangkali melatarbelakangi mengapa Singapura terkesan enggan untuk membuat perjanjian ekstradisi buronan dengan Indonesia. Barangkali karena tidak mau rugi kalau Perjanjian Ekstradisi itu ditandatangani oleh kedua negara lantas Singapura mengajukan syarat agar Perjanjian Ekstradisi buronan bisa di sepakati kedua negara.
Adapun syarat-yang telah diajukan Singapura salah satunya adalah menjadikan Pulau Kayu Ara sebagai tempat latihan menembak bagi angkatan laut dua negara sehingga dengan sendirinya sebagian wilayah Indonesia itu akan menjadi tempat latihan juga bagi Singapura. Meski tidak secara langsung Singapura mendapatkan wilayah tersebut, namun maknanya sama saja Indonesia “memberikan pulau” itu untuk Singapura melaksanakan pelatihan angkatan lautnya.
Perjanjian kerjasama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura itu ‘dikejar’ oleh Singapura agar angkatan militernya bisa latihan pesawat tempur di ruang udara Indonesia. Hal itu lantaran Singapura hanya memiliki wilayah teritori udara yang kecil sehingga perlu ‘menumpang’ Indonesia, di area-area yang berbatasan dengan wilayahnya. Kerjasama peminjaman tempat latihan pesawat tempur ini sudah pernah dilakukan oleh Indonesia dan Singapura di era pemerintahan Orde Baru (Orba).
Perjanjian dibuat tahun 1995 untuk durasi 5 tahun yang kemudian disahkan melalui Keppres Nomor 8 Tahun 1996 tentang “Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on Military Training in Areas 1 and 2”.
Namun karena dianggap lebih banyak merugikan Indonesia, kesepakatan tersebut tidak dilanjutkan setelah diberlakukan dalam 5 tahun lamanya. Hingga kemudian, kesepakatan yang sama mulai dibicarakan kembali melalui draft DCA tahun 2007 yang dijadikan satu paket dengan Perjanjian Ekstradisi Indonesia -Singapura. Hanya saja DPR saat itu tak mengesahkan DCA itu dalam proses ratifikasinya.
Pembicaraan soal perjanjian ekstradisi buronan dari Singapura kembali terjadi pada saat Presiden Jokowi berkuasa dimana pembicaraan kedua negara tentang ekstradisi juga dikaitkan dengan perjanjian pakta lainnya dalam hal ini tentang Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia – Singapura (Realignment Flight Information Region/ FIR) dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang dinamakan Defence Cooperation Agreement (DCA).
Kesepakatan tersebut diaktualisasikan lewat perjanjian yang telah diteken awal tahun ini dimana diakui juga oleh Menhan Prabowo Subianto bahwa sebenarnya kesepakatan kali ini merupakan kesepakatan yang sama dengan tahun 2007 ketika jaman Presiden SBY berkuasa.
Sama halnya dengan situasi yang terjadi pada tahun 2007 yang lalu, kesepakatan kali ini juga mendapatkan penolakan dari kalangan DPR meskipun tidak bulat suaranya. Dilansir Kompas.id, Effendi Simbolon menilai substansi paket kerja sama Indonesia-Singapura mengancam kedaulatan negara.
Menurut dia, pemulangan kembali buronan yang kabur ke Singapura tidak sebanding jika ditukar dengan urusan pertahanan Indonesia. “Keberatan kami itu sulit dijawab pemerintah. Kenapa kamu barter dengan military training area”. Kenapa urusan ekstradisi, (mengejar) buron-buron itu kok digadaikan dengan ‘kedaulatan’ kita?,” ujar Effendi Simbolon dalam rapat kerja Komisi I dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Kamis (27/1/2022).
Pada akhirnya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menanggapi kehawatiran Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) dengan Singapura bakal berpotensi membahayakan kedaulatan Indonesia. Prabowo mengatakan, latihan militer itu tidak berbahaya karena Singapura adalah negara sahabat kita.
“Sama sekali tidak (membahayakan), saya kira sudah latihan banyak negara kok dan secara tradisional mereka juga latihan di situ. Kita butuh persahabatan dengan Singapura dan kita menganggap Singapura negara sahabat kita,” kata Prabowo usai rapat tertutup dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Setelah proses panjang dan berliku pada akhirnya Pemerintah Indonesia resmi menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Singapura pada 25 Januari 2022. Bersamaan pula dengan penandatanganan Perjanjian Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia – Singapura (Realignment Flight Information Region/ FIR) dan DCA.
Berdasarkan catatan perjalanan pengesahan Perjanjian Ekstradisi sebagaimana dikemukakan diatas maka nampaklah bahwa persoalan ini sejatinya bukan berada pada perjanjian ekstradisinya, melainkan lebih pada keikutsertaan kesepakatan lain sebagai bagian dari perjanjian ekstradisi yang disepakati, yaitu Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia-Singapura (FIR dan DCA).
Itulah liciknya Singapura, tidak mau rugi dengan adanya Perjanjian Ekstradisi Buronan, akhirnya mereka meminta supaya pengesahan perjanjian ini dijadikan satu paket dengan Perjanjian lainnya yang sebenarnya tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya.
Efektifkah?
Terlepas dari adanya nuansa untung rugi ditandatanganinya Perjajian Ekstradisi buronan antara Singapura dan Indonesia yang di embel embeli dengan keikutsertaan kesepakatan lainnya, maka menjadi tugas DPR bersama Pemerintah untuk meratifikasinya melalui pengesahan RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan yang draft RUU-nya sudah disampaikan oleh Presiden tanggal 22 Agustus 2022.
Jika sudah disahkan berlakunya, diharapkan RUU tersebut bisa menjadi “senjata” yang sangat ampuh untuk menyeret para pelaku kriminal yang saat ini sulit untuk diadili di Indonesia karena berlindung di Singapura.
Karena RUU tersebut bisa menjadi payung hukum bagi aparat negara untuk menindak para buron yang mengamankan dirinya di Singapura. Selain itu, Perjanjian kerjasama ekstradisi yang dilanjutkan dengan ratifikasi RUU-nya itu diharapkan dapat mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dengan Singapura. Hal ini akan menandai komitmen kedua negara untuk semakin terhubung dan dapat membuka peluang terjadinya kerjasama di aspek aspek lainnya.
Meskipun perjanjian ekstradisi sudah ditandatangani dan RUU-nya sudah juga disahkan berlakunya. Namun efektivitas setelah diterapkan dan kendala yang mungkin menghambat berjalannya perjanjian tersebut merupakan poin yang patut menjadi perhatian bersama.
Kesepakatan operasional tentang sejauh mana keleluasaan pelaksanaan hukum yang dapat dikerjakan oleh aparat masing masing negara menjadi salah satu faktor yang menentukan efektivitasnya. Selain itu, terdapat cukup banyak buronan Indonesia di Singapura namun tidak sebaliknya, sehingga hal itu juga perlu mendapat perhatian karena urgensi untuk menangani kasus buronan tersebut berbeda. Kondisi di mana hanya satu pihak yang terasa sangat membutuhkan perjanjian ekstradisi disepakati inilah yang menjadi perhatian utama mengenai efektivitasnya.
Kemudian koordinasi serta hubungan bilateral kedua negara bisa saja memburuk yang bisa mengakibatkan gesekan-gesekan atau konfrontasi antar kedua negara. Kemungkinan ini juga perlu diperhatikan untuk mencegah terhambatnya implementasi perjanjian kedua negara.
Prinsip non-intervensi sebagai sesama anggota ASEAN juga dapat menghambat penerapan perjanjian ekstradisi yang telah disepakati bersama. Prinsip non-intervensi dalam kondisi tertentu dapat turut membatasi pelaksanaan perjanjian ekstradisi secara luas, meski tentu saja perlu diingat bahwa perjanjian ekstradisi bersifat dua arah dalam implementasinya sehingga tidak ada negara yang merasa dipaksa untuk melayani kepentingan negara yang lain melalui perjanjian yang dibuat bersama.
Selain itu komitmen pemerintah yang berkuasa harus benar benar bisa diwujudkan secara nyata. Sebab apabila salah satu pihak tidak memiliki komitmen tinggi untuk menumpas tindak kejahatan lintas negara tentu akan menghambat implementasinya.
Jangan sampai nasibnya nanti sama dengan Undang Undang tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (UU MLA). Seperti diketahui, sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan beberapa negara.
Dengan telah ditandatanganinya beberapa UU MLA tersebut harapannya aset aset warga negara Indonesia hasil kejahatan yang ada dimancanegara bisa ditarik pulang ke Indonesia. Tetapi seperti diketahui bersama UU MLA yang sudah disahkan tersebut nampaknya belum optimal dilaksanakan sehingga belum mampu mengembalikan aset dan uang warga negara Indonesia hasil kejahatan yang disimpan di beberapa negara.
Kita berharap jangan sampai kalau RUU Ekstradisi Buronan bersama dengan Singapura ini nantinya akan sama dengan UU MLA yang belum jelas sejauhmana realisasinya. Semoga saja begitu sebab buat apa UU dibuat kalau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya? Buat apa senjata dibuat dan disediakan kalau tidak digunakan untuk berperang mengalahkan lawan lawannya?