Menelisik Agenda Terselubung di Balik Kampanye Anti Radikalisme

 

Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI 
(Foto: nett)

BORNEOTREND.COM - Baru-baru ini Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid menyebut terdapat 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia. Hal itu disampaikan pada Rabu (20/7/2022) dalam diskusi publik di Kedutaan Besar Prancis, Jakarta.

Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menegaskan bahwa pencegahan paham radikal terorisme harus terus digiatkan karena paham radikal terorisme ini tak ubahnya virus berbahaya layaknya virus corona, ujar Boy dalam keterangannya sebagaimana dikutip oleh media, Selasa (8/2/22).

Seolah olah ingin menambahkan keterangan dua pejabat diatas,Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebut adanya potensi meningkatnya radikalisme menjelang Pemilu Serentak 2024. "Tahun politik 2023-2024 ke depan, ada kecenderungan radikalisme akan meningkat," kata dia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2022.

Moeldoko menyebut kenaikan potensi radikalisme tersebut terjadi akibat politik identitas menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu dan Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, sehingga Ia menyebut pemerintah perlu mewaspadainya.

Sebelumnya pada bulan maret 2022, Presiden Jokowi sudah mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama dilingkungannya. Menurut Presiden Jokowi, jangan sampai hanya karena mengatasnamakan demokrasi lantas mengundang penceramah radikal dalam kegiatan beragama.

Mungkin karena melihat tren kegawatan yang meningkat terkait dengan persoalan radikalisme ini pada akhirnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta kenaikan anggaran sebesar 64 Miliar untuk tahun 2023.

Beberapa waktu yang lalu, Kepala BNPT, Boy Rafli Amar bersama jajarannya berkenan mendatangi Komisi III DPR RI untuk mengikuti rapat kerja. Rapat kerja itu membahas soal pendanaan dalam rangka penanganan radikalisme untuk tahun 2023."Kami diundang untuk dapat memberikan penjelasan berkaitan surat kami untuk masalah penambahan anggaran. Jadi tambahan anggaran untuk tahun 2023," katanya di Komplek Parlemen, Jakarta pada Senin (30/05/2022).

Belum lama ini media sosial juga diramaikan oleh unggahan akun @lovers_polri tentang seorang perempuan yang diamankan aparat kepolisian dan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) di depan Istana Merdeka pada Selasa (25/10/2022).

Serangkaian peristiwa yang dikemukakan diatas mengesankan bahwa persoalan yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme kembali mengemuka sehingga seolah olah menjadi momok bagi bangsa Indonesia terutama menjelang tahun politik 2023 yang sebentar lagi akan tiba.

Apa itu radikalisme -terorisme yang begitu penting untuk diwaspadai keberadaannya? Apakah radikalisme ini sebenarnya hanya sebuah proyek belaka? Terkait dengan kegiatan radikalisme terorisme ini, siapa sebenarnya yang menjadi korban terbesarnya? Apa agenda terselubung dibalik getolnya kampanye anti radikalisme -terorisme di Indonesia?

Radikalisme-Terorisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Radikalisme (berasal dari bahasa Latin radix yang berarti "akar") adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan (Ariwidodo, 2017).

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan sebuah perubahan atau pembaruan dengan cara drastis hingga ke titik paling akar. Bahkan, untuk mencapainya melibatkan banyak cara hingga yang paling ekstrem: kekerasan baik simbolik maupun fisik.

Dari sisi istilah, arti kata radikal itu sendiri sebenarnya bermakna netral. Istilah radikal bisa bermakna positif atau negatif tergantung pada konteks ruang dan waktu sebagai latar belakang penggunaannya.

Alhasil, sampai detik ini, narasi radikalisme belum mendapatkan pengertian dan makna yang jelas di tengah-tengah masyarakat kita. Sebab tudingan yang didengungkan mengenai radikalisme acapkali sarat dengan kepentingan politik tertentu yang menyertainya.

Bahkan seringkali tudingan-tudingan tersebut dialamatkan kepada pihak-pihak yang dianggap telah mengancam eksistensi penguasa atau ditujukan kepada mereka yang katanya bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan sistem lain yang diyakini seperti sistem khilafah misalnya.Pada hal ancaman terhadap penggantian Pancasila dan UUD 1945 itu sebenarnya tak hanya datang dari kelompok pengusung khilafah yang sampai ini belum jelas struktur bentuk negara yang diperjuangkannya.

Secara yuridis dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang berulang kali digunakan diksi "radikalisasi". Namun dalam UU tersebut tidak dijelaskan definisi dari radikalisme itu sendiri sendiri sehingga tidak jelas makna yang dimaksudkannya. Selain itu hingga saat ini belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang bisa disebut radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya.

Karena radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadainya. Menurut BNPT , radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama (kumparan.com, 07/03/2022).


Sekadar Proyek Belaka?

Akhir akhir ini menjelang tahun politik 2023, narasi radikalisme kembali digulirkan bak gorengan lama yang berusaha dipanaskan kembali keberadaannya. Namun siapa sangka, dibalik getolnya pemerintah untuk memerangi paham radikalisme-terorisme ini muncul opini bahwa sebenarnya persoalan radikalisme -terorisme itu hanya merupakan sebuah proyek belaka.

Sinyalemen kalau persoalan radikalisme -terorisme hanya merupakan sebuah proyek antara lain disampaikan oleh Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas dalam sebuah pernyataannya. Hafidz seperti dikutip media menyebut bahwa kasus terorisme di Indonesia selama ini terkesan seperti proyek belaka.

Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada 2016 silam, yakni kasus penangkapan Siyono, di mana penangkapan terduga teroris tersebut berujung pada kematiannya. Kasus tersebut ketika itu menjadi isu nasional karena menyita perhatian masyarakat Indonesia.

“Secara tiba-tiba Siyono ditangkap Densus 88 Siyono karena disangka menyembunyikan 2000 pucuk senjata. Tapi ternyata 2-3 hari kemudian, istrinya diberi tahu agar datang ke RS Bhayangkara ternyata disana ia menemukan suaminya sudah tak bernyawa," katanya dalam diskusi "Ancaman Propaganda Radikalisme Terhadap Kehidupan Toleransi di Indonesia" pada Jumat (03/06/2022).

"Dikatakan oleh Polisi, Siyono meninggal karena dalam perjalanan ke gudang senjata, oleh polisi sedang waktu makan, dibuka borgolnya, kemudian berkelahi dengan aparat hingga meninggal dunia. Tapi setelah kami bongkar ternyata seluruh tulang rusuknya patah, mengalami penyiksaan maha pedih," paparnya.

Ia menyebutkan bahwa kejadian yang menimpa Siyono ini sebenarnya bukan kali pertama. Bahkan, ia menyebut ada ratusan sehingga ada kecenderungan kasus terorisme ini hanya proyek dari pihak tertentu saja."Proyek seperti ini ternyata banyak, bahkan hingga ratusan. Jadi diciptakan seolah dia teroris kelas kakap, padahal belum tentu demikian," kata Hafidz Abbas yang juga sebagai Guru Besar UNJ (Universitas Negeri Jakarta).

Hafidz kembali mencontohkan kasus lain, yakni peristiwa yang dialami Nurrokhman, dimana yang bersangkutan dinarasikan sebagai teroris kelas kakap, karena sudah bergabung dengan ISIS sejak 2003. Namun tudingan tersebut ternyata hanya isapan jempol semata."Pasalnya pada tahun 2003 itu yang bersangkutan masih kelas tiga SD. Sehingga patut dipertanyakan dari mana anak kelas 3 SD sudah gabung ke Organisasi teror dunia seperti ISIS pada hal ISIS baru muncul pada tahu 2013 ?” paparnya.

Tudingan bahwa persoalan radikalisme -terorisme hanya sekadar proyek belaka juga di utarakan oleh Juru Bicara (Jubir) Tim Penasihat Hukum Ustaz Farid Ahmad Okbah (UFO) dalam sebuah pernyatannya. Achmad Khozinudin menuding bahwa terorisme dan Satgassus Merah Putih sebagai proyek Kepolisian Republik Indonesia.

"Kami yakini ada hubungannya antara Terorisme dan Satgassus Merah Putih. Karena dalam dokumen 303 Ferdy Sambo yang beredar ada Dirtipdum Terorisme yang menjadi anggota Satgassus," kata Achmad Khozinudin dalam video yang diunggah akun @badriart9 pada Jumat (2/9/2022).

Ahmad Khozinudin mengatakan bahwa soal tuduhan terorisme terhadap Ahmad Zain An-Najah dan Anung Al Hamat terus belgulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jaktim, dinilai tidak ada fakta yang mendasarinya.Penasihat hukum UFO juga berpendapat, sejumlah tudingan terorisme yang dilakukan oleh ulama dan ustadz merupakan agenda setting global, yang tak senang islam menjadi kekuatan baru di dunia.

Jauh sebelumnya, sinyalemen radikalisme-terorisme telah dijadikan proyek juga di sampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999-2009), K.H. Hasyim Muzadi sebelum beliau meninggal dunia.

Secara tersirat Hasyim Muzadi menilai bahwa permanenisasi isu radikalisme- terorisme di Indonesia ini sepertinya sudah dijadikan proyek-proyek yang permanen sifatnya. Buktinya respons pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan terorisme itu lebih banyak dalam bentuk diskusi dari hotel-ke-hotel, bukan dalam bentuk aksi-aksi nyata melakukan de-ideologisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Mengingat tokoh sekaliber K.H. Hasyim Muzadi bukanlah orang yang suka “asbun”ketika menyampaikan pernyataan, maka isu “proyekisasi” terorisme itu merupakan persoalan serius tentunya Boleh jadi, mental (mencari) proyek itulah akar masalah sesungguhnya dari aksi-aksi terorisme di Indonesia.Jika itu yang terjadi maka mustahil terorisme di republik ini bisa dihilangkan keberadaannya.

Menjadikan isu teror menjadi sebuah proyek memang sangat menguntungkan di sisi "pemburu teroris" dan jaringannya. Dalam skala global, sudah bukan rahasia lagi negara seperti Amerika begitu bernafsu berburu "teroris" di Irak, Afghanistan, Libya dan negara negara Timur Tengah lainnya. Banyak yang meyakini bahwa runtuhnya WTC dalam peristiwa 11 September 2011 adalah bagian dari skenario AS untuk memiliki legalitas dalam aksi perburuan teroris di dunia.

Pada akhirnya muncul kecurigaan maraknya aksi teror di dalam negeri tak lepas dari campur tangan Amerika. Karena tak terhitung banyaknya hajat hidup mereka Indonesia.Sebut saja kecurigaan seorang mantan petinggi intelijen, Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono. Mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo beberapa waktu yang lalu sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia.

"Kemunculan teroris itu menguntungkan polisi dan BNPT. Mereka mendapatkan keuntungan dari proyek teroris," kata mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Pertama TNI Purn Mulyo Wibisono seperti dikutip itoday, Sabtu (8/9/2012).

Bahkan, Mulyo juga mengatakan, dalam menjalankan proyek terorisme itu, pihak BNPT bisa juga melakukan operasi intelijen dengan menyusup kepada orang-orang yang ingin melakukan teror."Memunculkan teror itu biasa dalam operasi intelijen agar orang-orang yang diduga teroris itu muncul. Dan dengan munculnya teroris akan memberikan keuntungan bagi polisi dan BNPT," pungkasnya.

Membaca narasi soal radikalisme -terorisme diatas memang memunculkan sebuah tanda tanya benarkah persoalan radikalisme-terorisme di Indonesia itu hanya sekadar proyek belaka? Agaknya seperti kentut, bisa dirasakan keberadaannya tapi sulit untuk dibuktikan wujudnya.


Siapa Korban Terbesarnya?

Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen yang menyatakan program pemberantasan radikalisme dan terorisme sebagai proyek semata, yang jelas program ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Indonesia dan hampir segenap elemen bangsa.

Organisasi organisasi kemasyarakatan yang ada di negara ini juga banyak yang mendukung perang terhadap radikalisme dan terorisme di Indonesia. Meskipun begitu ada juga Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang kurang sreg dengan upaya pemerintah memerangi radikalisme dan terorisme ini karena mungkin punya penilaian yang berbeda.

Ormas yang dimaksud adalah Muhammadiyah yang secara tegas menolak ajakan BNPT untuk bersama sama memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Dalam kaitan ini menarik apa yang disampaikan oleh Ustadz Yusuf Maulana dalam bukunya berjudul “Mufakat Firasat”, yang ditulisnya. Dalam buku itu ia menceritakan bagaimana seorang pimpinan salah satu Ormas terbesar di Indonesia menolak untuk bergabung dalam program deradikalisasi di Indonesia.

Diceritakan bahwa kepala BNPT saat itu Saud Usman Nasution pernah membujuk Ketua Umum Muhamadiyah Din Syamsudin agar terlibat dalam program deradikalisasi di Indonesia. Saud menggebu mengajak Muhammadiyah bergabung untuk memerangi paham radikalisme yang dinilainya sangat berbahaya. Ia bahkan menyatakan paham radikal sudah menyasar kalangan remaja ormas yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan itu. Untuk meyakinkan Din, Saud yang selesai menjabat pada Maret 2016, menyebutkan respons ormas-ormas Islam lainnya.

“Semua ormas Islam sudah menerima program deradikalisasi. Termasuk ormas sebelah. Jadi, tinggal Muhammadiyah saja ,” bujuk Saud , yang redaksi ini saya peroleh dari Mustafa Nahrawardaya, saksi langsung pertemuan itu, ketika berbicara soal terorisme di Masjid Jogokariyan pada 3 April 2016.

Di ujung penjelasannya, Saud melontarkan pertanyaan : "Berapa banyak uang yang dibutuhkan Muhammadiyah untuk program deradikalisasi ini? ” .

Kata-kata Saud di hadapan Ketua Umum Muhammadiyah itu mirip sebuah tantangan ketimbang pertanyaan tulus. Din yang sejak diceramahi sudah tampak tidak kerasan duduk, ingin segera menjawabnya. Begitu Saud selesai presentasi, ia pun berkata, “Sudah selesai, Pak? Mohon maaf, Muhammadiyah tidak tertarik ikut program deradikalisasi. Silakan Anda pulang.”, begitu katanya.

Mendengar jawaban dari Pak Din yang tandas dan lugas itu tak pelak menjadikan suasana pertemuan di gedung Muhammadiyah itu berubah senyap beberapa saat. “Muhammadiyah berdiri sejak 1912, jauh sebelum Republik ini berdiri, apalagi BNPT. Kami sudah berpengalaman menangani soal radikalisme,” papar Pak Din.

Banyak pihak yang menilai kekritisan Muhammadiyah belakangan dalam soal penanganan terorisme adalah gara-gara tidak mendapatkan jatah proyek yang fantastis nilainya. Ketika ormas Islam berpengaruh tanpa malu memperlihatkan kemesraan bersama BNPT dan Densus 88 Polri, Muhammadiyah menempuh suara beda. Orang pun menilai ini pasti karena Muhammadiyah belum kebagian jatah saja. Tapi dugaan itu salah besar ternyata. Jauh dari fakta sebenarnya bahwa Muhammadiyah bukan tidak diberi proyek, melainkan menolak proyek yang banyak menghadirkan teror kemanusiaan bagi sesama anak bangsa khususnya umat islam sebagai penduduk mayoritas yang ada di Indonesia.

Memang kalau diliha dari sisi korbannya, sebagian besar korban teror adalah negeri Muslim, kelompok Muslim dan orang yang beragama Islam bukan hanya Indonesai tapi juga Irak dan Afganistan, dan negara negara timur tengah lainnya. Sebagai contoh kelompok HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel justru dimasukkan dalam daftar kelompok teroris oleh Amerika. Sebaliknya, Israel, walaupun nyata-nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan kepadanya.

Benar apa yang dikatakan oleh Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap radikalisme- terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme sebagai kedoknya. Dari perkataan ini sebenarnya bisa dianalisa berdasarkan akal sehat bahwa narasi radikalisme dan terorisme adalah narasi Barat untuk menyerang Islam dengan segenap ajarannya.

Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya sesungguhnya bisa ditelusuri jejaknya. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future.

Dokumen tersebut berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World : Kebangkitan ekonomi Asia; Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. (4) Cycle of Fear, lingkaran ketakutan. Dari sinilah sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula.

Untuk umat islam mereka membaginya menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis 2) Muslim Tradisionalis 3) Muslim moderat (liberal) 4) Muslim Sekuler. Dengan adanya penggolongan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan pihak Barat dalam memecah belah umat islam atau politik devide et empera.

Menurut Mr Hamid Algadri dulu Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis. Seperti yang dilakukan sekarang ini oleh AS dan sekutu-sekutunya terhadapat para pejuang Islam yang tidak mau tunduk padanya (Tulisan Alwi Shahab di Republika.co.id).

Raden Saleh (dari keluarga Bin Yahya), yang merupakan anak didik Belanda, pada akhir hayatnya pernah ditangkap dan dituduh membela kelompok Muslim radikal yang memberontak di Bekasi. Belanda juga menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai kaum ekstrimis yang membahayakan pemerintah penjajah Hindia Belanda.

Kalau kaum muslimin hanyalah korban, lalu siapakah biang keladi kegaduhan ini semua? Menurut John Pilger, umat Islam hanyalah korban fundamentalisme Amerika, yang kekuasaannya, dalam segala bentuknya, militer dan strategis ekonomi adalah sumber terorisme terbesar di dunia.

Kita masih ingat bagaimana Imam Samudra meledakkan bom di sepenggal jalan di Bali yang menewaskan ratusan orang, kemudian dia dikirim ke alam baka sebagai akibat dari perbuatannya. Bandingkan dengan apa yang terjadi pada Invasi Militer Amerika Serikat di Irak tahun 2003. Dengan alasan melucuti senjata pemusnah massal, ratusan ribu orang meregang nyawa. Meskipun pada akhirnya terbukti ,ternyata tidak ada satu pun senjata pemusnah massal ditemukan disana

Lalu, apakah Presiden Amerika dihukum karena kebijakannya? Semua pasti sudah tahu jawabannya. Tak salah jika kemudian banyak yang menyimpulkan bahwa perang melawan terorisme ini hanyalah jargon untuk memuluskan rencana Amerika Serikat dalam melakukan invasi militer untuk mencari gold, glory, dan gospelnya.

Ditambah lagi dengan bocornya dokumen RAND Corp yang membagi umat Islam ke dalam empat kelompok, yakni fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekularis dimana melalui skema pembagian ini dengan mudah akan diperuncing perbedaannya dan saling dibenturkan satu dengan lainnya. Sehingga tidak perlu susah payah menyerang kaum muslimin, cukup memakai politik devide et empera.


Agenda Terselubung?

Selain mengandung nuansa proyek yang merugikan kepentingan umat islam, isu radikalisme dan terorisme juga dicurigai mengandung misi terselubung yang merugikan bukan hanya umat islam tapi bangsa Indonesia pada umumnya. Agenda terselubung itu diantaranya:

Pertama, Mendangkalkan keyakinan umat islam yang menjalankan syariat agamanya. Beberapa waktu yang lalu Menteri Agama pernah mempersoalkan pegawai negeri yang memakai cadar dan celana cingkrang sebagai penganut paham radikal. Pada hal mereka adalah orang-orang yang yakin bahwa apapun yang dilakukan Nabi dalam hidupnya adalah teladan (sunah) yang harus diikutinya. Orang memakai celana cingkrang karena yakin bahwa Nabi tidak menyukai pakaian yang menutup mata kakinya.

Adapun yang memakai cadar meyakini bahwa muka adalah aurat perempuan yang harus ditutup kecuali bagian matanya. Ulama umumnya berpandangan bahwa aurat perempuan itu adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangannya. Tapi ada sebagian yang memaknainya berbeda. Yang ditunjuk itu adalah mata dan telapak tangan saja. Dengan alasan itu mereka berpandangan bahwa muka perempuan harus ditutup, yang boleh dibuka hanyalah mata.Lalu apakah mereka yang memakai cadar dan celana cingkrang itu sebagai penganut paham radikal?

Apakah munculnya peristiwa dimana seorang perempuan bercadar yang berinisial FN membawa pistol di depan Istana Negara tempo hari itu juga menjadi bagian dari misi framing untuk menjatuhkan mereka yang memakai cadar sebagai pelaku radikalisme sehingga harus di perangi keberadaannya?

Jika radikalisme yang dimaksud adalah menebar teror dan kekerasan yang membahayakan, ini perlu dilawan dan tidak bisa dibiarkan keberadaannya. Tapi jika radikalisme ditujukan kepada mereka yang menjalankan ajaran Islam secara kafah maka menjadi salah kaprah namanya. Jangan sampai label radikal disematkan kepada mereka yang menginginkan diterapkan hukum-hukum Islam di seluruh aspek kehidupannya. Apalagi jika yang di cap radikal itu , tidak ada sama sekali mempraktekkan kekerasan dalam dakwahnya.

Program deradikalisasi yang dicanangkan pemerintah biasanya sasarannya adalah tokoh-tokoh agama, ulama, masjid, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam." Seolah olah orang itu semakin taat dan paham tentang agama orang itu dianggap radikal- intoleran, narasi yang dibangun itu seolah olah radikalisme itu ada pada agama.

Kedua, Membungkam Suara Kritis Terhadap Penguasa. Patut dicurigai bahwa narasi radikalisme hanya alat untuk memukul pihak-pihak yang dinilai tidak sejalan dengan penguasa. Pihak yang membenarkan sikap penguasa disebut pancasilais dan punya wawasan kebangsaan sedangkan yang berseberangan dianggap tidak pro Pancasila. Mereka yang dianggap radikal karena kritis dalam mengkritik kebijakan penguasa.

Jadi stigmatisasi radikal sengaja disematkan kepada ulama (ustadz) dan tokoh masyarakat yang lantang menyuarakan kebenaran dan berani menantang kebijakan rezim yang tidak menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Penangkapan ulama-ulama ternama di Tanah Air seperti Habib Rizieq dan Habib bahar diduga karena yang bersangkutan menyuarakan pendapat yang bisa dianggap sebagai ancaman bagi para penguasa.

Demikian juga stigma negatif yang disematkan kepada Ustaz Syafiq Basalamah, Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Felix Siauw dan yang lainnya dengan sebutan ustadz radikal hanya karena yang bersangkutan sering mengkritik penguasa. Bahkan sekelas Prof. Dr. Dien Syamsudin pernah dilabeli sebagai tokoh radikal oleh mereka yang tidak menyukainya.

Penangkapan maupun pemberian stigma negative sebagai tokoh radikal tersebut syarat akan kepentingan politik, mereka ditangkap karena berseberangan dengan pendapat penguasa. Yang ditangkap adalah orang yang lantang menyuarakan kebenaran. Lalu pertanyaannya adalah apakah menyarakan pendapat merupakan suatu keburukan? Apakah menasehati penguasa adalah kejahatan?

Ketiga, Diduga untuk Mengamankan Kebijakan yang Berbau Neoliberalisme Kapitalisme.Indonesia pernah mengalami masa kolonialisme (penjajahan) dan imperaliasme sejak awal abad 15. Setidaknya ada 6 negara terlibat penjajahan; Portugis (1509 – 1595), Spanyol (1521 – 1692), Belanda (1602 – 1942), Prancis (1806 – 1811), Inggris (1811 – 1816), Jepang (1942 – 1945).

Pasca berakhirnya kolonialisme Belanda, kita masih dihadapkan kembali dengan neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru yang lebih berbahaya. Jika dulu Belanda menjajah mengambil rempah-rempah (penguasaan sumber ekonomi), dan menancapkan kekuasaaan, sekarang bahkan lebih dari sekedar eksploitasi kekayaan alamnya.

Neo-imperalisme di Indonesia, selain mengambil sumber daya alam, penguasaan asset, penguasaan ekonomi, juga menyesatkan kehidupan dan pemikiran banyak orang Indonesia. Orang Indonesia diberi mimpi bahwa neo kapitalisme, liberalism dapat menyatukan keberagaman, menghancurkan intoleransi, menyelesaikan konflik dan sebagainya.

Sementara itu pada sisi lain dikampanyekan kalau syariat dan khilafah islam dianggap sebagai sistem yang tidak toleran terhadap non muslim atau yang berbeda agama. Padahal masa daulah islam, toleransi sesuai syariat islam mampu menjadikan kaum muslim dan pemeluk agama lainnya hidup berdampingan secara damai bahkan dunia mengakuinya.

Justru kapitalisme sebaliknya, faktanya mereka mencontohkan buruknya praktek toleransi antar umat beragama. Mereka memaksa umat Islam untuk mengakui kebenaran agama lainnya demi toleransi, sebagai contoh mereka mengusir muslim Palestina dari rumahnya. AS juga secara terang terangan menjajah dengan serangan pemikiran dan menjadi dominasi ekonomi diberbagai negara.

Pergaulan bebas, premanisme, geng-geng motor pengganggu, narkoba, aborsi, perilaku tidak sopan kepada orang lain, perselingkuhan, kriminalitas, pornografi hingga LGBT dianggap biasa bahkan dipuja puja. Tetapi nilai nilai ajaran islam yang menjunjung tinggi moral dan etika dinilai radikal dan intoleran sehingga harus dijauhi keberadaannya.

Jadi sesungguhnya neo-imperialisme saat ini jauh lebih berbahaya.Dampaknya bisa terlihat seperti kekayaan alam dirampok dengan membabi buta, utang terus menumpuk, daya beli rendah, PHK massal hingga pengangguran meningkat jumlahnya dan sebagainya.

Karena itu narasi radikalisme yang berkembang saat ini bisa jadi merupakan upaya untuk menutupi kebobrokan sistem neoliberal kapitalisme yang telah menggurita di Indonesia yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Ke empat, Diduga untuk Menutupi Kejahatan Yang Dilakukannya. Diduga orang yang sering menggaungkan atau berbicara intoleran, radikal, ekstrimisme, pancasilais dan sejenisnya itu malah melakukan apa yang digaung-gaungkannya.

Dengan narasi yang dibuatnya, mereka bermaksud untuk membuat masyarakat terfokus pada isu intoleran, radikal dan sejenisnya. Mereka bisa melakukan kesadisan, kecurangan, ngambil keuntungan dari transaksi gelap dan sebagainya. Mereka bilang problem negeri ini adalah persoalan radikal, intoleran atau mabuk agama. Itu semua bisa menutupi masalah LGBT, pembunuhan, narkoba, judi dan orang-orang yang dapat keuntungan dari masalah tersebut dengan melegalkan perkara-perkara pelanggaran hukum lainnya.

Contoh paling aktual adalah apa yang menimpa Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani yang ditangkap KPK dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Unila. Karomani ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya.

Sejauh ini Karomani dikenal sebagai pimpinan forum rektor dalam memerangi paham radikalisme bersama rektor lainnya.Selain mendukung program dan menjadi mitra strategis pemerintah di daerah, Forum Rektor yang dipimpinnya bertujuan menguatkan karakter bangsa dan mencegah berkembangnya radikalisme di perguruan tinggi yang dipimpinnya. Menurut dia, gambaran radikalisme di perguruan tinggi telah menjadi ancaman disintegrasi bangsa.

Kelima, Digaungkan untuk Pengalihan Isu? Menayangkan drama radikalisme seolah menjadi ‘end game’ dari pemerintah untuk menutupi masalah-masalah yang ada dan ketidakmampuannya dalam menangani permasalahan yang menjadi kewajibannya.Standar pemerintah dalam memaknai kata radikalisme pun membebek pada standar yang digunakan Barat yaitu mengacu pada paham agama yang keras, intoleran, dan berujung pada terorisme.

Di tengah menumpuknya permasalahan di negeri ini, mulai kenaikan harga BBM, kebijakan JHT, pemindahan ibu kota yang dipertanyakan urgensinya, harga Sembako yang mulai merangkak harganya, membengkaknya utang negara, membanjirnya tenaga kerja asing asal China, gerakan separatis oleh teroris KKB di Papua yang semakin banyak menelan korban jiwa, PHK yang mulai merebak dimana mana, penistaan agama dan banyak lagi yang lainnya.

Pemerintah bukannya mengeluarkan solusi yang mutakhir untuk mengatasi itu semua malah minta supaya masyarakat waspada munculnya radikalisme-terorisme yang dinilainya sangat berbahaya.Sepertinya ritme dari penayangan isu radikalisme ini pun selalu sama. Yakni di saat persoalan masyarakat sudah menumpuk tanpa kehadiran negara untuk mencarikan solusinya.

Demikianlah beberapa dugaan adanya agenda terselubung dibalik mulai gencarnya narasi radikalisme-terorisme ditengah sengkarut permasalahan bangsa. Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya.

Jika program deradikalisasi Pemerintah yang saat ini sedang digencarkan benar benar bertujuan untuk menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terpapar dengan paham radikalisme, tentu kita semua wajib mendukungnya. Tetapi kalau hanya sekadar proyek terselubung yang menyimpan agenda tersembunyi untuk memusuhi suatu kelompok tertentu hanya karena tidak sepaham dengan kepentingan penguasa tentu saja patut disesalkan programnya.

Jangan sampai bangsa ini terpecah belah karena isu terorisme atau radikalisme yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Karena kita semua sejatinya adalah saudara. Kita harus melihat dengan jernih persoalan radikal radikul ini, sehingga nantinya tidak terjebak pada konflik horizontal yang panjang dan melelahkan diantara anak anak bangsa.

Karena akan sangat merugikan persatuan dan kesatuan bangsa. Juga karena masih banyak permasalahan bangsa lainnya yang perlu ditangani segera, sehingga isu radikalisme sesungguhnya bukan persoalan mendasar dan utama bagi bangsa Indonesia. Menurut Anda bagaimana?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال