Desmond J Mahesa Wakil Ketua Komisi III DPR RI |
BORNEOTREND.COM - Setelah ditunggu lama akhirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (pemilu) diterbitkan oleh Presiden Jokowi, pada Senin (12/12/2022).
Terbitnya Perpu tersebut seolah olah ingin membungkam hiruk pikuk narasi yang berkembang saat ini soal isu tiga periode dan penundaan pemilu yang ramai dilontarkan oleh beberapa elit politik seperti Ketua DPD RI La Nyalla Mattaliti, Ketua MPR Bambang Soesatyo serta tokoh tokoh bangsa yang lainnya.
Keluarnya Perpu dinilai sebagai jaminan keseriusan Pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi untuk melaksanakan Pemilu lima tahun sekali sekaligus menepis pandangan pihak piha tertentu bahwa pemilu akan ditunda pelaksanannya. Dengan kata lain keluarnya Perpu dianggap akan mengakhiri spekulasi wacana yang berkembang bahwa pemilu tidak bakal terlaksana sesuai rencana semula.
Mengapa harus dikeluarkan Perpu dan bukan merevisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada hal masih tersedia waktu yang cukup lama? Apa sebenarnya yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2022? Apa implikasi Perpu bagi penyelenggaraan Pemilu 2024 nantinya? Benarkah dengan keluarnya Perpu ini akan menjadi jaminan terselenggaranya Pemilu 2024 berjalan sesuai jadwal semula?
Mengapa Harus Perpu?
Pertimbangan dibuatnya Perpu tersebut adalah sebagai implikasi dari pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pemekaran tiga daerah otonomi baru di Papua pada Juli 2022. Di dalam Undang Undang ini diatur pembentukan Provinsi baru ditanah Papua yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan yang merupakan pemekaran dari Provinsi Papua serta pembentukan Provinsi Papua Barat Daya.
Dengan dibentuknya Provinsi baru tersebut persoalan muncul terkait dengan nasib Provinsi baru itu yang memerlukan kebijakan dan langkah luar biasa untuk mengantisipasi dampak pembentukan daerah baru tersebut terhadap penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024.
Untuk mengatasi persoalan itu, kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah melalui mekanisme perubahan undang-undang yang ada . Sebab dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, daerah-daerah otonomi baru itu belum dibentuk, dan keberadaannya sebagai daerah pemilihan belum diatur, sehingga perlu diakomodir dalam perubahan undang-undang yaitu dengan jalan merevisinya.
Namun perubahan undang-undang dinilai memerlukan waktu yang relatif lama sementara penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan sudah harus diputuskan pada 9 Februari 2023. Dalam menghadapi situasi itu, Perintah akhirnya mengeluarkan Perpu untuk mengakomodir persoalan kursi dan Dapil bagi DPR dan DPRD sebagai konsekuensi disahkannya Undang Undang tentang pemekaran tiga daerah otonomi baru di Papua pada Juli 2022.
Perpu pada dasarnya adalah kewenangan Presiden secara subjektif karena kekuasaan yang melekat padanya. Dalam UUD 1945 pasal 22 Ayat (1) disebutkan: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa presiden dapat menetapkan perpu”. Penafsiran tentang kegentingan yang memaksa pun berdasarkan pendapat subjektif presiden semata.
Kewenangan subjektif yang diberikan kepada presiden untuk menilai keadaan negara atau ihwal terkait dengan kondisi negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak keberadaannya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyebutkan tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menetapkan Perpu, yaitu: Pertama, adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama, sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukumnya.
Jika hal tersebut dikaitkan dengan kondisi “kegentingan yang memaksa” dalam konteks penyelenggaraan Undang Undang Pemilu, memang terjadi kekosongan hukum bagi daerah otonomi baru mengenai pengaturan yang berkaitan daerah pemilihan dan badan perwakilan yang ada disana. Karena sebagai daerah baru tentu keberadaan tiga provinsi itu tidak disebutkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya dalam Lampiran III. Kalau tidak dilakukan perubahan UU Pemilu, maka konsekuensinya adalah daerah itu tidak memiliki badan perwakilan, baik itu di DPR RI maupun DPD.
Pada hal berdasarkan ketentuan pasal 187 UU 7/2017, KPU menetapkan daerah pemilihan berbasiskan pada provinsi, kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Begitu juga penentuan mengenai jumlah kursi di DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
Sementara jumlah keanggotaan DPR RI telah ditetapkan dalam Pasal 186 sebanyak 575 (lima ratus tujuh puluh lima). Apakah jumlah kursi yang disebutkan dalam Pasal 186 tersebut ditambah dengan bertambahnya daerah otonomi baru itu, atau jumlahnya tetap dengan membagi kursi di provinsi induknya ?. Sehingga disini terdapat persoalan mengenai kursi di DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota serta daerah pemilihan di tiga provinsi yang baru serta kedudukan hukum ketiga daerah baru itu dalam pemilihan umum tahun 2024.
Persoalan tersebut tentunya perlu segera dicarikan solusiya untuk menyesuaikan dengan tahapan jadwal pelaksanaan pemilu 2024 yang tahapannya telah disepakati bersama. Untuk itulah kemudian Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diterbitkan oleh Presiden Jokowi, pada Senin (12/12/2022).
Selanjutnya seperti diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan yang berikutnya. Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan berlakunya.
Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perpu menjadi undang-undang. Dalam kaitan ini DPR hanya bisa memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu dimaksud tidak membahas apa substansinya.
Dalam hal Perpu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut ditetapkan menjadi undang-undang. Namun apabila Perpu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Jika Perppu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu tersebut.
Dalam RUU tentang pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu. Pada akhirnya RUU tentang pencabutan Perppu ditetapkan menjadi undang-undang tentang pencabutan Perppu dalam rapat paripurna yang sama dengan rapat yang tidak menyetujui Perpu.
Lalu bagaimana kiranya nasib Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah diterbitkan oleh Presiden Jokowi, apakah DPR akan bisa menerimanya?
Dengan melihat kondisi konstelasi politik yang terjadi saat ini di DPR bisa ditebak kalau Perpu semacam ini akan dengan mulus DPR menerimanya untuk mendapatkan persetujuannya. Apalagi kalau dilihat dari aspek substansinya, Perpu ini adalah Perpu yang terkoordinasi pembuatannya. Artinya perpu yang telah dikeluarkan oleh Presiden adalah Perpu yang sudah dibahas bersama dengan DPR mengenai materi-materi tertentu yang ingin ditambah dan diubahnya. Disebut terkoordinasi karena melibatkan lembaga lain dalam pembuatannya.
Sungguhpun demikian keluarnya Perpu ini ternyata mendapatkan respons dari publik terkait dengan pertanyaan mengapa harus mengeluarkan Perpu pada hal sebenarnya waktu untuk merevisi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih lama. Sebab seperti dihapami bersama, pembuatan Perppu harusnya didasari oleh adanya kegentingan yang memaksa sesuai Pasal 22 UUD 1945.
Sesungguhnya pembuatan Perpu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinilai tidak mengandung unsur genting dan mendesak seperti apa yang dipersyaratkan oleh MK. Sehingga bisa dilakukan revisi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan bukan dalam bentuk produk hukum berupa Perpu. Karena dari sisi waktu sebenarnya RUU tentang pemekaran tiga daerah otonomi baru di Papua sudah keluar sejak Juli 2022, ada tersedia waktu sekitar lima bulan sehingga ada cukup kesempatan untuk membahasnya.
Publik lalu membandingkan dengan revisi Undang Undang tentang MPR, DPR , DPD dan DPRD (MD3) yang hanya makan waktu beberapa hari saja. Atau pembahasan RUU Cipta kerja yang meskipun sangat tebal halamannya tapi dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama.
Kesan yang muncul adalah adanya sikap menunda nunda pembahasan revisi Undang Undang Pemilu dan membuat seolah olah keadaan menjadi darurat supaya ada alasan untuk dikeluarkannya produk hukum berupa Perpu. Pada hal dengan revisi Undang Undang akan ada ruang untuk aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya sesuai dengan ketentuan yang ada. Tetapi dengan produk hukum Perpu hal tersebut dengan sendirinya menjadi tidak ada.
Kebiasaan untuk mengeluarkan produk hukum berupa Perpu ini patut disayangkan kalau kemudian dijadikan sebagai sebuah kebiasaan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara karena bisa berpotensi adanya penyalahgunaan kewenangan dan mematikan demokrasi di Indonesia.
Apa Yang Diatur?
Seperti disebutkan diatas, dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai payung hukum penyelenggaran Pemilu 2024 setelah terbentuknya sejumlah provinsi baru hasil pemekaran di Provinsi Papua dan Papua Barat. Adapun, provinsi baru dimaksud, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan, Provinsi Papua Barat Daya.
"Ketentuan Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga Pasal 186 berbunyi sebagai berikut: Pasal 186 Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 580 (lima ratus delapan puluh),” demikian salah satu ketentuan di Perppu 1 Tahun 2022.
Substansi penting lainnya yang diatur Perpu Nomor 1 Tahun 2022, antara lain mengatur tentang Daerah Pemilihan (Dapil) DPR RI dan DPRD Provinsi pada empat provinsi hasil pemekaran Papua dan Papua Barat. Pemilu di Wilayah IKN Nusantara Terkait dengan Pemilu di daerah yang akan masuk wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, juga diatur di Perpu tersebut.Selain itu diatur juga mengenai nomor urut partai politik peserta Pemilu 2024 yang sama dengan Pemilu 2019.
Sejumlah poin perubahan atau penambahan pengaturan pemilu ke dalam Perpu Pemilu dapat disebutkan diantaranya:
Penyisipan satu pasal diantara Pasal 10 dan Pasal 11 dalam UU 7/2017 yaitu Pasal 10A tentang pembentukan KPU provinsi di DOB Papua.
Penyisipan satu pasal di antara Pasal 92 dan Pasal 93 yaitu Pasal 92A tentang Bawaslu provinsi di DOB Papua.
Penambahan satu ayat dalam Pasal 117 yaitu ayat (3) yang berbunyi: ‘Dalam hal tidak terdapat calon anggota Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS yang memenuhi persyaratan usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diisi oleh calon anggota Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun dengan persetujuan Bawaslu Kabupaten/Kota’.
Penyisipan satu ayat diantara ayat (2) dan ayat (3) dalam Pasal yaitu ayat (2a) yang berbunyi: ‘Persyaratan kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan persyaratan kantor tetap untuk kepengurusan partai politik pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (21) huruf g, untuk Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya dikecualikan sebagai persyaratan menjadi Peserta Pemilu tahun 2024’.
Perubahan materi dalam Pasal 179 ayat (3) menjadi sebagai berikut: ‘Partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk Pemilu anggota DPR pada tahun 2019 dan telah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang sama pada Pemilu tahun 2019 atau mengikuti penetapan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil Partai Politik Peserta Pemilu’.
Perubahan materi norma yang terdapat dalam Pasal 186 yaitu yang berbunyi: ‘Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 580 (lima ratus delapan puluh)’. Pada UU 7 Tahun 2017, kursi DPR sebanyak 575.
Pasal 243, ada penambahan satu ayat, yaitu khususnya ayat (5) yang berbunyi: ‘Dalam hal belum terbentuk pengurus partai politik tingkat provinsi di Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya, penetapan daftar bakal calon anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Pemilu tatrun 2024, dilakukan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat’.
Perubahan materi norma dalam Pasal 276, khususnya ayat (1) yang awalnya kampanye dimulai 3 hari setelah DCT (daftar calon tetap) ditetapkan, kini menjadi 25 hari dan 15 hari pasangan capres-cawapres setelah ditetapkan. Perubahan norma dalam ayat tersebut berbunyi sebagai berikut: ‘Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 dan Pasal 275 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i, dilaksanakan sejak 25 (dua puluh lima) hari setelah ditetapkan daftar calon tetap anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD serta dilaksanakan sejak 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan dimulainya Masa Tenang’.
Implikasi Perpu
Sesungguhnya tidak terlalu signifikan pengaruh keluarnya Perpu tentang Pemilu ini terhadap penyelenggaraan pemilu secara nasional pada pada tahun 2024 mendatang karena persoalan pokok sesungguhnya hanya berhubungan dengan provinsi yang di mekarkan di Papua.
Sungguhpun demikian, Perpu ini akan berimplikasi terhadap tahapan-tahapan pemilu lainnya seperti alokasi kursi dan bertambahnya Dapil khususnya di Papua.Selain untuk akomodasi Dapil, Perpu ini juga memitigasi beberapa norma yang diubah dalam Undang Undang Pemilu maupun Undang Undang Pilkada dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Beberapa norma tersebut seperti perihal keserentakan akhir masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu di daerah, lamanya waktu penetapan daftar caleg tetap (DCT) dengan masa kampanye, penomoran partai politik yang menjadi peserta pemilu 2024 dan sebagainya.
Terkait dengan masa jabatan anggota KPU di daerah seperti diketahui saat ini masa jabatan anggota KPU di daerah tidak dalam satu waktu yang sama. Sehingga bila terjadi pergantian di tengah tahapan pemilu dikhawatirkan akan menganggu tahapan pemilu yang sedang berjalan.
Menariknya dalam Perppu tersebut tidak memuat pasal tentang masa bakti anggota KPU.Artinya, Presiden Jokowi telah menolak usulan KPU untuk mempercepat masa bakti anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dengan tidak diaturnya ketentuan tentang masa bakti anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota maka konsekuensinya perlu dilakukan seleksi sesuai dengan masa jabatan KPU Provinsi Kabupaten/Kota.Diketahui, berdasarkan Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ditentukan bahwa masa jabatan anggota KPU, baik itu KPU Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota berlangsung selama 5 tahun. Adapun lima tahun tersebut ditentukan setelah para anggota melakukan sumpah jabatan. Akan tetapi, lima tahun masa jabatan yang dimaksud tersebut ternyata tidak serentak dan itulah yang menjadi masalah untuk keberlangsungan Pemilu 2024 nanti.
Kalau terjadi pergantian, maka tenaga baru yang dilantik pada Juli 2023 akan memulai dari awal mengikuti tahapan-tahapan tersebut. Kalau pergantian dipaksakan tahun 2023, dikuatirkan akan banyak agenda krusial yang terganggu dan konsentrasi penyelenggara pemilu tidak fokus. Sebaiknya KPU RI memanfaatkan potensi yang ada di KPU sekarang dengan terus melakukan koordinasi dari pusat hingga ke daerah.
Sebab kalau pergantian dilakukan, maka agenda KPU yang baru akan memulai kerjanya dengan keharusan untuk melakukan koordinasi, mendengarkan arahan,belajar dan sebagainya. Sementara tahapan pemilu terus berjalan, namun pengalaman masih minim, ini bisa menyebabkan pemilu yang dijalankan menjadi kurang optimal hasilnya.
Pengalaman tahun 2019 adalah pengalaman pemilu yang kurang membanggakan bagi Indonesia. Di mana sistem pemilu yang membingungkan serta penyelenggara yang kurang berpengalaman, telah menyebabkan pelaksanaan pemilu memakan banyak korban ratusan nyawa manusia yang sampai sekarang tidak jelas bagaimana pertanggungjawabannya.
Oleh karena itu untuk menjaga efisiensi dan keberlanjutan pemilu yang berintegritas, jujur, adil, dan demokratis serta konstitusional, perlu penyelenggara yang terlatih dan teruji kinerjanya. Sehingga pemilu bukan hanya agenda pesta demokrasi, tetapi juga agenda untuk mencapai tujuan bernegara.
Implikasi lain terkait dengan terbitnya Perpu Nomor 1 tahun 2022 tentang Pemilu adalah menyangkut penetapan nomor urut partai yang menjadi peserta pemilu nantinya. Salah satu pasal penting dalam Perppu itu adalah soal nomor urut partai politik. Aturan soal nomor urut partai politik peserta Pemilu sebenarnya sudah ada dalam Pasal 179 Undang-Undang Pemilu ayat (3). Di sana disebutkan bahwa nomor urut partai politik peserta pemilu ditetapkan dengan cara diundi dalam sidang pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bunyinya : "Penetapan nomor urut partai politik sebagai peserta pemilu dilakukan secara undi dalam sidang pleno Kpu yang terbuka dengan dihadiri wakil Partai politik peserta pemilu."
Namun Perppu Pemilu mengubah bunyi Pasal 179 ayat (3). Dalam aturan baru, partai politik yang telah memenuhhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional (parliamentary threshold), atau dengan kata lain memiliki wakil di DPR RI saat ini, boleh menggunakan nomor urut yang mereka gunakan pada Pemilu 2019.
Berikut bunyi Pasal 179 ayat (3) dalam Perppu Pemilu :"Partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk Pemilu anggota DPR pada tahun 2019 dan telah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang sama pada Pemilu tahun 2019 atau mengikuti penetapan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil Partai Politik Peserta Pemilu."
Berdasarkan ketentuan tersebut ada 9 partai politik yang boleh menggunakan nomor urut Pemilu 2019. Mereka merupakan partai yang memenuhi parliamentary threshold pada Pemilu 2019. Berikut daftar nomor urut parpol yang berada di DPR saat ini:
PDIP - 128 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 3
Partai Golkar - 85 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 4
Partai Gerindra - 78 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 2
Partai NasDem - 59 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 5
PKB - 58 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 1
Partai Demokrat - 54 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 14
PKS - 50 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 8
PAN - 44 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 12
PPP - 19 kursi - Nomor Urut pada Pemilu 2019: 10
Adanya ketentuan dalam Perpu yang membolehkan partai yang lolos parliamentary threshold pemilu 2019 menggunakan nomor lama ini oleh sementara pihak dianggap sebagai aturan yang diskriminatif karena partai baru berarti tidak punya akses untuk mendapatkan semua nomor yang diharapkannya. Partai baru hanya bisa menggunakan nomor sisa yang dipakai oleh partai lama. Karena undiannya dibatasi hanya pada sisa nomor yang belum terpakai saja.Seyogyanya aturan seperti ini tidak berlaku lagi di Pemilu selanjutnya.
Jaminan Pemilu 2024 Terlaksana?
Dengan keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilu memberikan harapan bahwa Pemilu 2024 akan benar benar terlaksana sesuai rencana. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Kantor Staf Presiden bahwa penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Perpu tersebut merupakan bentuk dukungan penuh pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan lancar,” kata Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 13/12/2022 seperti dikutip media.
Semua elemen bangsa tentunya juga berharap bahwa pemilu tidak ditunda seperti desas desus yang selama ini mengemuka. Karena kalau ditunda akan terlalu besar resikonya, bisa menimbulkan chaos yang akan merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Setelah ini kita bisa melihat apakah setelah terbitnya Perpu ini nantinya masih ada elit bangsa yang mengumbar pernyataan untuk tiga periode atau kemungkinan pemilu ditunda. Meskipun keluarnya Perpu tersebut sebenarnya bukan jaminan sepenuhnya bahwa pemilu bakal benar benar terlaksana sesuai jadwal semula.
Masih banyak hal yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu 2024 mendatang mulai soal pendanaan, Lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu yang belum teruji kinerjanya hingga hal hal lain yang tidak terduga. Kalaupun kemudian Pemilu nanti tetap terlaksana, barangkali inilah “pilihan terakhir” yang bisa dilakukan oleh mereka kelompok oligarki yang menginginkan untuk tetap berkuasa. Soalnya keinginan sebelumnya untuk Presiden tiga periode sudah sangat berat untuk memperjuangkannya. Keinginan untuk menunda pemilu juga sudah makin keras tantangannya.
Tidak ada jalan yang bisa dilakukan selain daripada menerima kenyataan bahwa pemilu memang harus dilaksanakan tepat pada waktunya. Sampai tahap ini maka hal yang paling mungkin bisa dilakukan untuk melindungi kepentingan kelompok oligarki agar tetap terjaga kedepannya adalah berusaha memenangkan Presiden boneka pilihannya.
Siapakah mereka?