DISKUSI: Fahrani saat melihat lokasi akses jalan baru menuju makam Datu Kelampaian yang sudah dibebaskan Pemda - Foto Dok |
BORNEOTREND.COM- Gerak cepat dilakukan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalsel Fahrani, setelah puluhan warga Kabupaten Banjar menyampaikan aspirasi kepadanya terkait masalah murahnya ganti rugi tanah yang diberikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat kepada mereka untuk pembuatan jalan baru menuju makam Datu Kelampaian, Selasa (6/12/2022) lalu di kantor Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Perwakilan Kalsel.
Untuk mengkroscek aspirasi tersebut, disela kesibukannya sebagai wakil rakyat, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mendatangi langsung Desa Akar Ilir, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kamis (8/12/2022) lalu untuk melihat tanah warga yang dibebaskan oleh Pemda setempat.
“Ternyata benar harga yang dibeli kepada pemilik tanah berbeda-beda, ada yang Rp10 ribu permeter, Rp15 ribu, Rp20 ribu bahkan ada yang Rp200 ribu. Padahal tanahnya bersebelahan dan ini tentunya sangat aneh,” ungkapnya.
Melihat kenyataan tersebut Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Banjar ini pun berjanji kepada masyarakat untuk segera mengagendakan Rapat Dengar Pendapat dengan mengundang pihak Camat, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemprov Kalsel hingga pihak-pihak terkait.
“Kita ingin dengarkan keterangan lengkap dari semua pihak yang terlibat sehingga kita bisa menerima informasi yang utuh dan dapat mencarikan solusinya hingga tuntas,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Koordinator Kepemilikan Tanah Muhammad Ali mengatakan, permasalahan ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2018 lalu, kala itu Pemda membeli tanah mereka untuk melakukan pembebasan lahan untuk pembuatan jalan baru menuju makam Datu Kelampaian.
“Awalnya kita setuju saja walau hanya dibeli Rp10.000 permeter, karena kita ikhlas dan untuk mengambil berkahnya. Namun ini jadi masalah saat pembebasan lahan tahun 2022 ini, karena tanah lainnya dibeli oleh Pemda hingga Rp200.000 permeter, ini tentu yang membuat kami merasa tidak adil,” bebernya.
Apalagi saat pembelian tanah tersebut tidak ada akad yang dilakukan dan dibayarkan begitu saja melalui rekening masing-masing.
“Setelah tahu ada yang dibayar hingga Rp200.000 permeter, tentu kami merasa dimanfaatkan dan dibodohi,” tukasnya.
Penulis: Arief Rahman