Vonis Ringan Terdakwa Kasus Korupsi Ekspor Minyak Sawit Mentah

 

VONIS: Lima terdakwa kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (21/12/2022) -Foto dok nasional.kompas.com

BORNEOTREND.COM- Lima terdakwa kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dijatuhi hukuman ringan.

Masa pidana badan maupun denda yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung.

Mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana misalnya, divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Padahal, Jaksa menuntut Indra Sari dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.


“(Mengadili) Indra Sari Wisnu Wardhana dengan pidana 3 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Tipikor, Liliek Prisbawono Adi saat membacakan amar putusannya, Rabu (3/1/2023).


Terdakwa lainnya, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor hanya divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Master sebelumnya dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan membayar uang pengganti Rp 10,9 triliun.

Namun, majelis hakim menyatakan Master tidak membayar uang pengganti karena tidak terbukti memperkaya diri sendiri.

Kemudian, Tim Asistensi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Lin Che Wei, General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA mendapatkan hukuman sama.

Mereka harus menjalani 1 tahun pidana badan dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Padahal, Lin Che Wei dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar; Pierre dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 4,5 triliun.

Sementara, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 869,7 miliar.

Hakim Salahkan Pemerintah Tetapkan HET

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai peristiwa kelangkaan minyak goreng bisa terjadi juga karena kebijakan pemerintah.

Penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 disebut mengakibatkan kelangkaan minyak.

Hakim berpendapat krisis minyak goreng tidak hanya disebabkan sejumlah produsen minyak yang tidak memenuhi batas minimal domestic market obligation (DMO).

Hakim mengatakan, setelah Permendag itu diberlakukan pada 27 Januari, keesokan harinya minyak goreng lenyap dari pasar.

Namun, setelah diprotes banyak pihak dan Permendag itu dicabut pada 16 Maret, minyak goreng kembali muncul di pasar.

“Hal ini terlihat bahwa intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya terhadap minyak goreng termasuk salah satu faktor yang berkontribusi mengakibatkan kelangkaan migor (minyak goreng) dan kenaikan harga migor di pasar,” kata hakim.

Menurut hakim, pemerintah telah melakukan kesalahan dalam mengintervensi pasar. Tindakan ini tidak didukung infrastruktur sebagaimana pada sektor BBM, yakni keberadaan Pertamina.

“Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng,” ujar hakim.

Kerugian Negara Rp 10,9 Triliun Disebut Tak Riil

Tidak hanya itu, majelis hakim juga berpendapat bahwa kerugian perekonomian negara yang didakwakan Jaksa tidaklah riil atau berdasarkan asumsi.

Jumlah kerugian perekonomian tersebut, sebesar Rp 10.960.141.557.673 merujuk pada laporan ahli bernama Himawan Pradipta bersama tim dari Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM).

Hal ini timbul akibat minyak goreng di pasaran langka.

“Setelah majelis hakim meneliti pendapat ahli maupun hasil perhitungan kerugian perekonomian negara yang dihasilkan oleh ahli Himawan Pradipta dan tim tersebut ternyata masih bersifat asumsi belum bersifat riil atau nyata,” kata Liliek di ruang sidang, Rabu (4/1/2023).

Menurut Liliek, pembuktian kerugian keuangan negara sulit dilakukan. Sebab, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur perekonomian negara.

Hal ini berbeda dengan perhitungan kerugian negara. Aturan perhitungan kerugian jenis ini telah tersedia.

Sementara itu, kata Liliek, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa kerugian negara dan kerugian perekonomian negara harus nyata atau actual loss.

Dua kerugian ini tidak boleh hanya perkiraan, potential loss, maupun asumsi.

Berdasarkan uraian itu, hakim berpendapat perhitungan yang dikeluarkan Himawan itu tidak bisa menjadi dasar menentukan adanya kerugian perekonomian negara dalam kasus ini.

“Sehingga oleh karenanya unsur merugikan perekonomian negara tidak terpenuhi pada perbuatan terdakwa,” ujar Liliek.

Jaksa kecewa dan ajukan banding

Sementara itu, Jaksa dari Kejaksaan Agung, Muhammad mengaku kecewa atas putusan majelis hakim.

Menurutnya, salah satu putusan majelis hakim yang paling dirasakan Kejaksaan Agung adalah kerugian perekonomian negara dinyatakan tidak terbukti.

Meski demikian, Muhammad mengaku pihaknya tetap menghormati putusan hakim.

“Ya bagaimana ya, kecewa ya kecewa, tidak ya kita tetap menghormati,” kata Jaksa Muhammad saat ditemui awak media di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat setelah sidang ditutup.

Setelah amar putusan dibacakan, Muhammad menyatakan akan pikir-pikir. Pihaknya belum memutuskan akan mengajukan banding atau menerima vonis tersebut.

Mereka memilih menggunakan haknya untuk pikir-pikir selama satu minggu.

Selang beberapa jam kemudian, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung ketut Sumedana menyatakan pihaknya akan mengajukan banding.

Kejaksaan Agung menilai putusan majelis hakim tidak sesuai rasa keadilan masyarakat dan kerugian negara akibat krisis minyak goreng.

"Penuntut umum melakukan upaya hukum banding karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, terutama kerugian yang diderita masyarakat, yakni perekonomian negara dan termasuk kerugian negara," kata Ketut dalam keterangan tertulis, Rabu (4/1/2023).

Pengacara sebut terdakwa mestinya bebas

Sementara itu, pengacara Lin Che Wei, Maqdir Ismail menilai bahwa semestinya jika hakim menyatakan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, mereka dihukum kurang dari satu tahun.

“Seharusnya hakim berani untuk membebaskan,” ujar Maqdir saat ditemui di Pengadilan Tipikor.

Menurut Maqdir, kerugian negara sebagaimana didakwakan Jaksa tidak terbukti.

Keterangan saksi dari Kementerian Sosial menyatakan bahwa bantuan langsung tunai (BLT) yang dikeluarkan pemerintah saat krisis minyak goreng terjadi telah dianggarkan sebelumnya.

Program tersebut juga merupakan kewajiban pemerintah melalui Kementerian Sosial.

Adapun BLT ini disebut sebagai salah satu bentuk kerugian negara karena pemerintah mesti mengeluarkan dana untuk mengatasi krisis minyak goreng.

“Jadi mestinya dari sisi itu itu bisa membebaskan kalau hakimnya berani,” ujarnya.

Sementara itu, kerugian perekonomian negara menurutnya juga tidak terbukti. Sebab, semua ahli yang dihadirkan pihak Jaksa maupun terdakwa tidak memiliki kesepahaman mengenai pengertian kerugian perekonomian negara.

“Karena memang undang-undang kita tidak menyebut seperti itu,” kata Maqdir.

Maqdir mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan kerugian perekonomian negara dan keuangan negara harus nyata dan pasti.

Namun, keterangan yang diperoleh dalam sidang menunjukkan ketidakpastian. Salah satunya hali bernama Rimawan yang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nya menyatakan kerugian perekonomian negara Rp 12 triliun.

Namun, dalam persidangan pernyataannya berubah. Kerugian perekonomian negara disebut hanya Rp 10 triliun.

“Ini membuktikan bahwa tidak ada kepastian hukum mengenai kerugian perekonomian negara ini karena tidak ada standarnya,” kata Maqdir.

Kerugian perekonomian negara, kata Maqdir, tidak memiliki standar seperti kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, ia menilai hakim semestinya berani menyatakan terdakwa bebas.

Eks Mendag Lutfi mestinya tanggung jawab

Lebih lanjut, Maqdir menyebut mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Lutfi semestinya bertanggungjawab secara moral atas kasus kelangkaan minyak goreng.

Kebijakannya menerbitkan HET telah membuat minyak goreng langka. Sebab, ketetapan itu membuat harga minyak goreng lebih murah dari bahan baku.

Akhirnya, perusahaan enggan menjual produk mereka karena tidak mau rugi.

“Ya paling tidak menurut hemat saya secara moral, dia harus mengatakan, ‘saya yang bertanggung jawab terhadap keadaan ini’ karena bagaimanapun juga beliau adalah pemimpin,” kata Maqdir.

Maqdir mengatakan, kliennya diminta Lutfi untuk membantu mengatasi kelangkaan minyak goreng.

Ia lantas mengajukan saran agar selisih harga minyak goreng dan bahan bakunya ditangani dengan voucher.

Sumber dana program ini berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Namun, Lutfi menolak lantaran agar bisa menggunakan dana itu ia mesti mendapatkan persetujuan dari menteri lainnya.

Setelah itu, ia memutuskan menetapkan HET sebagai salah satu langkah mengatasi kelangkaan minyak goreng.

“Saya tidak tahu apakah, secara hukum sih ini sudah selesai, tapi saya tidak tahu apakah secara moral beliau akan mengambil tanggungjawab atau tidak,” ujar Maqdir.

“Seperti berkali kali beliau sampaikan di dalam zoom meeting, bahwa dia yang akan bertanggungjawab,” katanya lagi.

Perkara dugaan korupsi ekspor CPO atau dikenal kasus minyak goreng menyeret lima orang sebagai terdakwa.

Mereka adalah mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Indra Sari Wisnu Wardhana dan Tim Asistensi Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Lin Che Wei.

Kemudian, General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA.

Dalam dakwannya, jaksa menduga eks Dirjen Daglu Kemendag itu dinilai telah melakukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah.

Tindakan Wisnu memberikan persetujuan ekspor (PE) diduga telah memperkaya orang lain maupun korporasi.

Menurut Jaksa, perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya. Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp 18,3 triliun.

Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian negara sebesar Rp 6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp 12.312053.298.925.

“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” kata Jaksa dalam dakwaannya.

Sumber: nasional.kompas.com

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال