Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Sepertinya kita tidak ada waktu sejenakpun untuk sekadar rehat dari hiruk-pikuk pemasalahan penegakan hukum di Indonesia. Setiap isu penegakan hukum mengemuka, masyarakat riuh rendah ikut bersuara menyampaikan pendapatnya baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Mereka rata-rata merasa kesal dengan fenomena dunia penegakan hukum yang dipraktekkan di negara kita. Dunia penegakan hukum yang dirasakan jauh dari nilai nilai keadilan untuk semua anak bangsa. Hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, nampak begitu nyata dirasakan oleh mereka. Sehingga banyak orang yang akhirnya hanya bisa mengelus dada ketika menyaksikan itu semua.
Salah satu kasus yang belakangan ikut menyita perhatian publik adalah kasus korban penabrakan yang menimpa dua orang mahasiswa. Yang pertama adalah kasus yang menimpa seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Muhammad Hasya Attalah, pada 6 Oktober 2022. Yang kedua, menimpa seorang mahasiswi bernama Selvi Amalia Nuraeni pada Jumat, 20 Januari 2023 sekitar pukul 14.55.
Dalam kecelakaan tersebut, dua orang mahasiswa itu akhirnya meninggal dunia. Kasus ini menjadi heboh dan mendapatkan perhatian luas dari masyarakat karena kentalnya aroma ketidakadilan dalam proses penegakan hukumnya. Kebetulan dua kasus ini melibatkan jajaran korps bhayangkara yang diduga sebagai pelakunya.
Seperti apa kejanggalan kejanggalan dalam penegakan hukum kasus Muhammad Hasya dan Selvi Amalia? Apakah kejanggalan kejanggalan seperti itu hanya terjadi pada kasus yang menimpa mereka berdua saja? Benarkah pengamalan jiwa korsa yang salah kaprah menjadi penyebab kejanggalan itu sehingga menuntut korps bhayangkara untuk mewaspadainya?
Kejanggalan-kejanggalan Itu
Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Muhammad Hasya Attalah, terjadi pada 6 Oktober 2022.Berdasarkan keterangan pengacara keluarga Hasya, Gita Paulina, kejadian itu bermula saat Hasya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kos temannya dengan mengendarai sepeda motornya.
Ketika sedang melaju di Jalan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, motor yang ada di depan Hasya berbelok ke kanan secara tiba tiba.Hasya berusaha menghindari kendaraan itu dengan rem mendadak sehingga ia jatuh bersama motornya.Pada saat yang sama, mobil Mitsubishi Pajero dari arah berlawanan yang dikendarai AKBP (purn) Eko Setia Budi tak bisa mengelak sehingga melindas tubuhnya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Hasya dinyatakan meninggal dunia.
Beberapa hari setelah Hasya dimakamkan, sang ayah melaporkan insiden kecelakaan tersebut ke jajaran korps bhayangkara. Namun begitu hendak melapor, rupanya Polda Metro Jaya disebut telah memproses kasusnya.
Pada 28 November 2022 polisi diketahui menghubungi kedua orangtua Hasya untuk tujuan "bincang-bincang" atas kasus yang menimpa anaknya.Pertemuan itu terlaksana pada 1 Desember 2022 di salah satu ruangan di Polda Metro Jaya. Di sana, seorang anggota polisi menyatakan "kasus kecelakaan tersebut lemah dan orangtua Hasya didorong untuk damai saja," imbuh Gita mengulangi perkataan sang ibunda Hasya.
"Mendengar hal itu, ibunya Hasya tidak tahan sehingga dia minta keluar ruangan. Saat itu kami kuasa hukum menunggu di luar. Terjadi adu argumentasi antara kami dan polisi," sambung Gita kepada BBC News Indonesia, Senin (30/01/2023).
Kejanggalan berikutnya, mobil yang diduga menabrak Hasya tidak disita polisi untuk keperluan penyelidikan supaya menjadi terang duduk perkaranya.Sikap polisi yang membiarkan barang bukti kecelakaan digunakan kembali, menurutnya, "mengherankan" karena tidak biasa. Sebab motor yang dimiliki Hasya sampai saat ini masih disita polisi sementara hal ini tidak dilakukan untuk kendaraan milik penabraknya.
Bukan hanya itu, pihak keluarga menyebutkan perlakuan penabrak tidak menunjukkan itikad baiknya. Menurut pengakuan sang Ayah, Adi Syahputra menyebutkan bahwa pelaku yang merupakan purnawirawan polisi mengaku telah melindas Hasya anaknya. Meski begitu, tidak ada kata maaf yang terucap dari penabrak yang menyebabkan Hasya Atallah meninggal dunia.
Puncaknya adalah saat polisi mengumumkan Hasya sebagai tersangka dan kemudian memutuskan menghentikan kasus tersebut dengan dalih kasusnya telah kedaluwarsa, tidak cukup bukti, dan tersangka sudah meninggal dunia.
"Orang yang sudah meninggal dunia kok dijadikan tersangka. Padahal hak tersangka adalah membela dirinya. Apakah orang yang meninggal dunia bisa didengar pendapatnya? Sementara ada kewajiban polisi memeriksa tersangka."Ini saya bacanya merasa seperti dagelan saja," kata sang pengacara.
Meskipun pada akhirnya pihak Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) menyampaikan permohonan maafnya terkait proses penyelidikan yang selama ini dilakukan atas kasus kecelakaan yang menimpa Hasya Attalah Syahputra (HAS), namun kasus ini tak urung memunculkan tanda tanya di mata publik pada umumnya.
Kejanggalan dalam proses penegakan hukum kasus kecelakaan ternyata juga terjadi pada seorang Selvi Amalia. Dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa Universitas Suryakencana (Unsur) di Cianjur Jawa Barat ini , , kuasa hukum korban meyakini pelakunya adalah pengemudi mobil Toyota Innova.
Mobil tersebut, kata pengacara Yudi Junadi, bagian dari kendaraan rombongan polisi yang sedang melintas di Jalan Raya Banding-Cianjur, Desa Sabandar, sekitar pukul 14.00 WIB hari Jum’at, 20 Januari 2023.
Yudi yang juga merupakan kuasa hukum dari keluarga korban Selvi mengatakan, keyakinan itu didasarkan pada keterangan sejumlah saksi mata di lokasi kejadian dan kamera CCTV dari warung yang ada disana.Semua itu, kata Yudi, dikumpulkan oleh kerabat keluarga Selvi pada malam hari setelah peristiwa tabrakan yang menyebabkan kerabatnya meninggal dunia.
Beberapa hari setelah insiden itu, menurut Yudi, polisi tidak melakukan tindakan apapun juga. Baru setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNSUR melakukan aksi, polisi bertindak untuk menyelidiki kasusnya.
Namun yang jadi persoalan, menurut dia, polisi tidak menggubris bukti-bukti yang diperoleh pihak keluarga korban terlepas dari valid tidaknya bukti yang dikumpulkannya.Polisi justru menetapkan sopir mobil Audi A6, Sugeng Guruh Utomo yang sebelumnya dinyatakan buron sebagai tersangka. Pada hal Sugeng tidak pernah diperiksa sama sekali oleh polisi sebelumnya. "Ini kan aneh, status DPO itu harus melewati tahapan. Dipanggil dulu, kalau tidak hadir, bisa ditersangkakan, kalau tidak juga hadir, baru DPO. Ini dipanggil saja tidak pernah," imbuhnya.
Kejanggalan-kejanggalan itulah yang membuat keluarga korban Selvi menyebut polisi tidak profesional karena terlalu "terburu-buru" menetapkan tersangka.Pihak keluarga korban Selvi, imbuhnya, ingin kepolisian Cianjur juga membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) demi mengungkap pelaku sebenarnya.
"Berbuatlah adil sejak penyidikan. Jadi kalau penyidikan tidak adil, ke sananya juga tidak adil. Kriminalisasi akan terulang terus," tegasnya. Kini Sugeng telah ditahan dan diancam pasal 310 UU Lalu Lintas dengan ancaman enam tahun penjara.
Sudah Sering Terjadi?
Proses penegakan hukum yang menimpa Hasya Attalah Syahputra (HAS) dan Selvi Amalia mungkin hanya sebagian kecil dari kasus kasus kejanggalan penegakan hukum yang sarat aroma ketidakadilan didalamnya karena melibatkan jajaran korps bhayangkara sebagai pelakunya.
Sebelumnya publik juga di suguhi drama penegakan hukum yang mempertontonkan adanya kejanggalan dan ketidakadilan dalam prosesnya. Diantaranya kasus tragedi sepakbola di stadion Kanjuruhan Malang yang menewaskan 135 orang supporter Arema.
Seperti diketahui, malam 1 Oktober 2022 menjadi pil pahit yang harus ditelan Aremania. Laga dengan titel derbi penuh rivalitas Arema FC melawan Persebaya Surabaya tersebut justru berujung meninggalnya ratusan suporter dan 600 lebih korban luka-luka akibat penembakan gas air mata.
Kejadian ini membuat terhenyak pecinta sepak bola di seluruh dunia. Peristiwa brutal itu bahkan tercatat menjadi tragedi terbesar kedua di dunia sepanjang sejarah sepak bola. Suporter dari berbagai belahan duniapun ikut bersolidaritas menyatakan bela sungkawanya.
Mereka berharap penanganan hukum atas tragedi kemanusiaan ini ditegakkan seadil-adilnya, setuntas-tuntasnya. Namun pada kenyataannya, publik justru dipertontonkan dengan banyak alibi janggal dalam proses penegakan hukumnya.
Beberapa kejanggalan itu seperti dicatat oleh tugumalang.id yang merekam sederet kejanggalan dalam penegakan hukumnya, diantaranya :
Pertama, eskalase kerusuhan Vs gas air mata. Peristiwa itu memang berawal dari massa suporter yang turun ke lapangan. Tindakan ini ditinjau ranah hukum Komdis PSSI tidak bisa dibenarkan. Namun demikian, eskalase kerusuhan yang terjadi saat itu dinilai tidak tepat direspons dengan tembakan gas air mata. Sementara, jika merunut aturan FIFA, polisi tidak semestinya berada di dalam lapangan. Apalagi dipersenjatai dengan senapan gas air mata.
Kedua, kabar penculikan hingga Intimidasi saksi suporter. Pasca tragedi, sejumlah suporter terutama yang memiliki bukti video, bahkan mengunggahnya ke media sosial melaporkan dirinya diamankan pihak kepolisian dengan berbagai cara dan alasan yang terkesan mengada ada.Bahkan sejumlah korban tidak merasa ditunjukkan surat resmi pengamanan. Beruntung LPSK langsung ikut turun dan melakukan advokasi kepada mereka yang menjadi korbannya.
Ketiga, mendadak ibuu penjual dawet bagikan jronologi palsu. Belum genap 7 hari, sejumlah isu yang tak bisa diverifikasi kebenarannya mulai berseliweran di lini sosial media. Mulai ibu penjual dawet yang membagikan kronologi ngawur hingga temuan botol miras di pintu stadion yang dilegimitasi sebagai biang kerok aksi kerusuhan yang terjadi disana.Belakangan, kebohongan itu terungkap dengan sendirinya. Pelaku ibu penjual dawet meminta maaf hingga temuan botol miras yang telah diklarifikasi ternyata botol obat PMK.
Keempat, pintu stadion tertutup hingga bukti kamera CCTV menghilang. Seiring merebaknya peristiwa itu, publik kembali dibingungkan dengan dugaan penyebab suporter tewas karena ada pintu yang tertutup sehingga massa yang berlarian akibat kepulan gas air mata saling berdesak dan terhimpit di lorong pintu gate.Namun, bukti kamera CCTV untuk membuktikan hal itu dikabarkan menghilang entah kemana.
Kelima, rekonstruksi kejadian malah digelar di Surabaya.Seperti diketahui, rekonstruksi kejadian tindakan penembakan gas air mata ini digelar di Lapangan Polda Jatim, bukan di Stadion Kanjuruhan yang menjadi lokasi kejadian perkara.
Keenam, hasil rekonstruksi tidak ada gas air mata ditembakkan ke arah tribun. Sejumlah kabar dari media massa kemudian memberitakan bahwa dalam proses rekonstruksi itu tidak menampilkan adegan penembakan gas air mata ke arah tribun. Sementara, video-video baik amatir maupun profesional menunjukkan hal sebaliknya,
Ketujuh, poses autopsi diulur-ulur, padahal sesuai SOP autopsi dilakukan setidaknya H+7. Diketahui pula, proses autopsi (visum dalam) dalam pembuatan proses perkaranya pada mulanya tidak dilakukan. Proses autopsi baru dilakukan setelah mendapat desakan keluarga korban hingga berkas perkaranya ditolak Kejaksaan terhitung dua kali.
Kedlapan, Hasil Autopsi Tidak Ada Kandungan Gas Air Mata. Proses Autopsi baru dilakukan 30 hari pasca kejadian. Salah satu keluarga korban yang diautopsi adalah Devi Atok, ayah dari 2 orang anaknya yang menjadi korban. Hasilnya, tidak ada kandungan gas air mata ditemukan. Dan, menyatakan kematian korban bukan karena gas air mata.
Kesembilan, proses Sidang di PN Surabaya Padahal Lokus Kejadian di Malang. Kejanggalan kembali berlanjut ketika diketahui Forkopimda Malang terdiri dari Bupati, Ketua DPRD hingga Kapolres Malang meminta persidangan digelar di tempat kondusif. Akhirnya, persidangan yang seharusnya dikawal para korban ini digelar di PN Surabaya.
Kesepuluh, Persidangan Dilarang Disiarkan Langsung, Awak Media Dibatasi.
Dari sekian rentetan kejanggalan yang terjadi, publik kembali disuguhi kabar bahwa proses persidangan Tragedi Kanjuruhan akan dibatasi pengunjungnya.Selain itu, persidangan yang seharusnya bersifat terbuka itu dilarang disiarkan secara live oleh media massa. Bahkan awak media yang datang meliput juga dibatasi dan didata.
Selain kasus Kanjuruhan, peristiwa penegakan hukum yang banyak menyita perhatian publik yang begitu alot proses penegakan hukumnya karena melibatkan jajaran korps bhayangkara adalah peristiwa pembunuhan terhadap Jhosua Hutabarat yang dilakukan oleh atasannya.
Seperti diketahui Kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J terus bergulir menyeret banyak personil korps bhayangkara. Dalam kasus ini ada sekurangnya 31 personel Polri yang diduga berupaya melindungi Irjen Ferdy Sambo sebagai pelaku utamanya.
Puluhan polisi tersebut berupaya melindungi Sambo dengan jalan mengaburkan fakta. Diantaranya dengan jalan menghalang halangi proses penyelidikan, merekayasa kasus sampai dengan cara merusak dan menghilangkan kamera CCTV yang ada di lokasi perkara. Sekurangnya ada 15 orang dari mereka telah resmi dimutasi Kapolri dari tempatnya semula
Sebagian lainnya masih menjalani proses sidang Pengadilan termasuk yang saat ini dijalani oleh Ferdy Sambo bersama dengan istri, sopir dan ajudannya. Bahkan selama proses Pengadilan berlangsung, masih ada upaya agar Sambo tak di hukum bert agar supaya rahasia yang ada di jajaran korps bhayangkara tetap terjaga.
Hal tersebut seperti diungkap oleh Indonesia Police Watch (IPW) sebagaimana di beritakan oleh law-justice.co,minggu 29/01 .2023. IPW menyatakan bahwa ada mantan anggota Satgassus yang bisa menjadi sosok berpotensi melobi-lobi Kejaksaan untuk meringankan hukuman Ferdy Sambo dkk.
Meski begitu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso tidak berani menyebutkan sosok nama tersebut karena belum melakukan pendalaman lebih lanjut dan tak mau salah menyebut nama.
"Bahwa ada yang melobi itu saya mendengar dan ada disebut nama, tapi saya tadi kan diminta sebut ya. Saya kan belum melakukan pendalaman kalau saya sudah cukup pendalaman saya buka. Saya juga tidak mau keliru," kata Sugeng dalam program Sambo Tetap Ditakuti? Ketua IPW: Internal Polri Tak Ingin Sambo Dihukum Berat Supaya Rahasia Aman yang tayang di KOMPAS TV, dikutip pada Jumat (27/01/2023).
Sugeng menyampaikan bahwa internal institusi Polri tak menginginkan Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman berat atau maksimal."Saya mendengar internal nggak menghendaki Sambo itu juga mendapatkan hukuman maksimal, internal kepolisian ya," ungkapnya.
Begitu pula dengan Sambo yang tak ingin dirinya dijatuhi hukuman maksimal kepadanya. Pasalnya, Sambo dinilai bisa saja kecewa dan mampu membocorkan informasi maupun rahasia internal Polri yang dimilikinya.
Sugeng lalu menyampaikan indikasi adanya indikasi Sambo bisa saja bongkar informasi rahasia yang ada dijajaran korps bhayangkara. Hal itu berdasarkan pernyataan Sambo yang berbeda mengenai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pada tanggal 7 April 2022.
Sugeng menduga internal Polri meminta Sambo untuk tidak lagi memberikan pernyataan mengenai informasi kepolisian yang diketahuinya."Saya rasa ada pembicaraan supaya anda tidak bicara lagi atau dia memberi sinyal," tandasnya. Menurut Sugeng, hal tersebut menjadi salah satu cara negosiasi untuk meringankan vonis hukuman yang bakal diterimanya.
Serangkaian kasus yang melibatkan jajaran korps bhayangkara memang seringkali berjalan alot dan terkesan ada upaya untuk memberikan perlindungan terhadap personilnya yang terlibat dalam perkaranya. Selain kasus kasus yang disebut diatas tentu saja masih banyak kasus yang lainnnya.
Penyimpangan Jiwa Korsa
Adanya berbagai kejanggalan kejanggalan dalam penegakan hukum suatu kasus yang melibatkan jajaran korps bhayangkara seringkali terjadi karena kesalahan dalam menerapkan semangat jiwa korsa di lingkungan korps bhayangkara.
Jiwa Korsa sendiri memiliki banyak arti tergantung orang yang mengartikan, namun pada intinya jiwa korsa itu adalah jiwa satu rasa dan satu asa dalam mencapai satu tujuan atau biasa disebut rasa peduli dan sepenanggungan terhadap sesama di dalam suatu organisasi atau kelompok yang mempunyai satu tujuan bersama.
Jiwa korsa dapat diartikan sebagai rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan semangat kebersamaan terhadap sesuatu, yang sering ditujukan kepada Organisasi yang menaunginya. Jiwa korsa ini juga dapat diartikan rasa senasib sepenanggungan, perasaan solidaritas, semangat persatuan dan kesatuan terhadap suatu Organisasi sehingga faktor-faktor jiwa korsa ini meliputi rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan tidak mementingkan diri sendiri maupun golongannya.
Dalam jiwa korsa terkandung inisiatif, tanggung jawab, loyalitas, dan dedikasi untuk suatu hal yang mulia, seperti halnya dalam mempertahankan prinsip yang benar, maupun hal-hal lain yang bersifat kebajikan dan kebaikan menolong dengan tetap mengedepankan rasa kebersamaan dan kewajaran, serta tidak berlebihan terhadap sesuatu sehingga tidak bisa membedakan baik-buruk tapi kita harus melihat sisi kebersamaan demi kebaikan bersama
Dengan demikian, jiwa korsa penting untuk kalangan korps bhayangkara karena akan menciptakan disiplin ketertiban, moril dan motifasi anggotanya. Dalam organisasi, pemupukan jiwa korsa diharapkan akan meningkatkan ketrampilan profesi masing-masing anggota sehingga mereka merasa malu apabila tidak mampu melaksanakan peran dan tugasnya.
Ternyata model jiwa korsa ini juga dapat dilihat pada kelompok organisasi kejahatan di semua level mulai kejahatan berat sampai kejahatan biasa. Sebagai contoh area organisasi kejahatan kelompok pencopet di terminal bus kecil dan area terbatas seringkali ikut mengamalkan juga semangat jiwa korsa untuk anggotanya. Kelompok pengedar narkoba dan kelompok ekstremis yang lebih luas areanya maupun jumlah pengikutnya juga menjalankan jiwa korsa.
Bagi organisasi seperti korps bhayangkara, jiwa korsa didasarkan pada normalitas nilai umum dalam kehidupan berorganisasi untuk tujuan yang ingin dicapai bersama. Semangat bersama yang bertujuan demi kebaikan umum yang menjadi ladang pengabdiannya sesuai dengan fungsi yang diembannya yaitu pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara.
Sebaliknya pada organisasi kejahatan, jiwa korsa mengalami pemaknaan diluar kelaziman, yaitu menjaga kerahasiaan kejahatan organisasi beserta anggotanya yang apabila dijalankan justru akan membahayakan kepentingan publik pada umumnya. Karena organisasi kejahatan yang ada itu menjadi semakin solid sehinggga susah untuk dibongkar keberadaannya.
Jadi jika semangat penerapan jiwa korsa dalam jajaran korps bhayangkara diabdikan untuk kepentingan publik pada umumnya maka pada organisasi kejahatan jiwa korsa dimaksudkan untuk melindungi kejahatan yang dilakukannya.
Konsekuensi yang timbul jika terjadi kesalahan dalam menjalankan semangat jiwa korsa pada jajaran korps bhayangkara dan organisasi kejahatan juga berbeda.Pada jajaran korps bhayangkara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai dasar bersama akan dinilai sebagai suatu perbuatan yang fatal sehingga hukuman pantas di jatuhkan kepadanya. Tujuannya agar soliditas organisasi dan kepercayaan publik dapat terus dijaga.
Sebaliknya pada organisasi kejahatan, jiwa korsa umumnya di operasionalkan dalam bentuk saling menutupi celah dan kekurangan organisasi serta anggotanya. Bahkan membocorkan rahasia individu dan organisasi adalah suatu hal yang dilarang dan memiliki konsekuensi yang serius bagi mereka yang melakukannya.
Hukumannya bisa dalam bentuk dikucilkan sampai dengan hilangnya nyawa termasuk keluarganya, seperti yang terjadi dalam organisasi mafia TRIAD atau YAKUZA.Untuk itulah kemudian sejatinya jiwa korsa memiliki makna yang sama namun memiliki hakekat operasional yang berbeda.
Dengan sendirinya jiwa korsa itu dilingkungan korps bhayangkara seperti pedang bermata dua. Satu sisi ia diperlukan dalam rangka mendukung tujuan organisasi tempat dimana para personil atau anggota bernaung didalamnya. Disisi lain kalau jiwa korsa ini jika tidak diamalkan dalam pengertian yang positif bisa menjadi bumerang yang akan merugikan organisasi dan kepentingan publik pada umumnya.
Jiwa korsa yang bernilai positif dilingkungan korp bhayangkara tentu saja perlu di dukung untuk terus diamalkan sesuai dengan nilai nilai yang diperjuangkannya. Namun pengamalan jiwa korsa yang menyimpang bahkan cenderung dipraktekkan seperti organisasia kejahatan itulah yang berbahaya. Berbahaya tidak saja bagi organisasi itu sendiri, tetapi juga bagi kebaikan untuk kepentingan publik pada umumnya.
Oleh karena itu kita berharap, jangan sampai terjadi penyimpangan dalam pengamalan jiwa korsa ditubuh korps bhayangkara. Sebab kalau sampai ini terjadi, bisa melahirkan gangster berseragam dilingkungan korps bhayangkara. Akhirnya bisa menjelma menjadi kondisi penegakan hukum yang jauh dari nilai nilai keadilan dan penegakan hukum akan menjadi komoditas yang sangat mahal harganya. Kasus kasus besar seperti judi, narkoba, korupsi dan yang lain lainnya yang diduga melibatkan aparat negara bakalan tidak akan terungkap karenanya.
Akan muncul budaya dimana bawahan akan berusaha menutupi kesalahan atasannya. Sebaliknya atasan akan berusaha untuk melindungi kesalahan anak buahnya demi menjaga nama baik korpsnya. Bawahan tidak berani menolak perintah atasannya meskipun melanggar hukum dan ketentuan yang ada. Sebaliknya, atasan dengan mudahnya memperalat bawahan untuk keuntungannya. Apakah fenomena ini memang sudah terjadi di Indonesia?