Gara-gara Perppu, Terjadi Aksi "Penodongan" di Komisi II

 


Desmond J Mahesa 
Wakil ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Akhir-akhir ini kecenderungan penggunaan peraturan pemerintah pengganti Undang Undang (Perppu) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara oleh pemerintah yang sedang berkuasa nampaknya sudah menjadi pilihan favoritnya.

Selama periode kedua pemerintah Jokowi -Ma’ruf Amin berkuasa sudah ada tiga Perpu yang dikeluarkannya. Pertama Perppu 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penanganan Pandemi Virus Corona.

Perppu kedua yang dikeluarkan oleh Jokowi adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum yang dibuat untuk menghadapi keadaan yang mendesak akibat kekosongan hukum mengenai daerah-daerah pemilihan baru setelah terjadinya pemekaran di Papua.

Perppu ketiga adalah Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menyelamatkan Undang-undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Trend penggunaan Perppu telah memunculkan kekhawatiran lahirnya suatu pemerintahan yang otoriter dalam penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Gara gara Perppu ini pula telah terjadi aksi ‘penodongan” di Komisi 2 DPR sehingga patut disesalkan tentunya

Mengapa terbitnya Perppu itu memunculkan kekhawatiran lahirnya pemerintahan yang otoriter di Indonesia? Apakah tradisi penggunaan Perppu yang mencerminkan pemerintahan otoriter itu memang biasa di praktekkan oleh seorang penguasa yang mulai haus akan kekuasaannya?

Seperti apa bentuk penodongan yang terjadi di Komisi 2 sehingga mengganggu tatanan tertib hukum di negara kita?

Bahaya Perppu

Perpu sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang.

Secara konstitusional Perppu merupakan produk hukum yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu sebagai pengganti undang-undang.

Selanjutnya sesuai bunyi Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dinyatakan bahwa :

“DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.”

Dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka sebagai tindak lanjut atas Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak Perppu yang bersangkutan, Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Lalu, bagaimana suatu kondisi bisa dikatakan berada dalam kegentingan yang memaksa? UUD 1945, tidak menentukan apa yang disebut dengan kegentingan yang memaksa.

Oleh karena itu, MahKamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan 3 (tiga) syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.

Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan.

kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.

Dengan demikian kewenangan pembentukan Perpu menurut UUD 1945 hanya diberikan kepada Presiden, termasuk kewenangan untuk menetapkan terjadinya hal keadaan darurat negara.

Karena itu, kewenangan tersebut bersifat subjektif artinya hak untuk menetapkan Perpu didasarkan atas penilaian subjektif dari Presiden sendiri mengenai adanya keadaan darurat negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa.

Dalam prakteknya kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Perpu tersebut dipergunakan terlalu luas dalam menafsirkan hal ihwal Kegentingan yang Memaksa karena murni hanya bersandar pada subyektivitas Presiden semata. Sehingga Presiden memang bisa sangat longgar menafsirkan kondisi “Kegentingan Yang Memaksa”.

Hal tersebut bisa terjadi karena hingga saat ini, baik di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011), maupun Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Perpres No.87 Tahun 2014), yang menyebutkan tentang kewenangan Presiden menetapkan Perppu yang didasarkan pada hal ihwal Kegentingan yang Memaksa, tidak memuat parameter yang jelas mengenai indikator kegentingan yang memaksa.

Belum adanya satupun peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur kriteria Kegentingan yang Memaksa yang menjadi dasar baik bagi Presiden menetapkan Perppu maupun bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima/menolak pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penetapan Perpu, berdampak pada rentannya Presiden dan DPR memanfaatkan Perpu sebagai alat kepentingan politik semata sehingga produk hukum berupa Perppu ini menjadi sangat berbahaya.

Karena dominasi kepentingan politik terhadap kepentingan publik akan membawa negara pada kekuasaan absolut (tirani) yang menjurus kepada penindasan kepada rakyatnya.

Penindasan yang berlebihan terhadap hak dan kebebasan masyarakat berarti kekuasaan telah terbentuk dalam pola despotism ( bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut), yang pada akhirnya bisa berakibat perpecahan dan tindakan brutal masyarakat atau anarkisme sosial oleh akibat kesewenang-wenangan penguasa.

Meskipun kewenangan presiden dalam pembentukan Perppu dapat dikatakan merupakan hak subyektif presiden namun semestinya harus tetap bersandar pada keadaan obyektif Kegentingan yang Memaksa.

Pemenuhan keadaan Kegentingan yang Memaksa ini yang seringkali dikesampingkan, bahkan kecenderungan untuk tidak mematuhi prasyarat dalam pembentukan Perppu telah menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga sangat berbahaya.

Sebagai contoh Jika hal tersebut kita kaitkan dengan keberadaaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pandemi virus corona, Apakah Perppu tersebut telah memenuhi syarat-syarat Negara dalam keadaan bahaya sehingga menimbulkan kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945?

Syarat yang pertama yaitu adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, rasanya tidak ada karena ketika Perpu tersebut dibuat, Presiden belum mengeluarkan pernyataan Negara dalam keadaan Bahaya. Dan dalam Perppu tersebut tidak menjadikan pasal 12 UUD sebagai dasar hukum (mengingat)nya.

Syarat yang kedua yaitu adanya kekosongan hukum, sepertinya juga tidak terpenuhi karena dalam menghadapi Covid-19 Pemerintah masih memiliki payung hukum yang lainnya.

Ada undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah virus corona. yaitu dimulai dengan Karantina rumah, karantina pintu masuk, Pembatasan sosial berskala besar, karantina wilayah dan sebagainya..

Ringkasnya dari tiga hal sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK tidak dapat dijadikan alasan, sebab kekosongan hukum dan keadaan mendesak tidak terpenuhi syaratnya.

Lebih-lebih yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pada hal Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu-kan, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan sesuai ketentuan yang ada.

Dengan demikian Perppu 1/2020 dinilai tidak mempunyai tujuan jelas terkait kegentingan yang memaksa. Padahal di dalam pertimbangan disebut bahwa pandemi Covid-19 bersifat global sehingga harus ditangani secara khusus, tetapi penanganan khusus terhadap pandemi Covid-19 ini tidak tercermin sama sekali di dalam ketentuan Perpu yang mengaturnya. Yang tercermin hanya ancaman ekonomi dan stabilitas sistem keuangan negara.

Hal yang hampir sama ternyata juga terjadi pada Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (pemilu).

Keluarnya Perppu Pemilu ini ternyata mendapatkan respons dari publik terkait dengan pertanyaan mengapa harus mengeluarkan Perpu padahal sebenarnya waktu untuk merevisi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih lama. Sebab seperti dipahami bersama, pembuatan Perppu harusnya didasari oleh adanya kegentingan yang memaksa sesuai Pasal 22 UUD 1945.

Sesungguhnya pembuatan Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinilai tidak mengandung unsur genting dan mendesak seperti apa yang dipersyaratkan oleh MK.

Sehingga bisa dilakukan revisi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan bukan dalam bentuk produk hukum berupa Perppu. Karena dari sisi waktu sebenarnya RUU tentang pemekaran tiga daerah otonomi baru di Papua sudah keluar sejak Juli 2022, ada tersedia waktu sekitar lima bulan sehingga ada cukup kesempatan untuk membahasnya.

Publik lalu membandingkan dengan revisi Undang Undang tentang MPR, DPR , DPD dan DPRD (MD3) yang hanya makan waktu beberapa hari saja. Atau pembahasan RUU Cipta kerja yang meskipun sangat tebal halamannya tapi dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama.

Kesan yang muncul adalah adanya sikap menunda-nunda pembahasan revisi Undang Undang Pemilu dan membuat seolah-olah keadaan menjadi darurat supaya ada alasan untuk dikeluarkannya produk hukum berupa Perppu.

Padahal dengan revisi Undang Undang akan ada ruang untuk aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya sesuai dengan ketentuan yang ada. Tetapi dengan produk hukum Perppu hal tersebut dengan sendirinya menjadi tidak ada.

Dari ketiga Perppu yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Jokowi selama periode kedua kekuasaannya, barangkali yang paling parah adalah keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Alasan yang digunakan untuk diterbitkannya Perppu ini pun terkesan mengada-ada. Alasan mendesak yakni meningkatnya inflasi dan ancaman stagflasi, hingga efek perang Rusia-Ukraina serta beberapa hal lainnya menjadi alibi yang terkesan asal ada saja demi untuk memperjuangkan kepentingan investor/pengusaha.

Sungguh sangat ironis ketika MK memutuskan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dimana pembuat Undang Undang diharuskan untuk memperbaiki proses pembuatan Undang Undangnya, tapi Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu yang tidak kuat legitimasinya.

Pada hal perintah MK jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki Undang Undang Cipta Kerja yang cacat prosedur pembuatannya dan bukan menerbitkan Perpu dengan dalih sudah ada “kegentingan yang memaksa”.

Lagi pula Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan pelaksana dari Undang Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh MK. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut seolah olah menganggap sepi Keputusan MK.

Tak pelak penerbitan Perppu Undang Undang Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor, pemodal atau pengusaha.

Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan Perpu ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat pada umumnya.

Kebiasaan untuk mengeluarkan produk hukum berupa Perppu dengan alasan yang asal asalan ini patut disayangkan kalau kemudian dijadikan sebagai sebuah kebiasaan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara karena bisa berpotensi adanya penyalahgunaan kewenangan dan mematikan demokrasi di Indonesia.

Karena memaksakan kegentingan Kekuasaan yang menggunakan kegentingan untuk memaksakan diri menggunakan kekuasaan yang besar akan melahirkan pemerintahan otoriter yang merugikan rakyat, bangsa dan negara. Kegentingan itu harus nyata dan objektif, bukan subjektif menurut penilaian Presiden semata.

Membiasakan keadaan darurat dengan menggunakan kekuasaan maksimal berbahaya bagi negara hukum seperti Indonesia. Sebab dalam keadaan pengecualian atau keadaan darurat presiden dapat menangguhkan hukum dan konstitusi dengan menggunakan kekuasaan yang besar menyatakan kehendaknya.

Kalau ini terjadi, maka kita akan bertemu dengan sejarah, di mana kondisi darurat akan melahirkan kekuasaan otoriter dan diktator yang sangat berbahaya.

Ciri Pemerintah Otoriter

Dalam sejarah tercatat adanya para pemimpin yang aji mumpung menggunakan produk hukum semacam Perpu ini untuk menjalankan agenda pribadi atau kelompoknya. Sengaja dibuat suatu alasan seolah olah telah terjadi “keadaan darurat” untuk melegitimasi dirinya bertindak melampaui hukum dan ketentuan yang ada.

Sejarah para tiran memberikan ilham kepada kita, bagaimana otoritarianisme menggunakan “kegentingan memaksa” untuk mengesampingkan konstitusi demi melayani hasrat kekuasaan besar yang dimilikinya.

Dalam sejarah Republik Weimar atau yang disebut Reich Kedua telah memberikan petunjuk kepada Adolf Hitler untuk menggunakan “keadaan pengecualian” (state of exception) untuk berkuasa sepenuhnya.

Selama 12 tahun Reich Ketiga di bawah kekuasaan Hitler, Jerman adalah negara dalam keadaan darurat (state of emergency) yang diciptakan oleh pemimpinnya.

Presiden Republik Weimar Paul von Hindenburg pada 1930-an, menggunakan instrument Pasal 48 untuk menyatakan kondisi darurat atau keadaan pengecualian (state of exception) bagi negaranya. Pada tahun 1930 itu pula secara terus menerus Hindenburg mengeluarkan lima dekrit darurat (state of emergency) untuk disahkan berlakunya.

Keadaan negara darurat dalam terminologi lain disebut sebagai state of emergency merupakan kondisi di mana pemerintah dalam suatu negara melakukan sebuah respons luar biasa (extraordinary response) dalam menyikapi ancaman yang dihadapi negara.

Di Indonesia pemimpin yang aji mumpung menggunakan Perpu untuk kepentingan politiknya pernah dipraktekkan pada masa Orde lama dan Orde Baru (Orba).

Soekarno pada masa Orde Lama pernah menggunakan keadaan bahaya dengan mengeluarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya (selanjutnya disebut Perppu Keadaan Bahaya).

Perppu itu digunakan Soekarno untuk mengendalikan negara dengan cara-cara otoriter menyalahi ketentuan yang ada. Pada akhirnya Soekarno menjadi penguasa tunggal dari tahun 1959 sampai tahun 1965. Soekarno juga diangkat menjadi presiden seumur hidup pada hal bertentangan dengan UUD 1945.

Tapi tidak ada yang membayangkan, Perppu Keadaan Bahaya yang dikeluarkan pada zaman Orde lama itu kemudian itu digunakan oleh Soeharto pada masa Orba untuk menangkap dan mengadili orang-orang Soekarno dan digunakan orde baru selama 32 tahun berkuasa.

Karena itu kita patut waspada dan khawatir, kalau keadaan darurat terus menerus menjadi alasan untuk menyangkal konstitusi dan membuat kekuasaan eksekutif menggunakan kekuasaan maksimal, bukan tidak mungkin akan keluar keadaan-keadaan bahaya selanjutnya.

Kalau itu terjadi, maka ada dua bahaya, bahaya otoritarianisme dan bahaya runtuhnya negara kesatuan republik Indonesia. Keduanya harus kita hindari, karena itu kesadaran bernegara menjadi penting dan kearifan bernegara menjadi syarat untuk memperkuat negara hukum dan negara kesatuan republic Indonesia yang sudah menjadi kesepakatan bersama oleh para pendiri bangsa.

Keduanya harus dijaga dan dirawat sedemikian rupa dengan kearifan, dan kebijaksanaan bukan untuk kepentingan kekuasaan belaka.

“Penodongan” Itu

Keluarnya produk hukum berupa Perppu yang terkesan semena-mena pembuatannya telah memunculkan peristiwa-peristiwa lain yang mencederai tatanan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu terjadi misalnya pada peristiwa di Komisi II yang melibatkan beberapa kelembagaan negara. Disana telah terjadi semacam aksi “penodongan” yang semestinya tidak terjadi karena tidak elok tentunya.

Peristiwanya sendiri sebenarnya sudah berlalu cukup lama tepatnya hari rabu tanggal 11 Januari 2023. Saat itu beberapa Lembaga negara seperti Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Pengawas Pemilu berkumpul di Komisi II DPR RI untuk rapat bersama.

Rapat kerja itu membahas persiapan penyelenggaraan Pemilu yang sudah ditetapkan akan berlangsung coblosannya tanggal 14 Pebruari 2024.

Hasil kesimpulan rapat antara lain menyatakan bahwa Penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) untuk DPR RI dan DPRD Provinsi sama dan tidak berubah sebagaimana termaktub dalam lampiran Ill dan IV Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PERPPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan menjadi bagian isi dari PKPU tentang Daerah Pemilihan. Sementara Daerah Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota akan dibahas lebih lanjut secara bersama-sama.

Dicantumkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2022 sebagai dasar penetapan Dapil disini mengesankan bahwa adanya semacam “penodongan” kepada pihak DPR bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2022 ini pada akhirnya nanti pasti akan disetujui oleh DPR untuk disahkan menjadi Undang Undang sebagai mana perppu-perppu yang telah dibuat sebelumnya. Padahal sesuai ketentuan Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3, DPR berhak untuk menolaknya.

Dengan dicantumkannya PERPPU Nomor 1 Tahun 2022 sebagai dasar penetapan Dapil maka sama artinya dengan “menodong” DPR untuk menyetujui Perpu tersebut menjadi Undang Undang Pemilu nantinya.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan pencantuman Perppu Nomor 1 Tahun 2022 namun dengan catatan Perppu tersebut disetujui oleh DPR menjadi sebuah Undang Undang dalam sidang Paripurna.

Begitulah kira-kira prosedur tata tertib ketatanegaraan yang seharusnya dilakukan agar tidak terkesan adanya “penodongan” terhadap Lembaga tinggi negara yang punya kewenangan untuk mengesahkan Perpu menjadi Undang Undang agar mempunyai kekuatan hukum untuk berlakunya.

Dalam rapat di Komisi II DPR RI rabu tanggal 11 Januari 2023 tersebut disepakati pula bahwa KPU RI berkomitmen untuk menyelenggarakan Pemilu Tahun 2024 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menggunakan sistem Pemilu Proporsional Terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu dan dikuatkan oleh Putusan MK RI Nomor 22-24/PUU-Vl/2008 pada 23 Desember 2008.

Kesepakatan pihak pihak terkait yang menyatakan Pemilihan Umum tahun 2024 nanti akan menggunakan sistem Pemilu Proporsional Terbuka sebenarnya juga mengandung indikasi adanya “penodongan” kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena sebagaimana kita ketahui, sistem pemilu proporsional yang berlaku sekarang sedang di gugat di MK. Sejauh ini belum ada keputusan dari MK untuk memutuskan berdasarkan uji materi yang dilakukannya, apakah pemilu mendatang akan menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka.

Oleh karena itu dengan adanya kesepakatan rapat di Komisi 2 yang akan melaksanakan pemilu dengan sistem proporsional terbuka mengesankan adanya tekanan atau “penodongan” kepada MK untuk memutuskan hasil uji materi terhadap Undang Undang Pemilu yang di gugat di MK bahwa pemilu tahun 2024 nantinya pasti menggunakan sistem proporsional terbuka.

Dalam kaitan dengan hal ini Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menekankan bahwa MK memang tidak mengatur sistem pemilu, terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, melainkan hanya membatalkan atau meluruskan UU-nya.

"Urusan proporsional terbuka atau tertutup itu urusan legislatif, bukan urusan MK; karena MK tidak boleh mengatur, tapi boleh membatalkan atau meluruskan. Proporsional terbuka atau tertutup itu silakan legislatif," kata Mahfud saat dimintai tanggapannya soal uji materi UU Pemilu di Jakarta, Senin (16/1/2023).

Selain adanya nuansa “penodongan” terhadap peraturan perundang undangan terkait pemilu sebagaimana dikemukakan diatas, saat ini juga masih ada ketidakpastian terkait dengan produk hukum Perpu yang belum juga mendapatkan persetujuan dari DPR dalam sidang paripurna.

Sebagaimana disinggung diatas, bahwa agar supaya Perppu mempunyai kekuatan hukum untuk berlakunya maka harus mendapatkan persetujuan DPR sehingga menjadi Undang Undang.

Namun sejauh ini persetujuan itu masih belum ada sehingga Perpu masih terkatung katung nasibnya yaitu Perpu tentang Pemilu dan Perpu tentang Cipta Kerja.

Masa sidang DPR yang akan berakhir pada pertengahan bulan ini nampaknya belum juga mengagendakan untuk pembahasan kedua Perpu tersebut dalam sidang Paripurna.

Apakah pembahasan kedua Perpu tersebut memang akan ditunda pelaksanannya? Sampai kapan kira kira akan diagendandakan sehingga ada kepastian hukum untuk Undang Undang Pemilu dan Undang Undang Cipta Kerja-nya?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال