Nasib UU Cipta Kerja, Sudah Tamatkah Riwayatnya?

 

Desmond J Mahesa
Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Salah satu Undang Undang yang sangat kontroversial dan sarat masalah sejak awal pembuatannya adalah Undang Undang Cipta Kerja. Dari sisi namanya saja sudah memunculkan tanda tanya karena namanya cipta kerja tapi substansi yang diatur tidak mencerminkan namanya.

Kontroversi berikutnya adalah tidak transparannya proses perencanaan dan penyiapan draft dari Rancangan Undang Undang (RUU)-nya. Publik hanya mendengar isu tentang omnibus law ini tapi tidak pernah mengetahui konsep muatan maupun naskah akademiknya.Tidak transparannya proses penyiapan juga terlihat dari minimnya pelibatan partisipasi publik dalam proses penyusunan naskah RUU ini seperti dalam dengar pendapat publik ataupun mengundang para pakar untuk dimintai pendapatnya.

Dari sisi kerangka muatan peraturan, Omnibus Law Cipta Kerja ini juga dinilai menyalahi beberapa prinsip hukum dan ketentuan yang ada. Omnibus Law Cipta Kerja ini dalam beberapa bagian menghidupkan kembali aturan yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam produk hukum sebelumnya karena tidak sesuai dengan konstitusi negara.

Banyaknya kontroversi yang menggelayuti RUU Cipta Kerja pada akhirnya memunculkan gugatan ke MK terhadap UU ini begitu DPR mengesahkannya. Oleh MK UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional (bersyarat) alias cacat formil dan harus diperbaiki proses pembuatannya. Untuk itu MK memberikan waktu dua tahun bagi pembuat UU untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja. Tapi alih alih mematuhi putusan MK, Pemerintah justru menjawabnya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) pada 30 Desember 2022.

Setelah PERPPU diterbitkan, PERPPU hanya berlaku sementara sampai DPR menyetujuinya dalam masa sidang berikutnya. Karena PERPPU terkait kondisi darurat, maka wajar kalau DPR wajib memberi persetujuan secepatnya yaitu dengan cara menyetujui atau menolaknya.Pada akhirnya Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU pada 15 Pebruari 2023.

Dengan telah disahkannya PERPPU Cipta Kerja menjadi UU oleh Baleg DPR, menyisakan banyak tanda tanya dikalangan publik yang mencermati tahap akhir pengesahan PERPPU Cipta Kerja. Mengapa proses pengesahan PERPU Cipta Kerja oleh Baleg DPR terkesan sangat tergesa gesa? Apakah dengan disahkannya PERPU Cipta Kerja oleh Baleg itu sudah bisa dijadikan dasar bagi UU Cipta Kerja untuk bisa diberlakukan atau malah sebaliknya? Pelajaran apa yang dapat kita petik dari proses pembuatan UU Cipta Kerja ini dalam kaitannya dengan praktek hukum ketatanegaraan kita?

Tergesa-gesa?

Mengacu pada Pasal 22 UUD 1945, PERPU harus disahkan menjadi UU pada persidangan berikutnya. Adapun makna persidangan berikutnya dijabarkan dalam Pasal 52 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni masa persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh pembuatnya dalam hal ini Presiden Republik Indonesia.

Seperti diketahui, PERPPU Cipta Kerja diterbitkan pada saat DPR dalam masa reses atau tepatnya pada 30 Desember 2022. Jadi, jika mengacu pada aturan di konstitusi dan UU, masa persidangan berikutnya berarti jatuh pada masa persidangan III tahun sidang 2022-2023. Masa persidangan ini berlangsung sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023.

Meskipun ada waktu sebulan lebih untuk proses pembahasan PERPPU Cipta Kerja, nyatanya DPR memang baru mulai pembahasan untuk pengesahan PERPU tersebut seminggu sebelum masa reses tiba.

Mulai diprosesnya PERPPU Cipta Kerja menjadi UU oleh DPR ditandai dengan dibacakannya surat presiden (supres) terkait dengan PERPU tersebut dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/2/2023).

Selanjutnya rapat Baleg dilaksanakan pada pukul 15.00 WIB hari selasa, 14 Februari 2023. Rapat Kerja (Raker) Baleg DPR ini dilakukan bersama sama dengan Pemerintah dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI dalam rangka pembahasan PERPPU Cipta Kerja

Pada malam harinya, tepatnya hari Selasa, 14 Februari 2023, Pukul 19.00 WIB, bertempat di Ruang Rapat Badan Legislasi, Gd Nusantara I Lantai I, diadakan (Rapat Pleno) RDPU lanjutan dengan narasumber dari kalangan akademisi dalam rangka pembahasan PERPPU Cipta Kerja.

Besok harinya tepatnya mulai Pukul 10.00 WIB, hari Rabu, tanggal 15 Februari 2023, dilaksanakan Raker dengan Pemerintah dan DPD RI dalam rangka Pengambilan Keputusan atas hasil pembahasan PERPPU Cipta Kerja.

Pada kesempatan tersebut, Baleg DPR menyepakati PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945, dimana PERPPU harus disahkan menjadi UU pada persidangan masa berikutnya.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Baleg Perpu Cipta Kerja M Nurdin dalam rapat pleno Baleg DPR hari Rabu (15/2/2023)."Apakah hasil pembahasan Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja disetujui untuk menjadi undang-undang di tingkat dua?" ujar M Nurdin yang dilanjutkan jawaban setuju oleh para anggota Baleg lainnya.

Dalam rapat pleno tersebut, 7 fraksi menyatakan persetujuannya untuk Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk dilanjutkan menjadi UU, sementara dua fraksi lainnya menolak, yakni Partai Demokrat dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Pengesahan PERPU Cipta Kerja menjadi UU ini tak urung memantik reaksi dari beberapa pihak antara lain Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah Lembaga. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Protes Rakyat Indonesia menyatakan kemarahannya terhadap langkah Baleg DPR yang menyetujui pengesahan PERPPU Cipta Kerja.

“Kami mengutuk keras langkah DPR yang telah gagal menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dan justru menjadi agen dari praktik kesewenangan pemerintah,” kata perwakilan koalisi dan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, M. Isnur, Jumat, 17 Februari 2023 seperti dikutip media.

Isnur mengatakan DPR lebih memilih kehilangan harga dirinya dan mengabaikan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dengan menyetujui pembentukan PERPPU Cipta Kerja. Padahal, kata dia, penerbitan perpu tersebut jelas-jelas melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain soal pengesahan PERPPU Cipta Kerja menjadi UU, publik pada umumnya juga menyoroti soal proses pengesahan PERPU tersebut yang terkesan tergesa-gesa.

Mepetnya waktu pembahasan PERPPU Cipta Kerja yang hanya seminggu menjelang reses DPR itu memang menimbulkan tanda tanya. Karena kalau waktunya cuma seminggu atau bahkan hanya tiga hari sebelum masa reses tiba, memunculkan kesan bahwa pembahasan PERPPU hanya sekadar formalitas belaka.

Pembahasan yang terkesan terburu-buru ini dinilai tidak akan menghasilkan sesuatu yang ideal bagi pelaksanaan fungsi kontrol DPR selaku pemegang kekuasaan pembentukan UU yang seharusnya kritis menyikapinya.

Karena pemberian persetujuan atau penolakan terhadap PERPPU sejatinya tidak hanya terkait dengan alasan formal atau alasan kegentingan memaksa mengapa PERPU harus diterbitkan namun penting juga untuk membahas apakah substansi PERPPU tersebut dapat disetujui DPR yang artinya sesuai ataukah tidak dengan konstitusi negara.

Dalam kaitan tersebut, DPR memang tidak bisa merevisi pasal per pasal, hanya menyetujui atau menolaknya. Namun yang namanya menyetujui itu artinya DPR juga harus bertanggung jawab terhadap isi PERPPU-nya. Padahal disinyalir masih banyak ketentuan baru (di dalam Perppu Cipta Kerja) yang dinilai masih bermasalah sehingga perlu perhatian mendalam untuk sampai kepada kesimpulan menerima atau menolaknya.

Tetapi waktu yang mepet memang tidak memungkinkan semua itu terjadi seperti harapan publik pada umumnya. Fenomena ini nampaknya mengulangi lagi kejadian pada tahap awal pembahasan RUU Cipta Kerja yang juga terkesan tergesa gesa, paket kilat pada hal banyak pasal yang harus di bahas secara partisipatif melibatkan segenap komponen masyarakat dalam proses pembahasannya.

Apakah pembahasan yang sangat mepet itu memang sengaja di ciptakan untuk meniadakan ruang bagi pembahasan secara ilmiah dan logis dalam pemberian persetujuan atau penolakan terhadap PERPU Cipta Kerja? Sebab pada saat yang sama sebenarnya DPR juga lagi mendapatkan Pekerja Rumah untuk menolak atau menerima PERPPU Pemilu menjadi UU pada masa sidang berikutnya.

Tetapi yang sangat didorong untuk segera disahkan nampaknya memang PERPPU Cipta Kerja karena unsur “kemendesakannya” barangkali dinilai lebih urgen daripada PERPU Pemilu yang masih di warnai isu bakal di tunda.

Indikasi bakal mulusnya persetujuan PERPPU Cipta Kerja oleh DPR ini memang sudah terlihat dari pendekatan yang langsung dilakukan pemerintah setelah PERPU diterbitkan Pemerintah pada tanggal 30 Desember 2022.

Salah satu unsur pimpinan Baleg DPR yang juga pemimpin fraksi pernah mengungkapkan, bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dikabarkan langsung mengontak sejumlah pemimpin Baleg DPR dan pemimpin fraksi menjelaskan alasan terbitnya PERPPU, sekaligus mengharapkan DPR nantinya bisa menyetujuinya .

Selain lobi-lobi yang dilakukan oleh unsur pemerintah, sesungguhnya dengan melihat formasi kekuatan koalisi pendukung Pemerintah di DPR memang tidak sulit untuk mendapatkan dukungan dari mereka. Lagi pula PERPPU sebagai hak prerogatif presiden tentunya segala sesuatunya sudah disampaikan ke parpol pendukung pemerintah dan sudah pula dibahas di rapat kabinet dimana wakil partai koalisi ada didalamnya.

Semua itu tentu saja berkontribusi untuk memuluskan di setujuinya PERPPU Cipta Kerja menjadi UU meskipun banyak kalangan menghendaki DPR menolaknya karena diduga mengandung cacat formil dan materiil dalam PERPPU Cipta Kerja.

Sudah Tamatkah?

Salah satu topik pembicaraan yang kemudian mengemuka pasca disetujuinya PERPU Cipta Kerja menjadi UU oleh Baleg DPR adalah mengenai status hukumnya. Apakah dengan disetujuinya PERPPU Cipta Kerja oleh Baleg menjadi UU itu secara otomatis berlaku atau malah sebaliknya?

Ternyata meskipun PERPPU Cipta Kerja sudah disetujui oleh Baleg DPR untuk dibawa ke paripurna, namun sampai selesai masa sidang DPR yang berlangsung sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023, yang namanya PERPPU Cipta Kerja belum berhasil dibawa ke sidang paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuannya.

Sesuai ketentuan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa PERPPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikutnya. Pada bagian penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan ”persidangan berikutnya” adalah masa sidang pertama DPR setelah PERPPU ditetapkan berlakunya.

Dengan belum adanya persetujuan PERPPU Cipta Kerja melalui paripurna DPR menimbulkan tafsir dan pendapat pro dan kontra terkait status daripada PERPU Cipta Kerja. Apakah PERPU tersebut status hukumnya batal demi hukum atau masih berlaku menunggu persetujuan masa sidang DPR selanjutnya?

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Jember (Unej) Bayu Dwi Anggono, seperti dikutip media Senin (13/2/2023), masa sidang berikutnya tidak harus dimaknai sebagai masa sidang pertama kali setelah PERPPU ditetapkan berlakunya. DPR tidak harus memberikan persetujuan atau penolakan nya. ”Bisa pada masa sidang yang berikutnya lagi,” ujarnya.

Alasannya, ada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan penafsirannya. Menurut Bayu, pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut menjawab pertanyaan bagaimana jika sudah lewat masa sidang ternyata PERPPU tersebut belum menolak atau menyetujuinya. Bagi Bayu, ada pesan konstitusional dalam putusan MK tahun 2009 bahwa sebelum ada pendapat DPR, norma tersebut tetap sah dan berlaku seperti UU sehingga dapat diuji konstitusionalitasnya.

Masih berkaitan dengan tenggat waktu disetujui atau ditolaknya PERPPU Cipta Kerja, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa proses persetujuan kedua PERPU yaitu PERPU Pemilu dan PERPPU Cipta Kerja masih bisa dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan DPR berikutnya. ”Kalau tidak kekejar, ya, dibahas pada masa sidang berikutnya lagi ,” begitu ucapnya.

Ia yakin pembahasan kedua PERPPU tidak terbatas pada masa persidangan III DPR saja, bahkan, menurut dia, ada mekanisme yang memberikan keleluasaan itu dalam pembahasan PERPU sampai DPR menolak atau menyetujuinya. Namun, ia tidak merinci mekanisme seperti apa yang dimaksudnya.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Allan Fatchan Gani, Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia mengingatkan agar DPR patuh pada apa yang telah diatur di undang-undang dan konstitusi negara. Mengacu pada konstitusi dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, persetujuan perppu memang harus diberikan DPR di masa persidangan berikutnya setelah Pemerintah melalui Presiden menerbitkannya. Maka, DPR seharusnya menyelesaikan proses persetujuan tersebut di masa persidangan berikutnya (yaitu masa sidang III yang sudah berlangsung sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023).

Jika proses itu tak tuntas hingga berakhirnya masa persidangan, maka menurutnya DPR bisa dinilai melanggar UU dan konstitusi negara. Ia juga menepis pernyataan Dasco yang menyebut adanya mekanisme yang memungkinkan pembahasan PERPPU diperpanjang melewati masa persidangan yang seharusnya. Kalaupun DPR memiliki aturan internal, yakni tata tertib DPR, yang membuka ruang itu, aturan itu tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU dan konstitusi negara.

Sementara itu Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai tidak etis jika DPR membiarkan PERPU Cipta Kerja dan Perppu Pemilu tidak dibahas segera. Menurut Lucius, DPR seolah lepas dari tanggung jawab jika tak kunjung membahasnya. Padahal, kata Lucius, PERPPU akan lebih kuat jika dibahas dan DPR menyetujuinya. Pasalnya, PERPPU hanya pertimbangan subyektif presiden semata. Dan DPR berperan menguji pertimbangan tersebut, termasuk pemenuhan syarat kegentingan memaksa.

Pendapat lebih tegas dinyatakan oleh pengajar hukum tata negara dari Universitas Hasannudin, Makassar, Fajrulrahman Jurdi melalui pernyataannya.Menurut dia, UUD 1945 tidak menyebutkan bagaimana nasib PERPU jika belum mendapat persetujuan atau penolakan menjadi UU pada masa sidang DPR berikutnya. Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 hanya menyebutkan, PERPU harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikutnya. Ayat selanjutnya mengatur, jika tidak mendapat persetujuan, PERPPU itu harus dicabut eksistensinya.

”Kalimat konstitusi tidak menyebutkan ’jika tidak dibahas’. Saya menafsirkan, jika tidak dibahas pada masa persidangan berikutnya, maka dianggap ini ’dicabut’,” ujar Fajrulrahman melalui pernyatannya yang dikutip media.Menurut dia, kata ”harus” pada Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 memiliki makna yang bersifat imperatif atau perintah. ”Bukan fakultatif. Karena itu, wajib dibahas,” katanya.

Sebagai konsekuensi jika PERPU dianggap dicabut, maka sidang pengujian formil yang sedang berlangsung di MK yang menggugat PERPPU Cipta Kerja pun harus berhenti dengan sendirinya. Menurut Fajrulrahman, ketentuan itu semestinya berlaku mutatis mutandis. Karena PERPPUnya jika tidak disetujui DPR (pada persidangan berikutnya), maka perkara pengujian di MK pun semestinya tidak dilanjutkan karena obyek pengujiannya sudah harus dianggap tidak ada.

Pendapat senada disampaikan oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS seperti dikutip law-justice.co 20/02/2023. Menurutnya dengan tiadanya sidang paripurna DPR pada 16 Februari 2023 yang membahas PERPPU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengandung makna bahwa DPR menolak PERPPU Cipta Kerja, dan menurut konstitusi PERPPU tersebut harus dicabut sehingga tidak berlaku lagi ke depannya.Yang berlaku saat ini adalah semua UU awal , seperti sebelum ditetapkan UU Cipta Kerja maupun PERPPU Cipta Kerja.

Pendapat Anthony ini sejalan dengan pemikiran Prof. Denny Indrayana. Menurutnya dengan tidak adanya keputusan DPR atas PERPPU Cipta Kerja pada masa sidang III yang baru lalu mengandung makna bahwa PERPU Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan DPR dan karenanya harus dicabut melalui UU pencabutan PERPPU Cipta Kerja.

“Fakta bahwa Presiden Jokowi tidak mengajukan RUU Pencabutan Perpu Cipta Kerja, makin menegaskan adanya pelanggaran konstitusi yang berlanjut dan makin menunjukkan cara bernegara yang buruk tidak menghormati UUD 1945”, imbuhnya seperti dikutip media.

Munculnya pendapat yang bernuansa pro dan kontra sebagaimana dikemukakan diatas telah membuka ruang munculnya bayangan ketidakpastian aturan mengenai Cipta Kerja. Apalagi saat ini juga sedang berlangsung proses uji formil PERPU Cipta Kerja di MK sehingga potensi ketidakpastian menjadi semakin menganga.

Sampai dengan tahap ini publik masih bertanya tanya mengenai nasib PERPU Cipta Kerja, apakah masih berlaku sambil menunggu sidang paripurna DPR berikutnya lagi untuk menolak atau menyetujuinya atau sudah dinyatakan batal demi hukum karena DPR tidak mampu memenuhi syarat batas waktu yang telah ditetapkan oleh UU yang mengaturnya? Apakah dengan demikian secara otomatis UU Cipta Kerja sudah tamat riwayatnya? Bagaimana menurut pendapat Anda?

Pelajaran Berharga

Sebuah proses legislasi yang tidak taat azas dan prosedur serta di desain dengan tergesa gesa memang bisa menimbulkan masalah pada akhirnya. Seyogyanya ketika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, maka pembuat UU semestinya segera memutuskan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan prosedur normal dengan membuka ruang partisipasi publik seluas luasnya seperti diamanatkan oleh putusan MK. Terlebih, ruang waktu yang diberikan oleh MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dinilainya sangat cukup yaitu selama dua tahun lamanya.

Namun proses sebagaimana yang di perintahkan MK tersebut terkesan diabaikan dan Pemerintah justru menerbitkan PERPU Cipta Kerja yang berarti Pemerintah menutup ruang partisipasi publik yang seharusnya dibuka seluas luasnya. Ditambah lagi, langkah pemerintah bertentangan dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja, dan tak adanya prasyarat kegentingan memaksa sebagai dasar terbitnya PERPU yang dikeluarkannya.

Fenomena tersebut kian menambah kekecewaan publik dan menjadi dasar bermunculannya gugatan ke MK. Karena meskipun PERPU tersebut pada akhirnya nanti disetujui DPR menjadi UU melalui sidang paripurna , maka akan sangat terbuka potensi UU itu digugat kembali ke MK nantinya.

Maka, sudah selayaknya pembuat UU memetik pelajaran dari munculnya ketidakpuasan publik dan potensi ketidakpastian hukum dari kasus aturan Cipta Kerja. Karena sesungguhnya praktik ketatanegaraan di negara kita ini sudah diatur lengkap sedemikian rupa dalam konstitusi dan tafsir atas konstitusi yang tertuang dalam setumpuk ketentuan termasuk putusan MK.

Sebenarnya tidaklah rumit dan sulit untuk mengikutinya asalkan ada kemauan dan tekad yang kuat untuk melakoninya. Namun peraturan yang sudah ada dan tinggal menjalankannya saja itu menjadi rumit dan sulit karena diduga ada agenda terselubung dibaliknya.

Tentu saja adanya muatan kepentingan terselubung dalam proses pembuatan UU yang menguntungkan penguasa dan juga pengusaha (oligarki) ini bisa membahayakan bangunan hukum ketatanegaraan kita.

Sebagai anak bangsa, tentu kita berharap agar jangan sampai hak prerogative Presiden untuk mengeluar PERPU dijadikan peluang aji mumpung yang berujung pada praktek manipulasi hukum yang dilakukan oleh penguasa. Praktek hukum ketatanegaraan yang menyimpang itu nampaknya saat ini memang sudah menjadi pola yang dicoba untuk di “tradisikan” pengamalannya.

Seperti halnya instrument hukum PERPU yang terkesan di manfaatkan untuk kepentingan penguasa dan pengusaha (kaum oligarki) dengan mengabaikan kepentingan negara demokrasi, kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Apakah memang begitu faktualnya?


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال