Desmond J Mahesa Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Posisi kepala desa itu tak ubahnya seperti seorang “raja kecil” ditingkat Desa. Sementara seorang presiden boleh diibaratkan sebagai “raja besar” yang menjadi penguasa Indonesia. Kedua posisi baik kepala desa maupun presiden sama-sama pengemban amanah rakyat karena dipilih secara langsung oleh rakyatnya.
Akhir-akhir sang raja kecil maupun sang raja besar sama-sama mempunyai keinginan agar diperpanjang masa jabatannya.
Sang raja kecil menuntut langsung keinginannya lewat unjuk rasa sementara sang raja besar berjuang untuk memperpanjang masa jabatannya melalui orang-orang dekatnya atau orang kepercayannya. Tapi keduanya mempunyai kesamaan kepentingan yaitu ingin diperpanjang masa jabatannya.
Mengapa mereka itu ingin sekali memperpanjang masa jabatannya? Apa dampak negatif yang terjadi jika “sang raja” diperpanjang masa jabatannya?
Apakah tuntutan penambahan masa jabatan oleh “raja kecil” itu berkaitan dengan tuntutan perpanjangan masa jabatan “raja besar” yang diperjuangkan oleh orang orang dekatnya? Bagaimana seyogyanya rakyat sebagai pemilik kedaulatan menyikapinya?
Alasan perpanjangan
Para kepala desa itu meminta supaya Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 direvisi, sehingga masa jabatan Kepala Desa yang semula enam tahun bisa menjadi sembilan tahun lamanya. Maka, kalau bisa dua atau tiga periode, kepala desa bisa menduduki kursinya menjadi semakin lama.
Alasan para raja kecil itu meminta supaya diperpanjang jabatannya karena masa jabatan enam tahun yang ada sekarang dirasakan tidak cukup untuk membangun desa. Para kepala desa juga meminta Pilkades 2024 ditunda pelaksanannya agar tidak mengganggu pemilu 2024 yang sebentar lagi bakal tiba.
Menurut para raja kecil itu, bila masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun akan meminimalisir konflik akibat pemilihan Kepala Desa. Menurut para kepala desa itu, sering terjadi dimana konflik akibat Pilkades berlangsung lama dan butuh waktu yang lama pula untuk proses pemulihannya.
Seperti halnya sang raja kecil, sang raja besar juga sangat bernafsu untuk bisa diperpanjang masa jabatannya. Cuma sang raja besar ini tidak secara langsung menyatakan keinginannya. Ia lebih suka “menitipkan aspirasinya” melalui orang orang yang ada disekitarnya atau orang orang kepercayaannya.
Seperti halnya sang raja kecil, sang raja besar juga merasa perlu diperpanjang masa jabatannya dengan alasan alasan yang dikemukakanya. Diantaranya agar supaya keberlanjutan program pembangunan pascapandemi bisa berjalan optimal dibawah kendalinya.
Mengingat masih banyak program kerja yang belum bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Diantaranya karena terhambat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 2 tahun lamanya.
Jadi jangan sampai semua program itu terhenti hanya karena pergantian kepemimpinan nasional yang tidak sevisi dengan keinginan pemerintahan yang sekarang berkuasa.
Selain itu, dengan tetap berkuasanya pemerintah sekarang untuk periode berikutnya diharapkan proses pemulihan ekonomi nasional bisa berjalan maksimal tanpa harus terganggu oleh agenda pemilu nantinya.
Memang banyak alasan bisa dikemukakan untuk sang raja memperpanjang masa jabatannya. Alasan alasan yang dulu pernah dikemukakan oleh para pendahulu ketika ingin diperpanjang masa jabatannya, saat ini diulang kembali oleh penguasa yang punya syahwat untuk terus berkuasa.
Petahana memang cenderung tergoda untuk memperpanjang masa kekuasaannya. Di seluruh dunia, upaya-upaya serupa juga berlangsung dan biasanya diusulkan oleh kelompok mayoritas atau orang-orang di sekitar penguasa.
Keinginan petahana untuk memperpanjang masa kekuasaan ini muncul karena mereka memiliki sumber daya yang dikumpulkan selama menjabat, sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangkan pemilu berikutnya.
Dalam kaitan ini rakyat Indonesia pernah memiliki trauma kolektif kepemimpinan absolut kepala negara di masa Orde Lama dan Orde Baru (Orba) sebagai buntut syahwa pemimpinnya yang ingin terus berkuasa.
Presiden Sukarno pernah mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, sedangkan Soeharto memanfaatkan Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali” untuk periode berikutnya.
Karena tidak adanya batasan pada pasal ini, Soeharto terpilih hingga enam periode alias 32 tahun lamanya.
Wacana yang sama pernah muncul di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa.
Pada periode kedua, ketika ia berhasil membangun koalisi dengan mayoritas parlemen, usulan perpanjangan masa jabatan Presiden juga sempat mengemuka. Saat itu kader demokrat Ruhut Sitompul yang mengusulkannya.
Namun tidak sampai beberapa jam setelah Ruhut berwacana, Presiden SBY angkat bicara. Seakan menanggapi Ruhut, SBY menegaskan akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua, dan tidak akan berupaya memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi negara.
Pernyataan SBY tersebut sebenarnya tidak terlalu istimewa, siftatnya normatif belaka. Namun dari pernyataannya, SBY termasuk seorang pemimpin yang nampaknya tidak terlalu bernafsu untuk menduduki kursi kekuasaannya lebih lama dengan menyalahi ketentuan yang sudah ada.
Dampak negatif
Bill Gelfeld, professor Hubungan Internasional di Universidad San Francisco de Quito, Ecuador, dalam disertasinya yang berjudul “Preventing Deviations from Presidential Term Limits in Low and Middle Income Democracies”, menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana penyimpangan terhadap masa jabatan justru berdampak negative pada rakyat yang dipimpinnya.
Pada enam negara pecahan Soviet, yakni Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Rusia, dan Tajikistan, ia mencatat, misalnya, Pendapatan Domestik Bruto per kapita menurun dua tahun setelah presiden diperpanjang masa jabatannya.
Ia juga mencatat aspek hak politik mengalami kemunduran setelah empat tahun perpanjangan masa jabatan presiden dan aspek kebebasan sipil mengalami kemunduran setelah 5-10 tahun berkuasa.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, sekurang kurangnya ada lima bahaya manakala seseorang terlalu lama berkuasa menduduki jabatannya, yaitu:
Berpotensi menjadi otoriter
Otoriter adalah perilaku atau tingkah laku yang sewenang-wenang dalam berbuat, memutuskan ataupun menetapkan sesuatu dari orang yang berkuasa terhadap yang dikuasainya.
Pemimpin otoriter adalah pemimpin yang memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri dan menggunakannya sesuai dengan kehendak sendiri, tanpa bertanggung jawab kepada orang-orang atau kelompok yang dipimpinnya. Kekuasaan pemimpin otoriter biasanya didasarkan pada kekuasaan jabatan saja.
Dengan gaya kepimpinan otoriter, pemimpin memegang seluruh wewenang di tangannya dan menggunakannya sendiri tanpa melibatkan orang-orang yang dipimpinnya. Alhasil, pemimpin hanya memberi mereka sedikit kebebasan atau malah tidak memberi kebebasan sama sekali kepada yang dipimpinnya.
Dengan gaya kepemimpinan otoriter, pemimpin membuat keputusan sendiri dan menyuruh orang-orang yang dipimpinnya untuk melaksanakannya. Tanpa boleh membantah ataupun mengajukan saran, dan dalam tindakan maupun perbuatannya ia tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.
Pemimpin yang terlalu lama berkuasa sangat berpotensi untuk menjadi seorang pemimpin yang otoriter karena segala tindak tanduk dan kebijakannya dianggap benar dan kalau ada pihak yang mengkritik atau menentang kekuasaaanya akan disingkirkannya segera.
Menyalahgunakan Kekuasaan
Abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasinya.
Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan korupsi yang merugikan rakyat bangsa dan negara.
Semakin lama orang berkuasa maka akan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan yang diamantkan kepadanya. Karena lamanya berkuasa itu akan membuatnya ia merasa selalu benar dan merasa tidak ada lagi pihak lain yang bisa mengontrol dan mengingatkannya.
Akibatnya, pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas sesuai seleranya.
Macetnya regenerasi kepemimpinan
Semakin lama seseorang menempati posisi jabatan yang di dudukinya maka akan semakin mempersempit ruang untuk regenerasi kepempimpinan karena sama artinya dengan meniadakan kesempatan bagi generasi yang lebih muda untuk menggantikannya.
Macetnya regenegerasi kepempimpinan akan memunculkan hal buruk yaitu menurunnya kualitas kepempimpinan disebabkan ketidaksiapan untuk memimpin karena memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Ujung-ujungnya kalau ini terjadi maka rakyat juga yang dirugikannya
Dinilai bisa melanggengkan oligarki
Semakin lama seseorang pejabat negara berkuasa dikhawatirkan akan ikut melanggengkan oligarki dilingkaran kekuasaannya. Apalagi jika memang pemimpin yang berkuasa itu naik panggung kekuasaan berkat kaum oligarki yang menjadi penyokongnya.
Para oligarki ini tentu berkepentingan sekali agar pemimpin bonekanya tetap berkuasa demi untuk menjaga kepentingan bisnis dan jaringan politiknya. Mereka tentu tidak rela kalau pemimin bonekanya meninggalkan kursi kekuasaannya. Oleh karena itu mereka berkepentingan agar pemimpin bonekanya itu bisa berkuasa lebih lama.
Bisa Memunculkan Kultus Individu
Kultus individu, pemujaan kepribadian atau kultus pemimpin (bahasa Inggris: Cult of personality) muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur pemimpin yang dianggap ideal yang sering kali diiringi dengan pujian yang berlebihan kepada figur pemimpin yang dikaguminya.
Pemujaan kepribadian banyak ditemui dalam negara dengan sistem kediktatoran tetapi juga bisa terjadi di negara yang mengaku demokrasi dengan masa jabatan yang cukup lama.
Munculnya kultus individu biasanya datang dari orang orang yang ada disekitar penguasa. Karena kultus individu ini akhirnya mereka yang menjadi pendukung penguasa cenderung untuk memperjuangkan pemimpin yang dikaguminya agar bisa berkuasa kalau bisa selama-lamanya.
Tentu saja munculnya kultus individu ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di suatu negara karena menganggap tidak ada pihak lain yang mampu menggantikan posisi pemimpin yang dikultuskannya.
Demikianlah beberapa efek negatif yang bisa timbul manakala seorang pemimpin terlalu lama berkuasa dimana dampak negative akan lebih dominan daripada positifnya.
Itulah sebabnya dibanyak tempat diberbagai belahan dunia, pembatasan masa jabatan seorang pemimpin memiliki peran untuk menstabilkan politik dan memfasilitasi pembangunan demokrasi di suatu negara.
Singkatnya, praktik ini menawarkan penangkal untuk masalah yang mengarah pada otoritarianisme, penyalahgunaan wewenang, macetnya regenerasi kepemimpinan, potensi terjadi kultus individu dan sebagainya.
Apalagi banyak studi juga menyebutkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden sautu negara tidak berhubungan dengan kemajuan suatu negara.
Sebagai suatu sistem yang dinamis, demokrasi menggantungkan harapan pada aktor utama yaitu masyarakat sipil sebagai pemilik kedaultan yang sebenarnya.
Maka para aktor masyarakat sipil harus berperan mengamankan demokrasi melalui kontrol politik yang berkelanjutan, agar potensi penyelewengan demokrasi seperti upaya untuk terus memperpanjang masa jabatan seorang penguasa bisa dicegah terjadinya.
Simbiosis Mutualisma
Upaya untuk memperpanjang masa jabatan penguasa saat ini masih terus bergulir di Indonesia. Dilakukan oleh raja raja kecil yaitu para kepala desa dan raja besar , pemimpin negara. Bedanya, jika raja kecil memperjuangkan sendiri keinginannya tapi raja besar berjuang melalui orang orang disekitarnya atau orang kepercayaannya.
Perjuangan raja kecil maupun raja besar untuk diperpanjang masa jabatannya memang terasa aneh terdengar di telinga. Karena semestinya permintaan perpanjangan masa jabatan seorang penguasa itu harusnya datang dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Bukan berasal dari dari penguasa yang dipilih oleh rakyatnya.
Tetapi itulah yang terjadi faktualnya, mereka yang diberikan mandat untuk memimpin telah meminta sendiri supaya diperpanjang masa jabatannya dengan serangkaian alasan alasan yang dibuatnya. Meskipun alasan alasan itu terasa aneh juga kedengarannya.
Sebagai contoh alasan polarisasi adalah alasan yang justru antitesis jika dijawab dengan perpanjangan masa jabatan raja kecil/ kepala desa sebab Kepala Desa menjadi lebih dominan dan bisa terjebak dalam otoritarian skala mikro yang justru akan memperuncing polarisasi yang telah ada.
Apalagi jika kepala desa mempunyai kinerja buruk maka jika ada polarisasi, akan lebih terakumulasi dan menjadi bom waktu yang bisa menimbulkan kekacauan yang lebih besar pada akhirnya.
Sejauh ini para pengamat berpandangan bahwa upaya untuk perpanjangan masa jabatan raja kecil dan raja besar mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan karena ada unsur symbiosis mutualisme di dalamnya.
Awalnya dulu sekitar bulan maret 2022, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) itu berdemo meminta supaya Presiden diperpanjang masa jabatannya.
APDESI yang mencantumkan Menko Maritim Luhut Panjaitan sebagai pembinanya itu merasa perlu mendukung presiden tiga periode karena banyak aspirasi kepala desa yang dikabulkan oleh presidennya.
Dalam perjalanannya, meskipun wacana tiga periode mendapatkan support dari beberapa Menteri termasuk Ketua MPR dan DPD RI , namun tantangan dari masyarakat terhadap wacana itu begitu kuatnya sehingga agenda tiga periode berangsur angsur ikut mereda. Meskipun semakin mereda namun rupanya tidak padam sepenuhnya.
Upaya memperpanjang masa jabatan sang raja besar masih terus bergulir meskipun terkesan tidak terlalu mengemuka gerakannya. Kali ini gerakan itu muncul tidak secara langsung melainkan melalui manuver para kepala desa yang ingin diperpanjang masa jabatannya.
Nampaknya apa yang dilakukan oleh para kepala desa dengan meminta supaya diperpanjang jabatannya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agenda tiga periode yang menjadi kepentingan raja besarnya.
Skenario yang bakal terjadi sangat mungkin terlaksana, diawali dengan permintaan perpanjangan masa jabatan para kepala desa yang kemudian dikabulkan oleh pemegang kuasa.
Seperti diberitakan di media, Presiden sudah setuju Kepala Desa di perpanjang masa jabatannya. Setali tiga uang dengan Presiden, fraksi-fraksi di DPR juga sudah pula memberikan lampu hijaunya. Apalagi ada ancaman dari Kepala Desa yang konon akan menghabisi partai politik yang tidak mendukung aspirasinya.
Nantinya dengan adanya keputusan untuk perpanjangan masa jabatan para Kepala Desa, sebagai imbal baliknya raja besar bisa saja menagih kompensasinya. Masak kalau jabatan raja kecil saja diperpanjang, raja besar tidak mengikutinya, mestinya supaya adil harus menyesuaikan juga.
Untuk mewujudkan agenda perpanjangan masa jabatan sang raja besar memang agak sulit jalannya. Karena kalau raja kecil bisa diperpanjang masa jabatan dengan mengubah Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maka untuk mengubah masa jabatan sang raja besar harus mengamandemen Undang Undang Dasar 1945.
Tetapi meskipun sulit, tidak ada yang tidak mungkin untuk merealisasikannya. Dengan dukungan kuat dari Kepala Desa yang berunjuk rasa supaya presiden diperpanjang masa jabatannya (kompensasi atas perpanjangan masa jabatan kepala desa), bukan hal yang mustahil kalau nantinya MPR berkenan untuk bersidang guna mengamandemen UUD 19454 guna memenuhi tuntutan para kepala desa.
Soalnya gerakan gerakan para Kepala Desa itu disinyalir tidak berdiri sendiri melainkan ada yang mendalanginya.Logikanya untuk bisa datang ke Jakarta, para kepala desa itu membutuhkan biaya tidak sedikit jumlahnya.
Mulai biaya akomodasi, transportasi, konsumsi, uang saku dan yang lain lainnya. Siapa yang membiayai mereka yang datang dari hampir seluruh penjuru Nusantara ?, tentu saja ada bohirnya.
Kepentingan dari bohir yang mendalanginya nampaknya tidak jauh jauh dari kepentingan sang raja besar untuk supaya ikut diperpanjang masa jabatannya. Apalagi kalau ditelusuri siapa sebenarnya yang menjadi pembina daripada para kepala desa.
Bahu membahu untuk mewujudkan mimpi perpanjangan masa jabatan raja kecil dan raja besar nampaknya akan terus diupayakan sejalan dengan prinsip symbiosis mutualisma diantara keduanya.
Rakyat Menurut?
Jika kita melihat perkembangan konstelasi politik yang terjadi akhir akhi ini, nampaknya wacana untuk tiga periode atau penundaan pemilu demi memperpanjang masa jabatan sang raja kembali mendapatkan momentumnya. Apalagi setelah terbentuknya koalisi perubahan yang digawangi oleh partai Nasdem, Demokrat dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Seperti diketahui, koalisi perubahan telah mengusung Anies Baswedan sebagai calon presidennya. Dibandingkan dengan calon-calon presiden lainnya, koalisi perubahan ini dianggap yang paling terang terangan menjadi penantang kebijakan pemerintahan yang sekarang berkuasa karena tagar perubahan yang diusungnya.
Sementara calon-calon capres lainnya telah sepakat untuk meneruskan program program yang telah dirintis oleh pemerintah yang sekarang berkuasa.
Keberadaan koalisi perubahan yang mengusung Anies Baswedan akhir akhir ini memang terkesan semakin menguat sehingga “memaksa” Presiden Jokowi untuk memanggil Surya Paloh ( Ketua Umum Partai Nasdem) ke istana.
Pemanggilan ini bisa bisa dibaca sebagai bentuk kepanikan pihak istana atas calon presiden yang menjadi “rivalnya”.
Dengan semakin menguatkan gerakan koalisi perubahan untuk mengusung jagoan yang di usungnya tentu menjadi tantangan tersendiri bagi keberlanjutan program pembangunan yang saat ini sedang dicanangkan oleh penguasa.
Kalau dalam Pemilu 2024 nantinya yang terplih ternyata bukan dari kubu yang di usung oleh penguasa maka akan sangat riskan sekali tentunya. Karena program program yang ada seperti pindah ibukota akan mangkrak dengan sendirinya.
Hari hari ini sepertinya pemerintah yang berkuasa sekarang sedang menghitung peluang beberapa kemungkinan terkait dengan pelaksanaan pemilu 2024 yang sebentar lagi akan tiba.
Apakah di pemilu nanti jagoan yang di usung akan menang atau sebaliknya ?. Jika ternyata peluang menang sangat besar untuk diwujudkan maka kemungkinan pemilu akan tetap terlaksana tepat pada waktunya.
Tetapi kalau peluang menang itu ternyata tidak ada alias kecil kemungkinanannya (disebabkan menguatnya posisi calon yang di usung koalisi perubahan), maka kemungkinan akan diupayakan untuk pemilu bisa ditunda pelaksanaannya.
Kabarnya segala perangkat hukum yang diperlukan sebagai landasan untuk alasan supaya pemilu bisa ditunda agar sang raja bisa diperpanjang masa jabatannya sedang dipersiapkan oleh para “ahlinya”. Tanda tanda ke arah sana memang ada meskipun belum bisa dipastikan kebenarannya.
Sebagai contoh sampai saat ini belum dimulai tender untuk pengadaan logistik pemilu seperti kotak suara, surat suara dan lain lainnya. Pada hal pengadaan logisktik itu memerlukan waktu lama karena selain proses tender juga, pembuatan dan distribusinya ke seluruh pelosok Nusantara.
Selain itu dana penyelenggaraan pemilu kabarnya belum juga dikucurkan sesuai kebutuhan untuk operasioal lembagan penyelenggaranya. Selain personil penyelenggaran pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru diangkat sehingga perlu penyesuaian diri dengan jadwal penyelenggaraan pemilu yang sekarang sedang berjalan tahapannya.
Bukan hanya itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Pemilu yang semestinya harus segera di mintakan persetujuannya kepada DPR untuk menjadi Undang Undang belum kelar juga.
Sementara itu gugatan terhadap sistem pemilu apakah akan menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka yang saat ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) belum juga diputuskan segera.
Pada hal keputusan MK itu sangat dinantikan khususnya oleh para calon anggota Legislatif yang akan menjadi wakil rakyat mewakili daerah pemilihannya.
Apakah semua itu menjadi tanda tanda masih terbuka peluang penundaan pemilu untuk memberikan kesempatan bagi sang “raja besar” diperpanjang masa jabatannya?
Semuanya masih akan menjadi tanda tanya seiring dengan dinamika politik yang semakin memanas di tahun 2023.
Lagi pula kalau pemilunya benar-benar di tunda, apakah rakyat bakal bisa menerimanya?