Desmond J. Mahesa Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba saja Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) membuat keputusan yang menghebohkan jagad perpolitikan di Indonesia.
Salah satu keputusan yang menghebohkan itu adalah menghukum tergugat (dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum /KPU) untuk tidak melaksanakan tahapan Pemilihan Umum 2024 yang masih tersisa. Dengan kata lain PN Jakpus menghukum KPU untuk menunda Pemilu hingga Juli 2025.
Putusan tersebut ada di poin lima dari putusan PN Jakpus yang mengabulkan gugatan Partai Prima. “Menghukum Tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” demikian bunyi putusan yang diketok oleh ketua majelis T Oyong dengan anggota Bakri dan Dominggus Silaban itu, Kamis 2 Maret 2023.
Munculnya keputusan PN Jakpus terkait dengan pemilu ini semakin menambah daftar panjang upaya untuk menunda Pemilu 2024 yang sebelumnya sudah tercium gelagatnya. Jauh sebelumnya beberapa Menteri dan tokoh politik dikabinet yang sekarang berkuasa sudah menyampaikan pendapatnya agar pemilu ditunda.
Bahkan tokoh-tokoh politik yang menjadi pemimpin lembaga tinggi negara juga sudah menyatakan sikapnya seperti Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang mengatakan bahwa pemilu, dan pilpres 2024 perlu dipikirkan ulang pelaksanannya misalnya dengan menunda atau yang sejenisnya.
Sebelumnya Ketua DPD RI AA LaNyalla dalam sambutannya di Munas XVII HIPMI tanggal 21 November 2022 juga menyatakan hal yang sama. Ia mengusulkan penundaan pemilu dengan alasan karena dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo hanya dihabiskan untuk menangani pandemi virus corona.
Munculnya Keputusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU agar menghentikan tahapan pemilu yang tersisa tentu saja semakin menambah daftar panjang upaya untuk menunda pemilu yang sudah begitu getol diupayakan realisasinya oleh mereka yang mendalanginya.
Bagaimana sikap para pakar, pengamat dan tokoh politik menanggapi Keputusan PN Jakpus yang meminta supaya KPU tidak melanjutkan tahapan pemilu 2024 yang masih tersisa? Apakah Keputusan PN Jakpus terkait dengan penundaan Pemilu itu memang menjadi bagian dari skemario sang dalang untuk menunda pemilu demi melanggengkan kekuasaannya?
Pendapat Mereka
Pada Selasa 28 Februari 2023, Menko Polhukam Mahfud MD menampik isu bahwa Pemilu 2024 akan ditunda. "Pemerintah mempersiapkan Pemilu 2024 bersungguh-sungguh."
"Pemilu akan dilangsungkan berdasarkan kalender konstitusi, lima tahun sekali. Tak ada perpanjangan, tidak ada penundaan," kata Mahfud dan acara Cangkrukan Menko Polhukam yang ditayangkan di kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Selasa (28/2).
Tetapi berselang dua hari kemudian muncul keputusah dari PN Jakpus yang meminta KPU supaya menghentikan tahapan pemilu 2024 yang berarti pemilu ditunda pelaksanaannya. Fenomena ini tentu saja menimbulkan keresahan dan ketidakpastian pelaksanaan Pemilu 2024, apakah memang akan dilaksanakan tepat waktu atau akan ditunda.
Terbitnya keputusan PN Jakpus tersebut telah memunculkan tanggapan dari para ahli hukum, pengamat dan juga tokoh tokoh politik di Indonesia diantaranya pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, Majelis hakim Jakpus telah keliru membuat putusan dalam perkara ini. Sejatinya gugatan yang dilayangkan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.
“Inipun sebenarnya bukan materi gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH ) tetapi gugatan sengketa administrasi pemilu yang prosedurnya harus dilakukan di Bawaslu dan Pengadilan TUN (Tata Usaha Negara).
Pada hemat saya majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena Pengadilan Negeri tidak bewenang mengadili perkara tersebut”, begitu katanya seperti dikutip media.
Pendapat Yusril sejalan dengan pemikiran Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Denny Indrayana. Denny menilai PN Jakpus tak punya kompetensi untuk membuat keputusan yang memerintahkan KPU menghendikan tahapan pemilu yang masih tersisa.
“Tidak bisa pengadilan negeri tidak punya kompetensi untuk menunda pemilu. Putusan-putusan yang di luar yuridiksi seperti ini, adalah putusan yang tak punya dasar, dan karenanya tidak bisa dilaksanakan,” terang Denny seperti dikutip media, Kamis (2/3/2023).
Atas dasar itu, Denny menilai, putusan PN Jakpus tersebut harus ditolak adanya. “Putusan ini harus ditolak, dan harusnya dari awal tidak dikeluarkan,” pungkasnya.
Sementara itu Anggota Dewan Penasihat Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga turut menyoroti soal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang berisi penundaan pemilu ke 2025.
Menurutnya, pemilu setiap lima tahun sekali adalah perintah konstitusi sehingga putusan PN Jakpus jelas tidak bisa diterima karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
“Karena itu PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu sampai 2025 merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat Konstitusi negara. Isi putusan yang aneh, janggal, dan mencurigakan,” katanya seperti dikutip media.
Tanggapan lebih keras disampaikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri melalui melalui Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto. Dalam hal ini Megawati meminta kepada KPU agar tetap melanjutkan Pemilu 2024 sesuai dengan tahapan yang sudah ada.
"Ibu Megawati mengingatkan bahwa berpolitik itu harus menjunjung tinggi tata negara dan tata pemerintahan yang baik berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sekiranya ada persoalan terkait dengan undang-undang terhadap konstitusi ya ke MK, dan terkait sengketa Pemilu harus berpedoman UU Pemilu," ujar Hasto menirukan arahan Megawati, dalam keterangan tertulis, Kamis (2/3/2023).
Megawati juga mendukung langkah KPU yang akan melakukan banding terhadap keputusan PN Jakpus yang dinilainya mengada-ada.
Dari beberapa pendapat para pakar hukum, pengamat dan pelaku politik diatas rata rata memang menganggap ganjil dan aneh adanya keputusan PN Pusat yang meminta supaya KPU menghentikan tahapann pemilu yang tersisa.
Karena berdasarkan Undang Undang Pemilu, maka sengketa atas penetapan parpol peserta Pemilu, yang berwenang mengadili adalah Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Dalam konteks ini Komisioner KPU merupakan pejabat Tata Usaha Negara (TUN), karena itulah keputusan KPU sebagai pejabat TUN hanya dapat dibatalkan oleh PTUN juga.
Dengan sendirinya PN Jakpus sesunggunya tidak memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa penetapan Parpol peserta Pemilu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Lagi pula Putusan PN Jakarta Pusat juga tidak merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review terkait perpanjangan masa jabatan Presiden yang sudah terbit sebelumnya.
Skenario sang Dalang?
Menanggapi adanya keputusan PN Jakpus untuk penundaan pemilu, pihak terkait dalam hal ini KPU RI akhirnya menyatakan sikapnya. Ketua KPU Hasyim Asy`ari mengatakan, KPU akan mengajukan banding atas putusan tersebut. "KPU akan upaya hukum banding," ujar Hasyim kepada wartawan, Kamis (2/3/2023).
Sikap KPU untuk menyatakan banding tersebut nampaknya memang wajar dan sudah seharusnya. Pertimbangannya, KPU selama ini sudah capek-capek bekerja mempersiapkan segala sesuatunya dimana semua itu butuh waktu, pikiran, tenaga dan biaya.
Beberapa kegiatan dalam rangka persiapan pelaksanaan pemilu 2024 yang sudah dilaksanakan KPU diantaranya: pendaftaran partai politik peserta pemilu, penetapan partai politik peserta pemilu pada 14 Des 2022 , penyusunan dan penataan Dapil Pemilu DPRD Kabupaten/Kota sejak 10 Oktober 2022.
Selain itu, telah dimulainya pemutakhiran data pemilih dan pendaftaran pemilih ditandai dengan penyerahan DP4 oleh Pemerintah kepada KPU pada 14 Desember 2022, penyerahan dukungan bakal calon DPD peserta pemilu perseorangan pada 16-29 Desember 2022.
Sampai dengan akhir 2022 sudah tersedia 1 komponen penting Pemilu 2024. Yaitu 18 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh peserta Pemilu 2024.Demikian juga sudah dimulai proses pencalonan peserta Pemilu perseorangan bakal calon DPD. Yaitu penyerahan bukti dukungan sebagai syarat pencalonannya.
Penentuan Dapil dan alokasi kursi juga sudah dilakukan dan terakhir di tahun 2023, pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 masih berlanjut ditandai dengan beberapa kegiatan. Antara lain, penyerahan DIPA anggaran TA 2023 da sebagainya.
Oleh karena itu jika pada akhirnya nanti tahapan pemilu 2024 yang tersisa diminta untuk dihentikan pelaksanannya, apakah itu tidak mubazir namanya ?. Bagaimana dengan tenaga, pikiran dan anggaran yang telah dikeluarkan untuk mempersiapkan itu semua?
Belum lagi alasan-alasan fundamental lainnya karena penundaan pemilu akan mencederai semangat reformasi dan prinsip kedaulatan rakyat, melanggar konstitusi negara dan sebagainya.
Lagi pula penundaan Pemilu 2024 bukan hanya akan memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden semata, melainkan juga memperpanjang masa jabatan anggota parlemen, yakni DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seluruh Indonesia. Apakah tidak menimbulkan huru hara nantinya?
Oleh karena itu sikap KPU yang menyatakan banding atas adanya Keputusan PN Jakpus yang memintanya agar menghentikan tahapan Pemilu kelihatan sangat masuk akal bisa diterima nalar dan logika. Bahkan partai besar seperti PDI Perjuangan juga menyatakan dukungannya.
Tetapi sebenarnya jika upaya banding itu dilakukan oleh KPU, apakah ini tidak berarti suatu “jebatakan” untuk menciptakan situasi ketidakpastian terhadap penyelenggaraan tahapan pemilu itu sendiri yang sudah jelas jadwalnya? Karena dengan alasan adanya ketidakpastian hukum, KPU bisa saja tiarap dulu untuk tidak melanjutkan kegiatannya.
Dengan adanya sikap KPU untuk mengajukan banding atas keputusan PN Jakpus tersebut juga akan berarti Lembaga KPU telah ikut menari mengikuti genderang yang dimainkan oleh sang dalang dalam memainkan skenarionya.
Karena sudah dimaklumi kalau banding dilakukan maka proses sampai dengan inkraht memerlukan waktu yang tidak singkat tentunya.
Hal tersebut terjadi jika Pengadilan Tinggi misalnya menguatkan keputusan Pengadilan tingkat sebelumnya kemudian pihak terkait dalam hal ini kembali banding untuk keputusan yang dirasakan tidak menguntungkannya.
Proses panjang melalui pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai dengan Mahkamah Agung (MA) memerlukan waktu panjang, bisa berbulan bulan lamanya.
Belum lagi kalau kemudian keputusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraht) dan harus dilaksanakan diperlukan perangkat hukum lainnya untuk merealisasikannya seperti keputusan keputusan KPU dan sebagainya.
Dalam kondisi waktu yang sudah terbatas, menjelang hari pelaksanaan Pemilu, apakah kira kira KPU mampu mempersiapkan segela sesuatunya termasuk persiapan logistik, distribusi dan sebagainya.
Bisa saja nanti dengan alasan KPU tidak siap mempersiapkan segala sesuatunya menjadi alasan bahwa pemilu 2024 akan ditunda pelaksanaannya.
Kalau kemudian pemilu ditunda, maka Pemerintah tidak bisa disalahkan melainkan penyelenggara pemilu yang menjadi kambing hitamnya berawal dari adanya keputusan PN Jakpus sebagai biang keladinya.
Fenomena ini berpacu dengan ketidakpastian mengenai sistem pemilu yang saat ini sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat ini dengan masih belum adanya keputusan mengenai sistem pemilu apakah tertutup atau terbuka menjadi peluang juga untuk menciptakan adanya ketidakpastian penyelenggaraan pemilu pada 14 pebruari 2024 nantinya. Apakah keputusan itu memang sengaja ditunda tunda ketok palunya sampai dengan waktu pemilihan tiba?
Sebenarnya untuk mengakhiri kegaduhan yang ada sebagai akibat adanya keputusan PN Jakpus maka seyogyanya Keputusan PN Jakpus itu dianggap saja tidak ada. Karena Hakim PN tidak berwenang untuk mengadili dan memutuskan suatu perkara yang bukan ranah kewenangannya.
Mengutip pendapat dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Jimly yang menilai, hakim PN Jakus yang memutuskan penundaan pemilu sampai 2025 layak dipecat dari jabatannya. Sebab hakim tersebut tidak mengerti urusan hukum pemilu tapi berani ambil keputusan yang bukan kewenangannya.
"Hakimnya layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu serta tidak mampu membedakan urusan private (perdata) dengan urusan urusan publik," kata Jimly, Kamis (2/3/2023).
Dibalik itu semua kita semua sebagai warga bangsa memang harus tetap hati hati dan waspada. Karena saat ini diduga ada sekelompok orang atau golongan (aliansi penguasa dan pengusaha) yang sedang memainkan skenario liciknya untuk merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adanya keputusan yang terkesan aneh aneh menjelang pemilu 2024 itu telah memunculkan dugaan adanya grand design dari mereka yang menjadi dalangnya untuk menunda Pemilu 2024 demi kepentingannya.
Akhirnya berbagai cara dilakukan untuk meloloskan cita citanya: untuk bisa berkuasa lebih lama tanpa harus melalui proses demokrasi yang sudah terjadwal secara berkala.
Awalnya diperjuangkan untuk bisa menambah tiga periode, namun rupanya keinginan ini mendapatkan tantangan keras dari berbagai lapisan masyarakat sehingga semakin redup dengan sendirinya.
Kini yang sedang diperjuangkan nampaknya adalah menunda pemilu agar tetap berkuasa untuk “menyelesaikan” agenda politik yang masih belum terlaksana.
Kalaupun opsi kedua tersebut masih terjal juga jalannya,ada upaya ketiga yaitu mengusahakan agar jagoan penguasa di Pilpres mendatang bisa memenangi laga. Tapi kalau tanda tanda kemenangan itu tidak ada atau tipis peluangnya maka opsi kedua itulah yang harus bisa direalisasikan bagaimanapun caranya.
Apakah munculnya keputusan dari PN Jakpus yang meminta KPU agar menghentikan tahapan pemilu yang masih tersisa itu menjadi bagian dari upaya untuk melaksanakan skenario sang dalang untuk opsi keduanya?