Oleh : Desmond J. Mahesa Wakil Ketua Komisi III DPR RI |
BORNEOTREND.COM - Beberapa bulan belakangan ini, publik dihebohkan dengan adanya kabar pejabat negara yang mempuyai harta yang luar biasa banyaknya. Harta banyak ketahuan oleh masyarakat sebagian karena anggota keluarganya memang senang memamerkannya lewat media sosial. Publik menilai, harta mereka dinilai tidak wajar karena tidak sesuai dengan profilnya.
Diantara para pejabat tersebut adalah eks pejabat Dirjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, Kasubag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) Esha Rahmansah Abrar, hingga Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra.
Peristiwa pejabat publik yang memiliki harta kekayaan yang fantastis ini sesungguhnya bukan pertama kali. Sebelumnya ada beberapa pegawai dan pejabat publik yang terlibat kasus korupsi diketahui juga memiliki harta kekayaan yang cukup fantastis, seperti dalam kasus Gayus Tambunan, Neneng Hasanah, Romahurmuziy dan Zumi Zola.
Deretan nama tersebut di atas tentu hanya sebagian kecil dari segunung kasus lainnya yang belum terungkap ke publik karena kebetulan memang belum terkuak kasusnya. Tentu hal ini menimbulkan keresahan dan menjadi tanda tanya besar di kalangan masyarakat tentang dari mana asal usul harta kekayaannya karena pendapatan pejabat publik, jika dilihat dari logika gaji bulanan serta pendapat lain dari negara, tampaknya tidak akan bisa disetarakan dengan semua hasil kalkulasi harta atau kekayaan yang dimilikinya .
Dalam penghitungan sederhana, gaji, tunjangan, dan pendapatan yang diterima negara penyelenggara (pejabat negara/PNS) cenderung memberi nilai minus jika disubstitusikan ke semua harta atau kekayaan yang mereka miliki. Hal ini menimbulkan tuntutan bahwa harta atau kekayaan yang diterima diduga diduga dengan cara-cara yang tidak halal atau melawan ketentuan hukum yang ada.
Namun para pejabat negara yang memiliki harta melimpah itu saat ini bebas bebas saja menjalani kehidupannya. Mereka bebas melarang praktek hidup hedon atau pamer kekayaan tidak wajar yang dimiliki pada hal yang tidak sesuai dengan profil gajinya.
Di beberapa negara, pejabat negara yang memiliki kekayaan tidak wajar (illicit enrichment] dianggap sebagai tindak pidana dan dapat dikenakan sanksi hukum, seperti denda, penjara penjara, atau pengembalian harta yang tidak sah yang dimilikinya. Tujuannya adalah untuk mencegah korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya serta memastikan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh individu dan perusahaan didapatkan dengan cara yang sah dan adil sesuai dengan norma yang ada.
Tetapi mengapa para pejabat negara di Indonesia yang mempunyai kekayaan tidak wajar ini tidak dikejar untuk bisa di permasalahkan agar bisa dipidana?. Apakah karena pengaturan pidana terkait dengan kekayaan pejabat negara yang tidak wajar ini melanggar hak azasi manusia ?, Bagaimana potensi pengaturan kekayaan negara yang tidak wajar ini diatur dalam peraturan perundang-undangan undangan kita?
Instrumen Hukum Belum Memadai?
Adalah menjadi kewajiban Negara untuk melakukan upaya- upaya keras guna mengatur kekayaan yang tidak wajar (Illicit Enrichment) yang dimiliki oleh para pejabat Indonesia. Mengingat banyak pejabat publik yang memiliki kekayaan yang diluar logika pendapat sahnya dan diduga hasil kekayaan itu diperoleh dari sumber yang tidak seharusnya.
Tapi nyatanya Indonesia sejauh ini belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment) sebagai salah satu instrumen untuk memberantas korupsi yang kian merajalela.
Padahal, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) sudah mengaturnya. UNCAC telah merekomendasikan peningkatan kekayaan secara tidak wajar (illicit enrichment) merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 Konvensi tersebut.
Pasal ini mendorong negara-negara yang telah meratifikasi konvensi untuk mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan untuk menjadikan peningkatan kekayaan secara pidana tidak sah sebagai tindakan korupsi.
Selain itu, UNCAC juga mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa tindakan hukum yang diterapkan dalam hal peningkatan kekayaan secara tidak sah dapat memberikan hukuman yang efektif dan memadai.
Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCAC pada 6 November 2006.Dengan adanya ratifikasi UNCAC, Indonesia mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dan melakukan tindakan hukum yang diperlukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Hal ini termasuk mempidanakan peningkatan kekayaan secara tidak sah sebagai tindakan korupsi, serta memberikan hukuman yang memadai bagi pelakunya.
Namun nyatanya, UU Anti Korupsi yang ada saat ini walaupun katanya telah mengadopsi UNCAC akan tetapi tidak mengatur secara rinci tentang illicit enrichment, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian walaupun telah memiliki LKHPN, bahkan sudah punya data transaksi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga tidak berwenang untuk mengaktifkan pejabat publik yang dituduh menjadi Tersangka tindak pidana korupsi.
Akibatnya ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi mandul pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena menurut Pasal 3 Ayat (2) UU TPPU, pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila telah terjadi tindak pidana asal yang menjadi sumber uang yang dicucinya.
Sepanjang tahun 2019-2022, KPK hanya menindaklanjuti 411 kasus dari 1.635 LKHPN (Kompas Kamis 16 Maret 2023). Minimnya kasus yang dilanjutkan KPK dari LKHPN karena tidak memiliki instrumen hukum yang kuat membidik rekening gendut pejabat negara. UU Korupsi dan UU TPPU belum bisa menjaring secara efektif, padahal KPK sudah punya LKHPN bahkan sudah punya alur transaksi keuangan (PPATK).
Istilah yang sering kita saksikan, apa yang bisa dilakukan oleh KPK hanya sekedar memanggil pejabat yang membantu untuk pengaduan saja. Sedangkan tindakan untuk menetapkan jadi tersangka, masih membutuhkan prosedur yang panjang atau malah tidak sama sekali kelanjutannya.
Kondisi mandek tersebut telah membuat publik curiga dan bertanya tanya . Pada hal sudah jelas hartanya tidak wajar dan tidak sesuai dengan profile penghasilannya tetapi nyatanya masih bebas lisensi menikmati hartanya yang diduga berasal dari tindak pidana.
Keheranan dan tanda tanya masyarakat awam karena mereka tidak mengetahui bahwa sebetulnya aparat seringkali sudah bekerja keras untuk menjerat pelakunya. Dengan pemanggilan pejabat yang disangka mempunyai harta kekayaan tidak wajar, aparat berusaha mengejar tindak pidana korupsinya, misal pidana suap atau penyalah gunaan kewenangan yang dimilikinya.
Aparat telah berusaha untuk mencari minimal dua alat bukti, penyuapnya siapa, nilai suapnya berapa, dimana terjadinya, suapnya dalam konteks apa dan sebagainya. Semua itu dilakukan tentunya agar bisa menjadikan seseorang pejabat negara yang memiliki kekayaan tidak wajar untuk dijadikan tersangka.
Seringkali aparat yang keras tidak dapat dimengerti oleh rakyat awam pada umumnya. Mereka hanya melihat ada pejabat berfoya foya dan pamer kekayaan yang tidak sesuai dengan profil gajinya, tetapi tidak dijadikan tersangka. Mengapa ? Salah satu alasannya karena upaya aparat yang keras tidak didukung oleh instrumen hukum yang memadai untuk mengejar pejabat yang tidak wajar memiliki hartanya.
Karena ketiadaan pengaturan ini, maka seolah-olah bisa saja pejabat berharta banyak walau sumbernya patut dituduh, selama tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana.
Kendal HAM?
Salah satu alasan mengapa para pejabat negara yang memiliki harta tidak wajar tidak dikejar untuk dipermasalahkan eksistensinya adalah karena mengejar harta yang tidak wajar seperti itu berpotensi melanggar HAM (hak azasi manusia). Dalam hal ini memang ada dilema dimana satu sisi harta yang tidak wajar dimiliki seseorang pejabat negara itu berpotensi didapat dari tindakpidana sehingga harus diusut karena dianggap merugikan negara keuangan dan merugikan kepentingan rakyat pada umumnya, tetapi disisi lain menyoal hal hal seperti itu dianggap melanggar hak asasi manusia manusia.
HAM dan Pemberantasan Korupsi memang ibarat dua rel Negara Hukum guna mewujudkan demokrasi yang sehat bagi suatu negara. Keduanya sejalan harus sejalan untuk memastikan supremasi hukum bisa berjalan dan memperkuat demokrasi tanpa harus melanggar hak asasi manusia.
Memang kadang kala diantara keduanya saling mendekat dan hampir bersinggungan satu dengan yang lainnya. Peradilan terhadap harta tak wajar pejabat negara sebagai upaya pemberantasan korupsi tersungkur bersinggungan dengan standar HAM yang ada.
Hal ini disebabkan oleh metode pembuktian terbalik peradilan harta tak wajar menggunakan pembuktian terbalik yang secara langsung beririsan dengan asas pra duga tidak bersalah (praduga tidak bersalah) dan hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya sendiri (Non Self Incrimination).
Asas praduga tidak bersalah merupakan hak yang mendasar dalam perlindungan HAM. Suatu proses peradilan dianggap akan tercederai manakala tidak menerapkan asas praduga tidak bersalah dalam pelaksanannya.
Karena seseorang secara mendasar mempunyai hak untuk diperlakukan tidak bersalah di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat meyakinkan hakim disertai dengan bukti-bukti yang memadai bahwa ada kesalahan yang dituduhkan.
Hakim sejak awal tidak boleh memiliki praduga bersalah dan kewajiban pembuktian ada di tangan JPU dan apabila ada keraguan maka diambil keputusan yang menguntungkan yang merugikan. Berdasarkan itu, apakah penerapan atau pengusutan harta pejabat yang tidak wajar tersebut bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah?
Selain asas praduga tidak bersalah ada asas Non Self Incrimination yang memberikan hak kepada orang untuk tidak diperlakukan bersalah sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan dokrin rex judicata dan hak seseorang yang diduga melakukan tindak pidana untuk dinyatakan tidak bersalah dan dipaksa mengaku bersalah.
Asas non self incrimination ini berlaku secara universal, dimana seorangpun tidak dapat dipaksa atau diharuskan memberikan bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya dalam suatu perkara pidana. Dalam pemeriksaan, dilindungi hak untuk memberikan keterangan secara bebas termasuk yang menguntungkan dirinya sendiri.
Meskipun tidak secara khusus, di Indonesia hak Self incrimination ini juga sudah ada ketentuan yang mengaturnya. Hak ini diatur dalam Pasal 52, 66 KUHAP, 175 KUHAP dan Pasal 189 ayat (3) dan ditegaskan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 429 K/Pid/1995, Putusan Mahkamah Agung Nomor. 381 K/Pid/1995, Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1590 K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1592 K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung Nomor.1174 K/Pid/1994 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1706 K/Pid/1994.
Meskipun ada asas praduga tak bersalah dan asas tidak menyalahkan diri sendiri, namun dua asas ini seyogyanya tidak menjadi kendala untuk mengusut harta tak wajar yang dimiliki oleh seorang pejabat negara.
Karena secara teoritik asas praduga tidak bersalah tidaklah bersifat mutlak dan dapat disimpan apabila persyaratan penerapannya tidak bertentangan dengan prinsip umum lainnya dan bertujuan untuk kepentingan yang lebih luas untuk rakyat, bangsa dan negara.
Kita dapat mencari landasan hukum berdasarkan pendapat beberapa ahli dan menggunakan beberapa putusan pengadilan di luar negeri, Regional dan internasional saat terjadi upaya hukum pelaksanaan pembuktian terbalik sebagai hukum yang ada sebelumnya untuk mengusut harta secara wajar seorang pejabat negara.
Demikian juga halnya dengan penerapan asas Non Self Incrimination dapat dikesampingan karena tidak bersifat mutlak sifatnya. Meskipun demikian, upaya untuk pengusutan harta tidak wajar yang dimiliki oleh seorang pejabat negara harus memiliki landasan hukum yang kuat agar tidak melanggar hak asasi manusia.
Pengaturan Potensi
Saat ini Pemerintah memang tidak cukup hanya dengan meratifikasi illicit enrichment yang diatur dalam UNCAC saja. Diperlukan undang-undang yang lebih spesifik dan detail yang mengatur tentang peningkatan kekayaan pejabat negara. Hal ini bisa terwujud misalnya dengan cara merubah/merevisi UU Korupsi dengan menambah Bab baru yang mengatur bahwa illicit enrichment salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang merugikan negara.
Perlu diketahui, Undang Undang Korupsi yang ada saat ini tidak mengatur secara jelas dan tegas tentang peningkatan kekayaan secara tidak wajar seorang pejabat negara. Oleh karena itu diperlukan aturan setingkat undang-undang yang mengatur lebih spesifik terkait dengan peningkatan kekayaan secara tidak wajar pejabat publik, yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang batas-batas wajar peningkatan kekayaan, sumber-sumber pendapatan yang sah, dan kewajiban pelaporan harta kekayaannya.Selain itu itu dalam usulan norma pasal pengayaan gelap harus jelas definisi siapa subjek , objek, mekanisme proses pembuktian dan sanksi yang ingin diaturnya.
Perumusan delik dalam pengaturan illicit enrichment,akan lebih baik jika menggunakan delik formal karena akan lebih mudah pembuktiannya. Jika perumusannya menggunakan bahan delik, maka pembuktian akan lebih sulit karena harus dibuktikan akibat yang timbul dari perbuatan illicit enrichment, misalnya apakah ada kerugian negara?.Sementara itu, dalam Pasal 3 UNCAC, kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi tidak harus selalu dikaitkan dengan adanya kerugian negara.
Di samping itu, unsur-unsur dalam tindak pidana pengkayaan gelap harus jelas mengidentifikasi dan menggambarkan perbuatan pengkayaan gelap macam apa yang dilarangnya. Beberapa tujuan penghukuman dalam penerapan norma illicit enrichment, antara lain: memulihkan kerugian negara yang terjadi karena korupsi; menghukum pejabat yang melakukan; mencegah pejabat tersebut menikmati hasil kejahatannya; dan membuat yang bersangkutan tidak dapat lagi melakukan pelanggaran dengan cara memberhentikan atau memenjarakannya.
Realitas saat ini ada dua potensi untuk pengaturan harta kekayaan pejabat yang tidak wajar itu yaitu melalui revisi Undang Undang Tipikor atau memasukkannya ke dalam RUU Perampasan Aset yang saat ini sudah mulai bergulir pembahasannya di Komisi 3.
Di dalam rancangan RUU Perampasan Aset sendiri soal yang berkaitan dengan pungutan liar ini antara lain diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, dimana disebutkan bahwa aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara tidak sah dan diduga terkait dengan tindak pidana aset maka dapat dirampas asetnya.
Dalam kaitan dengan rumusan pasal di atas kiranya akan menjadi pembacaan menarik seputar pembuktiannya.Terkait dengan beban pembuktian ini maka dalam perspektif hukum pidana, pembuktian dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: beban pembuktian umum (pada Penuntut Umum), beban pembuktian terbalik (shifting beban pembuktian), dan beban pembuktian berimbang.
Dalam sistem hukum di Indonesia, pengaturan tentang beban pembuktian masih sangat konvensional dengan pendekatan legisme yang terkadang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi yang semakin menggurita.
Dalam peraturan acara pidana di Indonesia, masih terdapat ketidakjelasan perumusan norma pembalikan beban pembuktiannya. Di satu sisi beban pembuktian pada penuntut umum yang berdasarkan Pasal 66 KUHAP, yaitu: “terdakwa tidak mengenakan beban pembuktian”, dan Pasal 31 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “terdakwa memiliki hak untuk membuktikan dalam sidang pengadilan”, yang memberikan ruang pembuktian terbalik.
Penggunaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi masih terdapat kerumitan dalam hal pembuktian, seperti: harus dibuktikannya “upaya menyembunyikan asal-usul kekayaan”, yang diatur dalam UU TPPU dan sebagainya.
Hal ini biasanya dibuktikan dari tidak dilaporkannya uang atau kekayaan tertentu di LHKPN, pembelian aset atas nama orang lain dan kerjasama dengan notaris, atau transaksi melalui korporasi dengan menyamarkan sumber dana.
Akan menjadi masalah jika semua upaya menyamarkan itu tidak dilakukan, tetapi justru kekayaan signifikan pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam batas waktu tertentu yang dilaporkan meningkat secara signifikan tanpa dapat dipersalahkan dari mana asal usulnya.
Di titik inilah dibutuhkan sebuah norma khusus yang secara lex specialis dapat merampas kekayaan pejabat negara yang mengalami peningkatan signifikan akan tetapi tidak dapat dijelaskan dari mana asal usulnya. Apakah RUU Perampasan Aset yang dibahasa sekarang sudah mengakomodasinya? Termasuk potensi untuk merevisi UU Tipikor bisa mengakomodasinya?
Masalah lain yang penting dalam pengaturan illicit enrichment adalah political will yang kuat dari wilayah eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mewujudkannya. Tanpa dukungan politik tersebut akan sulit melepaskan dan melaksanakan norma tentang pengayaan terlarang ini apalagi kalau pembuat Undang Undang punya kepentingan didalamnya.