Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Pemilu kali ini pasti lebih ramai. Sebab perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial sudah tak terbendung, bagai air bah, membawa semuanya, tanpa bisa dipilah. Melahirkan apa yang oleh Karlina Supeli, seorang filsuf dan astronomi, disebut dengan budaya komentar. Tetiba, menjamur komentator.
Dia mengatakan, di media sosial semua orang berkomentar, seolah semuanya ahli, mendadak pakar, menyampaikan apa saja tanpa mampu menakar, termasuk soal politik. Hingga sulit membedakan mana pakta dan mana hoaks.
Lalu, dia memberikan tips sederhana untuk menangkalnya. Agar tidak jadi korban, kalau tidak mampu memilah dengan menganalisa secara mendalam dan akurat melalui metode yang terukur, cukup saring berdasarkan nalar. Apakah informasi yang disampaikan masuk akal, logis dan wajar. Bila berlebihan, lebay, tentu tertolak akal, maka tinggalkan, jangan dipercaya.
Seberapa pun banyaknya komentar terkait Pemilu dan politik, tetap gunakan nalar saat menerimanya. Kalau ada yang bernada seruan, himbauan dan sebagainya yang berlebihan, bahkan menyuruh memviralkan, curigai saja bahwa hal tersebut hoaks bahkan fitnah.
Memang tidak mudah, apalagi kecendrungan penyampai dan penerima pesan sudah “ragap papan”, membela mati-matian yang didukung. Narasi dipilah berdasarkan selera pilihan politik. Bila tidak sesuai selera, akan dieliminasi.
Harus diingat, narasi yang masuk akal, wajar dan logis, akan menjadikan Pemilu lebih cerdas. Sebaliknya bila narasinya penuh kebencian, fitnah dan stigmatisasi, “kaya lalat mancari kudis” maka Pemilu menjadi tidak bermutu, hanya surplus komentar. (nm)