Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Kalau pemilih cerdas, pasti money politics tidak laku, sebab perbuatan itu menghina, bahkan merendahkan martabat dan harga diri.
Pemilih yang cerdas, dimulai dari caleg yang cerdas pula. Caleg dan partai lah yang utama bertanggung jawab terhadap pencerdasan pemilih.
Bila caleg dan partai tidak mampu atau tidak mau melakukannya, jalan pintas itu adalah money politik. Diperparah lagi, ketika tidak ada skenario pemenangan – semuanya diserahkan kepada masih-masing caleg, layaknya tarung bebas, siapa kuat – dia menang. Pada saat itu money politics semakin fulgar – tanpa harga diri.
Tarung bebas pemenangan itulah yang menjadikan pemilu menghalalkan segala cara, tidak ada lagi martabat dan sopan santun dalam perebutan kekuasaan. Yang penting menang dulu, soal norma, nilai dan bahkan etika, urusan belakangan.
Padahal, demokrasi adalah proses pendewasaan berbangsa dan bernegara – agar semakin beradab. Untuk apa bangsa tanpa martabat – tanpa harga diri? Martabat bangsa, lahir dari adab, mustahil dibangun dari money politics.
Bukankah sering kita saksikan, sebesar apapun bangunan inprastruktur partai, bila tanpa martabat, pasti kropos, rapuh, mudah runtuh. Boleh dilihat, saat partai diterpa korupsi atau isu moral, seketika ambruk, tanpa bisa ditolong.
Bukan hanya partai, jabatan dan pangkat juga demikian. Setinggi apapun, bila sudah dinyatakan korup atau melanggar moral, tidak ada lagi kebanggaan dan harga diri. Mungkin jabatannya bisa diraih dengan money politik, tapi minus martabat dan harga diri. Lantas untuk apa jabatan tanpa harga diri?
Maka, mulailah membangun martabat dan harga diri tersebut dengan proses yang lebih mencerdaskan, yaitu pendidilkan politik terstruktur, bukan ajang tarung bebas – tanpa adab. (nm)