HARGA NAIK: Ilustrasi perumahan subsidi -Foto dok finance.detik.com |
BORNEOTREND.COM- Harga rumah subsidi akan segera naik. Kondisi ini harus segera disesuaikan mengingat harga bahan konstruksi yang terus naik.
Batas harga rumah subsidi yang tidak berubah dalam waktu 3,5 tahun terakhir membuat pengembang akhirnya banyak yang ogah membangun rumah subsidi. Padahal permintaan akan segmen hunian ini masih sangat besar.
"Dengan biaya bangunnya tinggi sedangkan mereka di patok (harga maksimal), jadi kalau kita bicara margin semakin lama semakin menipis untuk pengembang. Jadi kalau kita bicara bisnis, ya inilah yang saya bilang fundamental perumahan kita belum bagus," kata pengamat properti sekaligus CEOIndonesia Property Watch, Ali Tranghanda, dalam acara d'Mentor detikcom, Kamis (22/6/2023).
"Itu yang membuat banyak pengembang yang tidak tertarik bangun rumah subsidi, mereka beralih ke rumah komersial, di atas subsidi, misalnya di Rp 180-190-200 juta itu lebih menarik dengan mereka," sambungnya.
Penyesuaian harga rumah subsidi menjadi angin segar yang telah dinanti-nantikan oleh para pengembang setelah harganya stagnan selama lebih dari 3,5 tahun.
Berdasarkan data Indonesia Property Watch terjadi peralihan, sekitar 80% pengembang rumah subsidi telah beralih ke rumah komersil. Hal ini lantaran margin dari para pengembang rumah subsidi semakin menipis.
Menurutnya, dukungan pemerintah sangat diperlukan dalam pengembangan rumah subsidi di tanah air. Pasalnya, sistem pengembangan pembangunan rumah di Tanah Air jauh berbeda dari public housing di luar negeri yang secara penuh dipegang pemerintah tanpa mengandalkan swasta.
"Secara business common ini mesti masuk akal juga, pemerintah harus melihat juga dari segi bisnis. Pemerintah dibantu swasta tapi jangan sampai menekan swasta juga karena pada akhirnya kalau ditekan juga, pebisnis nggak mau, mereka akan tinggalkan rumah subsidi ini," kata Ali.
Ali sendiri menyambut baik penyesuaian harga baru ini. Namun demikian, ia menilai, pemerintah terbilang cukup terlambat mengingat aturan terakhirnya terbit sekitar pada 2019 silam.
"Memang kita mesti akui pemerintah agak terlambat menaikkan. Yang saya tahu Kementerian PUPR sudah cukup lama mengajukan, cuma memang Kementerian Keuangannya agak lambat. Kalau saya bilang tenaga hambat. Artinya memang tertunda hampir 3,5-4 tahun," ujarnya.
Ali mengatakan, jauh sebelumnya, harga rumah subsidi rutin mengalami penyesuaian sekitar 5% per tahun. Lalu setelah ada beberapa kendala, kenaikannya pun menjadi tidak sesuai hingga akhirnya penyesuaian terakhirnya pada tahun 2019.
"Nah kini sudah 3,5 tahun kalau kita bicara 5% per tahun, kan sudah 20%. Minimal 15% gitu kan. Tapi kan saat ini kenaikannya berkisar di 6-7% kalau tidak salah. Artinya memang ini mesti naik," jelasnya.
Sebagai tambahan informasi, kenaikan harga ini dipastikan menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023. Sebagai tindak lanjutnya, akan segera diterbitkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) yang akan menandai pemberlakuan harga baru ini.
Melalui beleid baru ini, besaran harga rumah subsidi ditaksir naik sekitar 8%, dari kisaran awalnya Rp 150,5-219 juta menjadi Rp 162-234 juta untuk 2023. Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menyiapkan kenaikan batas harga untuk 2024 mendatang menjadi kisaran Rp 166-240 juta.
Sumber: finance.detik.com