Oleh: Desmond J Mahesa Wakil Ketua Komisi III DPR RI |
BORNEOTREND.COM - Seorang presiden yang sedang menduduki jabatannya sangat wajar kalau ia begitu berkuasa. Karena hampir seluruh aparat negara dan birokrasi pemerintahan akan berada dibawah kendalinya. Ia adalah panglima tertinggi Angkatan Laut, Angkatan Darat dan Angkatan Udara.
Tetapi begitu sang presiden lengser dari jabatannya maka akan hilang pulalah kekuasaan dan pengaruhnya. Ia akan kembali menjadi orang biasa yang tidak lagi dipuja puja seperti halnya ketika ia masih berkuasa.
Tetapi di Indonesia ini ternyata ada seorang mantan presiden yang masih begitu digdaya meskipun sudah hilang jabatannya. Keperkasaan sang mantan presiden dibuktikan dengan kemampuannya untuk melakukan “kudeta halus” terhadap presiden yang sekarang berkuasa. Sebuah proses kudeta senyap yang mungkin tidak disadari oleh seorang presiden yang embat kekuasaannya.
Seperti apa wujud kudeta yang dilakukan oleh sang mantan presiden terhadap kekuasaan presiden yang sedang menduduki jabatannya? Mengapa proses “kudeta” itu berlangsung aman aman saja dan dianggap biasa saja pada hal bertentangan dengan hukum dan etika bernegara? Apa dampak dari adanya proses kudeta kekuasaan ini bagi sejarah perjalanan bangsa ke depannya?
Kudeta Halus?
Dari Wikipedia Indonesia, kudeta halus, terkadang disebut juga sebagai kudeta diam-diam, atau kudeta tanpa kekerasan, namun berdasarkan pada konspirasi atau rencana yang memiliki tujuan merebut kekuasaan negara secara ilegal dalam rangka menunjang pertukaran kepemimpinan politik dan tatanan kelembagaan yang sudah ada. Kudeta halus dalam pengertian pada tulisan ini adalah merebut sebagian dari kekuasaan negara secara diam diam karena merasa masih berkuasa.
Bersandar pada pengertian kudeta sebagaimana yang disebut diatas, akhir akhir ini telah terjadi dalam praktek di dunia perpolitikan di Indonesia. Paling tidak hal itu bisa di tangkap dari viralnya sebuah surat yang berisi arahan resmi dari Megawati Soekarno Putri presiden kelima Indonesia.
Arahan tersebut tersirat dalam undangan yang diteken Gubernur Bali Wayan Koster pada 27 Mei 2023 kepada seluruh wali kota dan bupati di Pulau Dewata. Surat itu berisi undangan menghadiri rapat koordinasi di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Denpasar, Rabu (31/5/2023).
Rapat tersebut membahas maraknya perilaku tidak pantas hingga pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan wisatawan mancanegara di pulau dewata. Memperhatikan arahan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Prof. Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri, berkenaan dengan maraknya perilaku wisatawan mancanegara di Bali, yang tidak pantas, tidak sopan, dan berbicara kasar, serta melakukan aktivitas usaha, dan melakukan pelanggaran peraturan perundang undangan, yang berdampak merusak nama baik dan citra pariwisata pulau dewata.
“Sehubungan dengan hal tersebut, Saya mengundang Saudara untuk hadir tanpa mewakili acara rapat koordinasi yang dilaksanakan pada hari Rabu (Buda Pahing. Landep), 31 Mei 2023, pukul 11.00 WITA, di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Renon, Denpasar,” demikian isi suratnya.
“Khusus kepada Walikota/Bupati se-Bali, Saya perlu menyampaskan bahwa Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Prof. Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri menegaskan Saudara wajib untuk hadir tanpa mewakilkannya. Saya diperintahkan untuk melaporkan bagi Saudara yang tidak hadir kepada Beliau, sebagai bentuk perhatian serius Beliau terhadap berbagai perilaku wisatawan mancanegara yang mencoreng nama baik pariwisata di pulau dewata“.
Di penutup surat ditandatangani oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan tembusan disampaikan kepada Megawati Soekarnoputri Presiden kelima Indonesia. Seperti diketahui saat ini Megawati merupakan Ketua Umum PDIP, sedangkan Koster adalah Ketua DPD PDIP Bali yang juga menjadi pejabat publik sebagai Gubernur diwilayahnya.
Tentu saja surat dari Gubernur Bali ke Bupati dan Walikota di seluruh pulau dewata itu menimbulkan tanda tanya. Tentang apa kapasitas seorang Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Indonesia “memerintah” Gubernur Bali meskipun berasal dari partai yang sama. Apalagi Megawati meminta Gubernur untuk memberikan “catatan khusus” bagi Bupati/ Walikota yang tidak hadir dalam rapat yang digelarnya. Apakah semua Bupati / Walikota di pulau Bali itu berasal dari PDIP semua?
Kalaupun iya, apakah ada wewenang untuk melakukannya?
Terlihat sekali aroma pencampuradukkan antara fungsi pemeritahan dan fungsi kepartaian sehingga membuat sulit untuk menarik batas batasnya. Apakah acara itu merupakan acara internal partai atau acara pemerintahan karena menggunakan sarana pemerintahan untuk menggerakkannya.
Tak terbayangkan apa jadinya kalau ada Gubernur lain yang mengeluarkan surat seperti yang dibuat oleh Gubernur Bali tersebut atas arahan dari Presiden masa lalu yaitu Ibu Megawati presiden kelima Indonesia. Karena akan muncul tanda tanya, bagaimana dengan status presiden terpilih yang sekarang berkuasa ?. Apakah keberadaannya tidak dianggap sehingga sah sah saja untuk diabaikan fungsi dan kewenangannya?
Apa yang terjadi dengan adanya peristiwa “surat sakti” Gubernur Bali ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai upaya kudeta halus terhadap sebagian kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah yang sekarang berkuasa. Karena kewenangan memerintah pejabat publik seperti Gubernur itu sebenarya ada di tangan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sebagai kepanjangan tangannya. Kalau kemudian kewenangan ini diambil alih oleh seorang presiden masa lalu tanpa adanya protes atau komplain dari yang punya kuasa kira kira apa yang menjadi penyebabnya?
Dampak Kudeta Halus
Kudeta halus seperti yang terjadi pada Gubernur Bali itu bisa saja terjadi pada wilayah lain di seluruh Indonesia namun tidak terendus karena kebetulan tidak ada dokumen formal seperti surat yang menjadi petunjuknya. Namun secara lisan bisa saja dan sangat mungkin terjadi dalam praktek ketatanegaraan kita.
Awal pangkal dari terjadinya fenomena tersebut karena elit partai politik telah gagal memahami status kader partainya yang berkecimpung di ranah publik sehingga masih merasa mempunyai otoritas penuh untuk terus mengintervensinya. Salah satunya karena kader partai yang masuk jabatan publik dianggap sebagai petugas partai yang harus tunduk dan patuh pada titah elit politik yang menjadi pimpinannya.
Sesungguhnya istilah petugas partai itu sendiri seperti dua sisi mata uang logam yang mempunyai makna ganda. Karena orang bisa menilainya secara positif tapi bisa juga negative tergantung dari sudut mana memandangnya.
Dalam pengertian positif petugas partai dapat diartikan sebagai sebuah identitas seorang kader partai yang mengemban tugas melaksanakan core perjuangan dan nilai-nilai partai politik yang menaunginya.Dalam posisi ini, selama partai politik tersebut memiliki serangkaian prinsip dan kebijakan yang jelas seperti pro kepentingan rakyat, maka istilah petugas partai adalah hal yang baik karena kader yang bersangkutan berarti menjalankan misi partai untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Namun dalam pengertian yang negatif petugas partai dimaknai sebagai seorang petugas yang hanya `nurut` tunduk dan patuh pada kehendak partainya saja. Padahal ia sedang mengemban jabatan publik yang seharusnya bertanggung jawab kepada seluruh rakyat yang telah memilihnya.
Namun kenyataannya, dalam tataran praktis istilah petugas partai nampaknya lebih dekat dengan pengertian negatifnya dimana kader partai ketika menduduki jabatan publik tetap dikendalikan oleh elit partai yang menaunginya. Sehingga sang petugas partai akhirnya lebih tunduk dan patuh pada rambu rambu partainya ketimbang berhikmat untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Pada hal idealnya seorang kader partai yang telah menduduki jabatan publik sudah seharusnya untuk bersedia menanggalkan kepentingan partai dimana ia berasal dan berganti untuk mengabdi kepada kepentingan bersama seluruh warga bangsa.
Disisi lain elit partai politik harus mau legowo untuk merelakan kadernya mengabdikan diriya pada kepentingan rakyat secara keseluruhan dan mengesampingkan kepentingan partai karena kader yang masuk menjadi pejabat publik itu istilahnya sudah diwakafkan oleh partainya untuk mengabdi pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Harapan untuk mewujudkan cita cita seperti digambarkan diatas nampaknya masih menjadi utopia. Karena kader partai yang menjadi pejabat publik seringkali dimanfaatkan oleh partainya untuk misalnya mencari dana partai lewat proyek proyek pemerintah yang dikelolanya.
Ternyata makna petugas partai dalam pengertian negative tersebut tidak hanya di ranah eksekutif semata tetapi juga ada diranah legislative dan mungkin yudikatif juga. Di ranah legislative tergambar misalnya dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR RI bersama Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD mengenai kontroversi aliran dana mencurigakan 349 Triliun di kementerian keuangan (29/3/2023).
Dalam rapat tersebut Mahfud MD sempat menagih janji para wakil rakyat tersebut mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang terus tertunda pembahasannya.
Saat itu Bambang Waluyo alias Bambang Pacul yang menjadi pimpinan rapat secara terang-terangan mengaku tak berani mengesahkan RUU tersebut jika tak diperintah oleh ketua umum partainya.Ia juga berseloroh bahwa semua anggota DPR pasti setuju dengan pernyataannya bahwa tidak akan ada yang berani mengambil kebijakan jika ketua partai masing-masing tidak memerintahnya.
Harus diakui, meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak sebagian anggota DPR mengalami pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya. Mereka juga akhirnya juga lebih menjalankan fungsinya sebagai petugas partai ketimbang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bansa dan negara.
Seperti yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu pada umumnya dikendalikan oleh ketua umumnya. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar.”Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya,” kata mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini seperti dikutip media 07/10/20.
Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol yang menjadi kendaraan politiknya. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya,” ungkapnya.
Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.
Sampai disini tentunya kita bisa memahami bahwa ternyata kudeta halus itu tidak hanya terjadi dilingkungan eksekutif semata tetapi juga terjadi dilingkungan legislatif bahkan dilingkungan yudikatif juga.
Akhir-akhir ini dengan adanya keputusan yang aneh aneh oleh Lembaga yudikatif seperti MK (Mahkamah Konstitusi) atau MA (Mahkaman Agung) menjadi indikator bahwa Lembaga Lembaga itu nampaknya juga sudah terkontaminasi alias tidak sepenuhnya sterill dari intervensi pihak pihak diluar lembaganya. Mereka hakekatnya petugas partai juga tapi entah dari partai yang mana.
Ketika kekuasaan kader partai yang memiliki jabatan publik itu dikudeta oleh elit partainya maka menjadi punahlah fungsi dan kewenangan yang dimilikinya. Ia kemudian tak ubahnya sosok boneka yang dikendalikan sehingga tidak mempunyai kekuatan apa apa. Kebijakan kebijakan yang diambil tentu saja menyesuaikan dengan petunjuk dari kekuatan yang telah mengkudetanya.
Kalau sudah begini maka yang paling dirugikan tentunya adalah kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Kedaulatan rakyat menjadi tergadai ditangan seorang pejabat publik yang ternyata tidak lebih dari sosok boneka pengendalinya. Semakin banyak kader partai yang menjadi sosok boneka maka akan semakin menjauhkan bangsa ini dari tujuan berdirinya negara yaitu keamanan, keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh warga bangsa.
Bangunan sistem ketatanegaraan juga akan menjadi rusak karena intervensi kekuasaan dari pihak pihak terselubung yang secara formal sebenarnya tidak mempunyai kewenangan untuk melakukannya.
Petugas Partai vs Petugas Rakyat
Harus diakui bahwa semua kader partai yang ingin menduduki posisi jabatan publik seperti sebagai kepala daerah, anggota DPR atau DPRD bahkan Presiden haruslah mendapat restu dari partainya. Sehingga wajar kalau kemudian muncul istilah petugas partai untuk mengidentifikasi status mereka.
Namun patut pula disadari bahwa ketika seorang warga negara direkrut menjadi pejabat publik lewat partai politik tertentu maka secara sadar warga negara tersebut sesungguhnya telah mengikatkan dirinya dalam komitmen perjuangan demi kepentingan bangsa dan negara melalui garis, asas, ciri, dan cita-cita yang telah dibangun partai politik sesuai ketentuan Pasal 9 UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Jadi meskipun ketika dicalonkan menjadi pejabat publik calon yang bersangkutan berasal dari partai politik sehingga disebut sebagai petugas partai,namun setelah ia terpilih menjadi pejabat publik maka seyogyanya ia tidak lagi berperan sebagai petugas partai karena dalam menjalankan pemerintahan atau kekuasaannya wajib melayani seluruh rakyat tanpa kecuali, baik yang memilih maupun yang tidak memilihnya.
Saat ini ditengah kondisi dimana masyarakat cenderung memaknai istilah "petugas partai" dalam pengertian negatif alangkah eloknya kalau istilah petugas partai itu diganti saja menjadi petugas rakyat (rakyat jelata). Paling tidak penggunaan istilah ini untuk memberikan penekanan kepada elit politik yang telah mengantarkan kadernya menduduki jabatan publik supaya tidak sewenang lagi “mengatur-atur“ kadernya.
Karena kader partai yang telah menjadi pejabat publik itu hakekatnya sudah milik bersama rakyat sehingga kader yang bersangkutan harusnya lebih berhikmat untuk mengabdi kepad rakyat, bangsa dan negara bukan kepada partainya semata. Karena sudah sewarnya kalau loyalitas yang sifatnya negative kepada partai itu berhenti ketika jabatan publik telah disandangnya.
Semestinya pula partai politik sebagai pilar demokrasi menegakkan kedaulatan rakyat dengan tidak lagi merecoki kadernya jika seorang kader partai yang telah dipercaya rakyat menjadi pejabat publik seperti seorang Presiden misalnya.
Manakala pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas tidak ada atau tidak menjiwainya maka akan dengan gampang seorang elite partai politik selalu cawe cawe “mengkudeta” kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh kader partai yang ada dibawah kepemimpinannya.
Barangkali kasus “surat sakti” yang berisi arahan Presiden kelima Indonesia kepada Gubernur Bali itu adalah salah satu contohnya. Sebuah fenomena yang sangat baik untuk menggambarkan bagaimana elite partai memperlakukan petugas partainya.Niscaya kalau praktek praktek seperti itu selalu dilakukan dalam menjalankan sistem ketatanegaraan kita maka akan mempercepat proses terjadinya kekacauan dalam penyelenggaran pemerintahan di Indonesia.
Penulis: Desmon J Mahesa (Wakil Ketua Komisi III DPR RI)