RESOLUSI KONFLIK: Prabowo menyampaikan empat usulan terkait gagasan resolusi konflik Rusia-Ukraina -Foto dok nasional.sindonews.com |
BORNEOTREND.COM- Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyita perhatian dunia. Realitas ini terjadi sebagai dampak yang dilemparkannya, yakni terkait gagasan resolusi konflik yang disampaikannya saat menjadi pembicara forum Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) Shangri-La Dialogue 2023 yang digelar di Singapura beberapa waktu lalu.
Dalam proposalnya, Prabowo menyampaikan empat usulan, yakni gencatan senjata, penarikan mundur pasukan kedua belah pihak sejauh 15 kilometer untuk menciptakan zona demiliterisasi (demilitarization zone/DMZ), pengerahan pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) atau United Nation (UN) Peacekeeping Force, dan penyelenggaraan referendum yang dilakukan PBB. Prabowo berharap usulannya didukung semua negara dan memastikan Indonesia akan menjadi negara pertama bergabung dalam pasukan penjaga perdamaian PBB.
Proposal Prabowo kontan menuai pro-kontra. Melalui pernyataan resmi Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina Oleg Nikolenko, Ukrania menyatakan menyambut positif setiap usaha perdamaian, namun menilai usulan tersebut seperti menarik kesimpulan dari sejarahnya sendiri. Nikolenko bersikukuh Rusia harus mundur dari wilayah Ukraina, dan Ukraina berhak mengembalikan integritas wilayahnya sesuai perbatasan yang diakui internasional. ‘’Tidak ada skenario alternatif," ujar Nikolenko.
Adapun Rusia menyambut baik upaya negara mana pun yang bertujuan mencari solusi damai. Hanya saja, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko kepada kantor berita TASS mengaku sejauh ini pihaknya tidak memiliki informasi resmi mengenai proposal Prabowo dimaksud. Kendati demikian Andrey Rudenko telah mendengar dari laporan media. Sedangkan di Jakarta, pada Senin (5/6/2023), Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Harmianin dan Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva secara bergantian menyambangi Kementerian Pertahanan RI untuk melakukan pertemuan tertutup dengan Prabowo.
Presiden RI Joko Widodo juga merespons gagasan Prabowo tersebut. Mantan Wali Kota Solo itu mengaku akan memanggil mantan Panglima Kostrad itu agar mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai usulan resolusi konflik Rusia-Ukraina. Namun Jokowi menegaskan, usulan yang disampaikan dalam forum IISS Shangri-La Dialogue 2023 di Singapura merupakan proposal individu Prabowo dan tidak atas nama Pemerintah Indonesia.
Untuk diketahui, Shangri-La Dialogue adalah konferensi keamanan antar-pemerintah yang digelar setiap tahun sejak 2002 di Singapura dan diinisiasi sebuah wadah pemikir independen, Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS). Dialog tersebut biasanya dihadiri menteri pertahanan, kepala tetap kementerian, dan kepala militer dari sebagian besar negara Asia-Pasifik. Walaupun pertemuan antar-pemerintah, KTT ini juga dihadiri oleh para legislator, pakar akademik, jurnalis terkemuka, dan delegasi bisnis.
Selaras Kepentingan Nasional
Di level domestik, apa yang disampaikan Prabowo juga memicu kontroversi. Pihak kontra, misalnya, menilai langkah tersebut offside alias keblinger, karena menilai proposal itu masih mentah dan belum dikomunikasikan dengan pihak terkait, termasuk Presiden Jokowi dan Menlu Retno Marsudi. Namun jika diamati seksama, pihak yang mengkritisi Prabowo cenderung bertendensi pertarungan kepentingan politik menuju pemilihan presiden.
Sejatinya, proposal Prabowo untuk menyelesaikan perang Rusia-Ukrania bukanlah kali pertama ditawarkan. Bahkan, Presiden Jokowi di awal konflik pernah terbang langsung ke kedua negara untuk bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Walaupun tidak secara langsung membawa proposal perdamaian, upaya itu membawa pesan penting agar kedua negara melakukan perdamaian demi menjaga keamanan pangan dan energi.
Sejumlah negara juga sudah melakukan upaya sama, seperti dilakukan Prancis dan Turki. Untuk Turki, kedua negara berkonflik bahkan sudah melakukan beberapa kali pertemuan, terakhir digelar di Istanbul, Turki, 28-30 Maret. Proposal perdamaian juga disampaikan China pada akhir Februari lalu. Namun semua proposal mental begitu saja, karena hingga hari ini kedua negara belum juga menunjukkan gelagat mengurangi ekskalasi perang.
Langkah yang pernah ditunjukkan Presiden Jokowi, dan kemudian dengan pendekatan lain dilakukan Prabowo, walaupun banyak ditanggapi skeptis kalangan domestik, merupakan bagian amanat konstitusi untuk melaksanakan ketertiban dunia. Sikap pro-aktif tersebut bukan kali ini saja ditunjukkan Indonesia, tapi juga dalam berbagai konflik lainnya di penjuru dunia, termasuk ditunjukkan dengan mengirimkan pasukan pemeliharaan perdamaian dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Walaupun Presiden Jokowi belum merespons karena terlebih dulu menunggu bertemu langsung dengan Prabowo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengajak semua pihak melihat usulan resolusi konflik Rusia-Ukraina dari Prabowo dari perspektif positif. Dia meyakini usulan Prabowo masih berpegang teguh pada kebijakan Presiden Jokowi.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR (5/6/2023), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan bahwa posisi Indonesia tidak berubah, yaitu menghormati teritorial, integritas, dan kedaulatan negara lain. Indonesia juga senantiasa mendorong penghentian perang. Sikap tersebut tercermin saat Presiden Jokowi berkunjung ke Ukraina dan Rusia pada 2022 lalu dan kembali disampaikan saat bertemu Presiden Volodymyr Zelensky di sela-sela konferensi tingkat tinggi (KTT) G7 di Hiroshima, Jepang, pada Mei.
Retno juga membeberkan sudah ada sejumlah proposal damai menyoal perang Rusia-Ukraina, termasuk dari pemerintah Kyiv sendiri. Dalam pandangannya, tantangan peace plan atau proposal damai apapun yang diajukan untuk berusaha membantu penyelesaian masalah adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto juga menilai usulan Prabowo menekankan solusi damai dari kekerasan senjata yang terjadi saat ini. Disebutkan, di sesi IISS Shangri-La Dialogue Prabowo mendorong terwujudnya kolaborasi global dan membentuk kepemimpinan bersama yang lebih mengedepankan dialog, kerja sama, dan multilateralisme.
Wakil Menteri Luar Negeri RI Dino Patti Djalal yang tampak hadir di forum sama memandang usulan Prabowo terkait resolusi konflik Rusia-Ukraina spesifik, dengan menawarkan sejumlah langkah konkret seperti genjatan senjata dan menarik mundur pasukan disebut sangat berani. Dalam pandangannya, usulan Prabowo menarik karena saat ini semua negara yang terlibat langsung atau tidak langsung bersiap untuk meningkatkan perang, bukan mewujudkan gencatan senjata.
Usulan Realistis
Tentu saja tidak mudah untuk bisa menghentikan perang Rusia-Ukraina . Selain karena bertumpuknya kepentingan Eropa dan NATO di belakang Ukraina versus kepentingan geopolik Rusia sehingga terlampau sulit masing-masing pihak untuk mengalah, perspektif berbeda tentang resolusi konflik seperti apa juga menjadi kendala berarti.
Kondisi demikian misalnya terbaca jelas pada sesi tanya jawab ketika seorang audiens dari Eropa menanggapi penuh skeptisme proposal resolusi konflik yang dilontarkan Prabowo. Dalam tanggapannya, yang bersangkutan mempertanyakan mengapa Prabowo tidak mengalamatkan pada agresi Rusia yang merupakan salah satu alasan konflik?
Dia juga menandaskan bahwa bila Ukraina berhenti membela diri maka kedaulatannya akan hilang, dan sebaliknya jika Rusia menghentikan perang maka konflik akan selesai. Penanya lalu menegaskan bahwa jika mengikuti proposal mantan Danjen Kopassus itu untuk melakukan gencatan senjata, langkah tersebut tidak lebih memperkuat pembetonan konflik baru di benua Eropa.
Prabowo yang diberikan waktu tiga menit untuk menjawab menangkap kesan reaksi emosional dari audiens karena seolah menyamakan antara invasi dengan diinvasi, padahal gagasannya mengarah pada resolusi konflik. Secara tegas dia mengatakan, posisi Indonesia sangat jelas, menentang perang seperti disampaikan dalam voting PBB.
Dia lantas menggariskan bahwa dirinya hanya mengusulkan resolusi konflik dan pilihan yang ditawarkannya secara historis pernah dilakukan. Dengan intonasi ngegas, Prabowo mengajak negara-negara Eropa untuk berfikir bukan hanya untuk 5 atau 10 tahun ke depan, tapi jangka panjang hingga 50 tahun. Pensiunan Jenderal bintang tiga itu juga mengingatkan Eropa bahwa konflik perang dan invasi negara bukan hanya terjadi di benua biru itu saja, tapi juga negara-negara Asia, termasuk di Indonesia, Vietnam dan Kambodja, bahkan dengan dampak lebih parah dan lebih berdarah.
’’Kami tahu perang, kami ingin menyelesaikan, kami ingin membantu. Tapi sekali lagi ini tergantung pada khalayak umum. Untuk apa PBB, jika bukan untuk menghasilkan resolusi konflik,’’ ujar Prabowo.
Prabowo lebih jauh mempertanyakan pandangan yang menganggap usulan demiliterisasi zone sebagai pilihan tidak rasional. Padahal, zona zone pernah diberlakukan dengan Korea, Vietnam, dan Sinai. Pun penempatan pasukan PBB juga telah banyak ditempatkan untuk menengahi berbagai konflik bukan hanya di Eropa, tapi juga di Timur Tengah dan Afrika.
’’Yang saya usulkan adalah bagaimana menyelesaikan konflik, dengan menghormati PBB, itu saja. Saya tidak membangkilkan pihak yang diagresi dan yang mengagresi. Please pahami kami yang merupakan bagian dunia yang berkali-kali diagresi. Itu jawaban kami,’’ demikian kata Prabowo.
Bila merujuk pada catatan sejarah sejak berdirinya PBB, resolusi konflik seperti disampaikan Prabowo, dalam hal ini menggunakan instrumen zona demiliterisasi dan pengiriman pasukan perdamaian PBB untuk menengahi konflik telah diaplikasikan dalam banyak resolusi konflik di berbagai belahan dunia, dalam ini seperti disebutkan Prabowo di Sinai, Vietnam, dan Korea.
Di Semenanjung Korea bahkan konsep tersebut hingga kini masih berlangsung, untuk menyangga dan membelah secara fisik dua negara bersaudara, yakni Korea Selatan dan Korea Utara, agar tidak terjadi benturan fisik (perang) secara langsung. Zona demiliterisasi di kawasan ini membelah hampir separuh semenanjung Korea atau sepanjang 248 km dan selebar hampir 4 kilometer.
Instrumen pasukan penjaga perdamaian PBB dalam sejarah konflik-konflik dunia telah mengambil peranan penting. Memang tak selamanya tidak berhasil seperti dalam meredam perang di Yugoslavia dan Rwanda, selama selama 75 tahun pasukan penjaga perdamaian PBB -dengan 2 juta personel yang dilibatkan- telah banyak membantu negara-negara berkonflik memulihkan keamanan dunia melalui 55 misi perdamaian, di antara kisah suksesnya berada di Liberia dan Kambodja. Hingga saat ini masih berlangsung 16 misi perdamaian, sebagian besar berada di benua hitam, Afrika.
Indonesia, dalam hal ini TNI, memiliki jejak panjang dalam pasukan perdamaian dunia PBB. Partisipasi aktif telah dilakukan sejak 1957 melalui misi yang disebut Kontingen Garuda. Dalam catatan sejarah, aktivitas Kontingen Garuda telah berlangsung di Kongo (1961- 1963), Vietnam (1973-1975, Irak (1989), Namibia (1989), Kuwait (1992), Kamboja (1993), Somalia (1993), Bosnia (1993-1996), Macedonia (1997), Slovania (1997), Kroasia (1995), Reblaka (1997), Mozambik (1994), Filipina (1999), Tajikistan (1998), Sierra Leone (1999), Nepal (2007), Darfur (2007).
Partisipasi Kontingen Garuda masih terus berlangsung hingga saat ini. Ribuan personel TNI dan Polri masih bertugas di enam misi perdamaian PBB, yaitu Haiti, Kongo, Sudan, Lebanon, Liberia, dan Sudan Selatan. Secara keseluruhan Indonesia telah menyumbangkan sekitar puluhan ribu personel dalam 15 misi perdamaian PBB. Dalam berbagai misi yang dijalankan, Kontingen Garuda tak jarang menorehkan tinta emas karena kesungguhan dan prestasi yang diraihnya. Bahkan Mayjen TNI Imam Edy Mulyono dipercaya Sekjen PBB sebagai Head of Mission/Force Commander dalam misi perdamaian MINURSO di Sahara Barat pada Agustus 2013.
Selain dua usulan realistis tersebut -zona demiliterisasi dan pengerahan pasukan perdamaian PBB-, proposal Prabowo sebenarnya diarahkan mengingatkan dan mendorong PBB agar turun tangan dan mengambil peran lebih aktif untuk mewujudkan perdamaian Rusia-Ukraina. Fakta yang terlihat sejauh ini lembaga bangsa-bangsa tersebut seolah diam saja, karena tersandera kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina. Padahal tujuan PBB didirikan di antaranya untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Sumber: nasional.sindonews.com