Politik A-anginan

Oleh: Noorhalis Majid
(Ambin Demokrasi)


BORNEOTREND.COM - Kalau pemimpin yang lahir dari proses politik, tidak punya sikap standar dalam urusan-urusan publik dan kewargaan, pasti akan sangat merepotkan. Misalnya, pada satu kasus yang sama, pada waktu dan momen tertentu sikapnya baik, namun pada kesempatan lain sikapnya justru tidak baik. Ketidak konsistenan itulah yang disebut dengan a-anginan.

Sikapnya tergantung angin yang bertiup – kadang baik, kadang juga tidak baik. Bersikap sangat baik, karena angin sejuk yang datang. Tidak baik, sebab hawa panas yang berhembus. 

Bahkan para aparat dan pembantunya dalam memberikan usulan serta masukan, juga menunggu momentum, menunggu saat anginnya lagi baik. Bila anginnya tidak kunjung baik, lebih tepat mencari jalan aman, tidak mendekat –apalagi sampai memberikan usulan yang dapat memperparah suasana. 

Betapa sulitnya kalau ada pemimpin politik seperti itu, yang sikap dan komitmennya bergantung suasana hati atau seleranya sendiri. Tidak mampu obyektif dalam melihat sesuatu. Semuanya tergantung suasana yang melatarinya.

Tentu sikap yang didasari suasana hati itu sangat manusiawi. Namun, pemimpin harus pula punya standar, agar hal-hal yang disebut baik-buruk, cocok-tidak cocok, penting-tidak penting, tidak berdasarkan suasana hati yang melatarinya, tapi berdasarkan standar dan norma yang berlaku. 

Kalau segala sesuatu didasarkan pada suasana hati, maka yang dianggap kurang baik, kurang cocok, kurang penting –akan sesukanya ditetapkan, dan warga tidak memiliki kepastian –padahal bagi warga hal tersebut sangatlah penting.

Betapa ruginya warga, bila soal-soal menyangkut hajat hidup masyarakat banyak, seperti penguatan ekonomi, pemberdayaan warga miskin, penciptaan lapangan kerja, penataan lingkungan, pembenahan tata kota, dan sebagainya, dilakukan tidak dengan konsisten, dan bahkan a-anginan. (nm)


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال