Politik "Kantut Samut"


Oleh: Noorhalis Majid
(Ambin Demokrasi)


BORNEOTREND.COM - Di tahun politik, janji mengalami inflasi. Semua orang mudah berjanji – apa saja yang dimaui akan dijanjikan, pokoknya kalau sudah terplih, gampang – tidak ada soal. Mau ini, itu, semua bisa bicarakan, bisa diatur.  

Apakah semua janji dapat diwujudkan? Wallahu a’lam. Sebagian pemilih yang tidak ingin termakan janji, akhirnya menentukan “harga kontan” sebagai solusi. Disinilah “cerdas memilih” tereduksi menjadi transaksional. Siapa memberi berapa. Bahkan yang dianggap lebih cerdas, ambil semuanya - pilih sebebasnya.

Janji yang ter-inflasi, memunculkan fenomena janji sekenanya, bahkan mungkin kebohongan. Karena disampaikan di banyak tempat serta kesempatan, lama kelamaan menjadi satu kelaziman. Pokoknya kalau ditanya apapun, janji saja dulu, soal bagaimana merealisasikannya, urusan nanti, begitu kira-kira pilihan aman yang biasa diambil. 

Ada yang ngomong sekenanya, janji sesukanya. Sekedar menyenangkan hati yang mendengar, dalam ungkapan Banjar disebut “kantut samut”. Sebab tidak ada yang pernah mendengar kantut samut, maka kalau mengatakan ada, berarti bohong. Dari sanalah makna dari ungkapan ini bermula. 

Awalnya untuk menyampaikan berbagai cerita yang menghibur, sekedar menyenangkan hati. Cerita imajinatif yang tidak jelas fakta serta kebenarannya. Kalau hal ini dipinjam dalam politik, berarti semua janji yang disampaikan hanyalah imajinasi, bukan fakta.  

Yakinlah bahwa kantut samut itu tidak ada, setidaknya tidak pernah ada yang tahu. Namun disebabkan orang suka dengan cerita yang menghibur, bahkan janji yang sekedar disampaikan, maka cerita bohong pun jadi menyenangkan. 

Dalam tahun politik ini, kalau kebetulan mendengar segala hal yang indah, elok, muluk bahkan ideal disampaikan dan dirasa belum tentu dapat terealisasi. Dari pada kecewa, anggap saja "kantut samut". (nm)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال