Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
Teman tadi membantah, kalau rakyat ‘tidak pernah salah’ lalu ada fakta rakyat melakukan pelanggaran dan bahkan kecurangan pada sistem yang sudah dibuat sedemikian rupa agar berjalan baik.
Lantas apakah berarti para penjaga nilai-nilai kebaikan yang gagal atau salah?
Rakyat tidak lagi sebagai obyek, dulu mungkin ia, ketika dominasi negara dalam membuat kebijakan sangat kuat. Sekarang negara juga sering menjadi obyek. Rakyat dapat memaksa negara melakukan sesuatu melalui gerakan ‘maya’. Ada istilah ‘no viral, no justice’. Sekarang birokrasi berubah menjadi klick-okrasi, dimana rakyat bukan lagi citizen, tapi netizen.
Ketika citizen menjadi netizen, bukan hanya maha benar, tapi juga maha kuasa. Kebenaran dan kesalahan tidak lagi berbasis fakta, etik dan moral. Sekarang basisnya persepsi, dan kadang juga asumsi, terbangun dari framing dan menjadi viral. Hal penting, namun karena tidak viral, bisa saja diabaikan dan tidak diurus, pun sebaliknya.
Pada saatnya nanti, pengelola negara (pemerintahan), akan kewalahan dan kehilangan kemampuan mengelola pelayanan, ketika tidak bisa beradaptasi.
Gejala itu sudah muncul, rakyat semakin mandiri dan makin hari makin tidak tergantung pada negara, bahkan tidak butuh negara. Kemensos sudah tersaingi KitaBisa.Com, Bank Pemerintah semakin tidak dilirik, sudah ada Pinjol. Birokrasi perizinan mungkin akan tidak diperlukan lagi, cukup gabung marketplace.
Segala perubahan tadi memberikan gambaran, bahwa rakyat dan negara, konsepnya sudah berubah, karenanya politik juga harus berubah, kata teman tadi dengan penuh keyakinan. (nm)