Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Politik) |
BORNEOTREND.COM - Salah satu program unggulan Presiden Jokowi periode pertama, ‘membangun dari pinggiran’. Kalau dilihat dari ketersediaan anggaran desa, dan tingginya perhatian warga terhadap desanya, nampaknya membuahkan hasil. Setidaknya desa semakin bergeliat, tidak mati atau ditinggal warganya pergi ke kota-kota.
Dari sisi yang lain, terjadi perubahan sangat signifikan, yaitu budaya politik pemilihan kepala desa. Sebelumnya “arif bijaksana”, memilih berdasarkan kearifan lokal tiap desa, terpilih tokoh yang disegani, dipanuti dan menjadi representasi warga, seketika berubah menjadi budaya “kota”. Transaksi jual beli suara -money politics, tidak jauh beda dengan praktik pemilihan umum di kota.
Kearifan melalui ‘musyawarah’ yang menjadi kekuatan desa, hilang terganti pemilihan langsung. Tidak sedikit setelah terpilih, dicaci maki, sebab tidak sesuai harapan, padahal uang money politics-nya sudah dimakan. Warga yang jumlahnya tidak begitu banyak, terpecah dalam berbagai kubu, dan memerlukan waktu lama merukunkannya.
Mungkin yang lupa ditata dari program ‘pinggiran’ tersebut adalah membangun politik itu sendiri. Sistem pemilihan langsung diperkenalkan, minus pendidikan politik – sehingga jual beli suara lah yang terjadi.
Karena jual beli suara marak dalam pemilihan kepala desa, dan Indonesia pada dasarnya kumpulan desa-desa, maka politik yang diwarnai praktik jual beli suara tersebut mengepung hampir seluruh sudut ruang, sulit menyudahinya. Jangan salahkan warga desa, sebab budaya tersebut awalnya juga dibawa dari kota ke desa, dan sekarang terjadi arus balik.
Secara luas, “pinggiran” tentu tidak saja bermakna geografis seperti halnya desa. Bisa jadi artinya kelompok marginal, yang selama ini teralienasi dalam kelompok -komunitas yang merasa terdiskriminasi.
Kelompok “pinggiran” yang kedua ini tersebar di berbagai tempat, termasuk di kota-kota, mengalami nasib terdiskriminasi oleh kebijakan, yang tanahnya diambil, lahannya dirampas, pasarnya digusur dan lain sebagainya. Jangan sepelekan, suara mereka nilainya sama dalam pemilu. (nm)