Oleh: Khairiadi Asa (Anggota Penyelenggara Pemilu periode 2013-2018) |
BORNEOTREND.COM - Dalam empat kali penyelenggaraan pemilu di era reformasi (1999, 2004, 2009, 2014) rumus atau metode untuk menentukan konversi suara menjadi kursi memakai metode kuota atau bilangan pembagi pemilih (BPP). Sedangkan pada Pemilu 2019 kita memakai dengan metode pembagi suara bilangan ganjil, mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Atau sering disebut oleh kalangan pengamat pemilu dengan istilah “sainte lague”. Metode ini ditemukan oleh matematikawan asal Prancis, Andre Sainte Lague pada 2010.
Berubahnya metode untuk menentukan atau menetapkan perolehan kursi dari metode BPP ke “sainte lague” ini sesuai dengan berlakunya pasal 420 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yaitu, dalam menetapkan perolehan kursi, langkah pertama seluruh suara sah partai dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan seterusnya secara berurutan dengan pembagi bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya.
Untuk mengingatkan kembali, BPP adalah hasil dari jumlah seluruh suara sah dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan di suatu daerah pemilihan (dapil). Misalkan jumlah seluruh suara sah partai di satu dapil sebanyak 35.000, dan jumlah kursinya di dapil tersebut sebanyak 8 kursi, maka untuk menentukan harga 1 kursi diperoleh, 35.000/8 = 4.375. Maka, BPP atau “harga” satu kursinya adalah 4.375.
Namun, dalam membagi kursi kepada partai yang berhak dilakukan dua tahapan, tahapan pertama partai yang meraih kursi perolehan suaranya harus sama atau lebih besar dari angka BPP. Jika ada sisa suara, maka diikutkan lagi dalam tahapan kedua. Tahapan kedua (jika masih ada sisa kursi), maka kursi dibagi kepada partai yang mimiliki sisa suara terbanyak secara berurutan hingga jumlah kursinya terbagi habis.
Selama pemilu dengan sistem ini, sangat jarang kursi terbagi habis pada hitungan pertama, karena masih banyak partai yang meraih suara di bawah angka BPP yang ditetapkan. Apalagi caleg yang dicalonkan partai jarang sekali bisa mencapai angka BPP perolehan suaranya.
Adapun dengan metode bilangan pembagi ganjil (sainte lague), seluruh perolehan suara partai di satu dapil langsung dibagi dengan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7 dan seterusnya kemudian diranking sesuai banyaknya jumlah kursi yang diperebutkan di satu dapil tersebut.
Misal ada empat partai di suatu dapil memperebutkan 3 kursi, masing-masing partai memperoleh; Partai A (15.000), Partai B (9.000), Partai C (3.500), dan Partai D (2.500). Langkah pertama dibagi 1, A (15.000), B (9.000), C (3.500), dan D (2.500).
Langkah kedua, dibagi 3; A (15.000/3 = 5.000), B (9.000/3 = 3.500), C (3.500/3 = 1.166), dan D (2.500/3 = 833). Sampai pada pembagian bilangan “pembagi 3” ini sudah bisa dilakukan urutan ranking untuk membagi kursi kepada partai yang berhak mendapatkan kursi.
Setelah diranking maka Partai A meraih 2 kursi (saat dibagi 1 suaranya 15.000 [urutan 1], dan dibagi 3 suaranya 5.000 [urutan 3]), kemudian Partai B meraih 1 kursi (saat dibagi 1 suaranya 9.000 [urutan 2]). Sedangkan suara partai C dan D tidak bisa dikonversi menjadi kursi karena urutannya berada di bawah (dan jatah kursinya habis). Jika kursinya lebih dari 3 maka bisa saja dilakukan pembagian dengan bilangan pembagi berikutnya (5, 7 dst) dan kursinya dibagi berdasarkan urutan terbesar hingga jatah kursinya habis.
Contoh lain yang bisa menggambarkan perbedaan metode konversi suara ini, antara metode BPP dan metode pembagi ganjil, adalah hasil Pemilu 2014 pada Dapil Kalsel 3 (Barito Kuala) untuk kursi DPRD Provinsi Kalsel, di dapil ini diperebutkan 4 kursi.
Hasil Pemilu 2014 lalu di Dapil Kalsel 3 (dengan sistem BPP) ada tiga partai yang memperoleh kursi, yaitu Golkar (2 kursi, dengan raihan suara 66.253), Hanura (1 kursi, dengan raihan suara 11.711), dan PPP (1 kursi, dengan raihan suara 9.965). BPP atau “harga 1 kursi” saat itu sebesar 37.105. Maka tahap pertama Golkar sudah memperoleh 1 kursi, dan ada sebanyak 29.148 suara sisanya yang diikutkan penghitungan tahap kedua.
Tahap kedua untuk menentukan perolehan kursi hanya diurutkan sisa suara terbesar (yang tidak memenuhi angka BPP), Golkar sisa suaranya 29.148, Hanura sebesar 11.711, dan PPP sebesar 9.965. Partai-partai politik yang lain saat itu berada di bawah ketiga partai di atas raihan suaranya.
Jika perolehan suara di atas menggunakan metode konversi suara “sainte lague” maka Golkar akan meraih sebanyak 3 kursi, Hanura 1 kursi, dan kursi PPP hilang. Saat dibagi 1 suara Golkar 66.253, dibagi 3 (66.253/3 = 22.084), dibagi 5 (66.253/5 = 13.250). Suara Hanura dibagi 1 sebesar 11.711, dibagi 3 (11.711 = 3.903), dibagi 5 (11.711/5 = 2.342), Suara PPP dibagi 1 sebesar 9.965, dibagi 3 (9.965/3 = 3.321), dibagi 5 (9.965/5 = 1.993).
Dengan metode konversi suara “sainte lague” ini terlihat jelas sisa suara yang diraih oleh partai peraih suara terbesar di satu dapil, tidak hilang begitu saja. Jika dengan metode BPP, maka terlihat harga 1 kursi Golkar yang dihargai sebesar 37.105 (kursi pertama) dan 29.148 (kursi kedua) dipaksakan sama dengan harga 1 kursi yang diperoleh PPP yang meraih sebesar 9.965, atau Hanura yang meraih 11.711.
Jelas sekali ini sangat jomplang perbedaannya. Dengan metode “sainte lague” suara yang diraih dibagi dengan bilangan ganjil 1, 3, 5, dan seterusnya, maka akan diperoleh kesetaraan persentase perolehan suara dengan persentase perolehan kursi. Artinya, sisa suara yang diraih oleh partai yang meraih banyak suara tidak terbuang karena ikut terkonversi menjadi kursi, dibandingkan dengan metode BPP yang masih memberikan kesempatan partai yang memperoleh suara “babaya pas” bisa meraih kursi.
Dengan metode lama tersebut, seringkali persyaratan untuk mencalonkan pasangan Presiden/Wakil Presiden atau kepala daerah, harus minimal 20 persen dari jumlah kursi di parlemen atau 25 persen perolehan suara seluruh partai pengusung. Karena memang antara persentase perolehan kursi dengan persentase perolehan suara tidak setara.
Oleh sebab itu, disamping lebih adil dan setara, metode konversi suara yang sudah diterapkan di Pemilu 2019 lalu ini, juga akan memaksa partai-partai yang biasa berebut “sisa kursi” dengan perolehan suara “babaya pas” akan terlempar lebih awal. Gejala ini akan lebih terasa di semua dapil untuk DPRD Kabupaten dan Provinsi.
Penulis: Khairiadi Asa (Pemimpin Redaksi borneotrend.com)