Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Kalau ukurannya sekedar tidak dihalang-halangi, tidak dipaksa, atau tidak digiring dan diarahkan memilih sesuatu kehendaki penguasa, maka tentu saja pemilih sudah mendapatkan kemerdekaan dalam Pemilu.
Namun, bila lebih dari itu, misalnya memiliki opsi menentukan calon mana saja yang layak berkompetisi, dan mana yang sebenarnya belum layak. Dan memilih tidak dibatasi atas apa yang sudah tersaji dalam DCT (Daftar Calon Tetap), tetapi berwenang mengusulkan kepada parpol sesuai representasi kewilayahan, maka tentu belum ada kemerdekaan.
Sistem membatasi kemerdekaan memilih, sehingga tidak tersedia banyak pilihan. Kalau semua yang ditawarkan parpol ternyata tidak layak, maka warga terpaksa memilih dari semua yang tidak layak atau golput. Tidak ada opsi menganulir atau mengusulkan calon lain yang lebih representatif.
Representasi kewilayahan, sering luput dari perhatian, semuanya representasi partai, sehingga daerah pemilihan sekedar menjadi obyek dari lokasi pendulangan suara.
Apalagi framing dan agenda setting, yang diperkenalkan Erving Goffman, tokoh sosiologi, lahir di Alberta – Kanada, 11 Juni 1922, terus dikembangkan dan semakin maju, kini memanfaatkan berbagai media sosial, memaksa serta meracuni pemilih dengan cara sangat lihai, turut merampas kemerdekaan memilih.
Belum lagi berlaku “daya paksa” dalam bentuk money politics. Pemilih dipaksa, sebab uang tidak memberikan alternatif apapun selain menyetujui pada yang memberi lebih banyak. Uang tidak memberikan kemerdekaan, di tengah kehidupan orang perorang, rendahnya pendapatan keluarga. Tidak peduli lagi kompetensi, integritas, visi-misi, rekam jejak.
Tidak ada pertarungan “daya pikat”, sebab prosesnya lebih sulit, lama dan perlu kesabaran. Mesti disertai pendidikan politik dalam membangun kesadaran.
Dari pada melakoni proses yang panjang dalam membangun daya pikat, lebih baik mengumpulkan uang, dan dengan itu memperbesar “daya paksa”. Tidak peduli telah merampas kemerdekaan memilih. (nm)