Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Dalam politik, rupayanya ada orang yang sok berkuasa. Seolah semua bisa diatur oleh dirinya. Apa saja harus berdasarkan restunya. Segala konstalasi politik, ekonomi, sosial budaya, dan segala hal, seolah di bawah kendalinya. Bahkan, masa depan orang lain, seperti dapat dirancang, diatur berdasarkan persetujuannya. Kebudayaan Banjar menyindir dengan ungkapan, “kaya inya ampun banua”.
Ada dua kemungkinan, pertama, memang yang bersangkutan suka dan memiliki ambisi sebagai orang yang dianggap menentukan segalanya. Sehingga melalui kuasa dan pengaruhnya (uang, jabatan dan jaringan) berusaha mengatur banyak hal, sampai pada soal-soal kecil – remeh temeh, yang seharusnya dibiarkan berjalan alami, apa adanya.
Kemungkinan yang pertama ini, memang satu godaan bagi orang yang haus kekuasaan. Inginnya dianggap penting, berpengaruh, mampu menentukan banyak hal. Karena haus kekuasaan itulah lantas “rajin” mengurusi banyak hal yang membuat dirinya ingin diakui sebagai orang kuat dan penting.
Kemungkinan kedua, orang-orang terlalu berlebihan memposisikan dirinya sebagai orang maha penting dan berkuasa. Memujanya sedemikian rupa, bahwa bila tanpa restunya tidak akan bisa berbuat apapun, dan untuk menguatkan pendapat ini, diagungkan segala kelebihannya yang dapat mengatur banyak hal.
Memang, seperti juga “berhala”, benda biasa pun saat dipuja sedemikian rupa, akan berubah menjadi makhluk mitos, setidaknya tercipta mitologi dalam kepala orang-orang yang memujanya.
Ungkapan “kaya inya ampun banua”, sebenarnya adalah suara perlawanan pada orang yang sok berkuasa tersebut. Maknanya, manusia itu jangan dipuja berlebihan, nanti jadi “berhala” yang seolah benar berkuasa, padahal aslinya biasa-biasa saja.
Jangan “memberhalakan” orang lain. Dalam hidup ini, “kita terserah kita”. Kitalah yang menentukan bagaimana nasib kedepan, tidak tergantung orang lain, apalagi orang tersebut hanya sok berkuasa.
Kalau dalam politik ada yang sok berkuasa, lawan! Kaya inya ampun banua. (nm)