Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Baru-baru ini ada postingan video yang cukup viral, tentang caleg membagikan sajadah. Di atas tempat sujud dari sajadah itu, ditulis nama caleg, partai dan daerah pemilihannya. Terang saja yang menerima sajadah merasa terganggu setiap kali menggunakannya.
Dikarenakan tidak disebutkan langsung nama calegnya dan dari partai mana, maka kecurigaan menyebar dan tertuju kepada semua caleg. Padahal hanya dilakukan oleh salah satu caleg dan beratus-ratus caleg.
Bahkan, beberapa caleg terpaksa memberikan klarifikasi, bahwa hal tersebut bukan dirinya. Inilah yang dalam peribahasa Banjar disebut “tapalit tahi kada bahira”, bukan kita yang melakukan, tapi ikut dicurigai.
Terkena tahi, padahal tidak berak. Terkesan kasar, karena mengambil perumpamaan tahi. Memang, perbuatan buruk sangat memalukan – setara tahi. Kalau hanya berdampak atau beresiko bagi diri sendiri, tidak masalah.
Saat tergabung dalam satu kelompok atau komunitas, kesalahan yang dilakukan oleh satu orang saja, memberi dampak pada semua komunitas tersebut. Yang lain tidak pernah berbuat, tidak tahu menahu, bahkan rentang jaraknya sangat jauh, tapi juga menanggung akibatnya.
Kasus terbaru lainnya, ICW mempublikasikan daftar nama caleg mantan narapidana korupsi. Diurut berdasarkan nama partai. Akibatnya, anggota partai lainnya yang tidak melakukan korupsi, juga terdampak. Seolah inilah partai kumpulan para koruptor. Resistensi pun terjadi.
Dua kasus di atas, menjadi pembelajaran nyata, betapa perbuatan buruk yang dilakukan seseorang, memberi dampak pada yang lainnya, bahkan berdampak sangat luas. Padahal yang lain tidak ikut terlibat, tidak tahu menahu yang sudah dilakukan.
Tingkah laku satu orang, tergeneralisasi pada semua orang dalam satu kelompok. Pun perbuatan salah satu caleg, tergeneralisasi buruhnya pada caleg lainnya. Walau beda partai, dapil dan beda cara berkampanye.
Bahwa dalam politik, sangat rentan “tapalit tahi kada bahira”. (nm)