BRICS: Negara-negara BRICS diprediksi akan semakin meninggalkan penggunaan dolar AS dalam penyelesaian transaksi perdagangan antarnegara -Foto dok ekbis.sindonews.com |
BORNEOTREND.COM- Bergabungnya produsen sekaligus eksportir minyak utama dunia Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) ke dalam BRICS membuat kelompok itu semakin lengkap. Hal itu juga dinilai akan semakin memudahkan negara-negara anggotanya mengadopsi mata uang lokal untuk perdagangan danmeninggalkan dolar AS.
Seperti diketahui, Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi dan UEA secara resmi akan menjadi anggota BRICS pada 1 Januari 2024. Saat ini, anggota BRICS meliputi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Para analis menilai, dengan perluasan tersebut, adopsi mata uang lokal yang lebih luas untuk perdagangan di antara negara-negara BRICS semakin wajar dibandingkan menggunakan dolar AS. Dengan menjadikan produsen dan konsumen minyak sebagai anggota, akan menjadi landasan bagi BRICS untuk menggunakan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan.
Menurut orang dalam industri minyak yang berbasis di Shanghai yang berbicara kepada Global Times dengan syarat anonim, hal itu tentunya akan lebih efisien dan mengurangi biaya transaksi. Dia menambahkan, dunia kini tengah menyaksikan senja petrodolar.
"Jika Anda mempertimbangkan blok perdagangan lain yang masing-masing dari lima negara BRICS saat ini menjadi anggotanya, serta negara-negara yang ingin bergabung dengan BRICS, maka itu cukup untuk membangun sistem moneter transnasional yang independen. Perdagangan minyak dapat mematahkan cengkeraman petrodolar dengan menggunakan penyelesaian mata uang lokal," kata orang dalam tersebut seperti dilansir Global Times, dikutip Sabtu (26/8/2023).
Di bagian lain, para pemimpin BRICS pun terus menekankan pentingnya mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional dan transaksi keuangan antara negara-negara BRICS serta mitra dagang mereka. BRICS juga mendorong penguatan jaringan perbankan koresponden antara negara-negara anggotanya yang memungkinkan penyelesaian dalam mata uang lokal. Tak heran jika menurut data, sejauh ini volume transaksi dalam BRICS yang menggunakan dolar AS dan euro terus menurun.
Orang dalam tersebut juga menekankan bahwa ketika minyak dan komoditas lainnya diperdagangkan secara langsung dalam mata uang non-dolar, fungsi obligasi Treasury AS sebagai cadangan devisa akan melemah secara permanen. Pasalnya, minyak sebagai komoditas energi terpenting yang diperdagangkan, selalu dikaitkan dengan status tersebut.
"Akibatnya, aksi jual dolar AS dan obligasi Treasury AS akan terakselerasi," kata orang dalam tersebut. Faktanya, tren pengurangan kepemilikan Treasury AS telah muncul secara bertahap. Kepemilikan Treasury AS di Arab Saudi turun ke level terendah dalam enam tahun menjadi USD108,1 miliar pada bulan Juni. Penjualan bersih kumulatif utang AS tercatat hampir USD80 miliar. Menurut data dari Departemen Keuangan AS, UEA juga menjual total utang AS hampir USD4 miliar.
Para analis mencatat bahwa tren de-dolarisasi sebenarnya adalah buah pahit yang ditimbulkan sendiri oleh AS. Dalam beberapa tahun terakhir, sanksi keuangan sepihak AS telah mengingatkan semakin banyak negara akan perlunya dan urgensi de-dolarisasi, yang kini telah menjadi konsensus umum.
Sementara itu, dolar AS telah lama ditopang oleh kepercayaan global terhadap utang AS. Namun Amerika telah merusak perekonomian dunia melalui pelonggaran kuantitatif yang tidak terbatas dan kenaikan suku bunga yang tajam dan besar-besaran.
"Dapat dikatakan bahwa AS melakukan penarikan kredit dolar AS secara berlebihan. Di masa lalu, mungkin tidak ada alternatif yang lebih baik selain dolar AS, dan kekuatan ekonomi AS yang kuat memungkinkan dolar untuk terus mempertahankan hegemoninya. Sekarang segalanya telah berubah. Misalnya, New Development Bank of BRICS menawarkan solusi yang lebih baik bagi dolar AS, yakni penyelesaian menggunakan mata uang lokal untuk mengurangi biaya dan kompleksitas perdagangan lintas batas," kata seorang direktur perusahaan sekuritas bermarga Wang yang berbasis di Beijing.
Wang juga mencatat bahwa status dolar dipengaruhi oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi di AS. Tingginya tingkat utang pemerintah AS dan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi AS menurutnya akan menyebabkan penurunan nilai dolar. "Wajar jika negara lain ingin mengurangi ketergantungannya terhadap dolar untuk mengurangi risiko tersebut," tuturnya.
Sumber: ekbis.sindonews.com