Sejarah Lahirnya Parpol dan Pergerakannya di Banua

 

Oleh: Khairiadi Asa
(Foto/ilustrasi: Parpol di masa Orde Lama)

BORNEOTREND.COM – Dalam ilmu politik sangat banyak definisi mengenai partai politik (parpol), baik yang disampaikan oleh pakar dari luar maupun di dalam negeri. Kata partai berasal dari bahasa latin “partire”, yang bermakna membagi. Mulanya banyak yang menilai negatif, namun seiring waktu kehadiran parpol dalam sistem demokrasi modern dianggap hal yang penting. 

Menurut Riswanda Imawan, dalam bukunya "Dinamika dan Perilaku Politik Kepartaian", para pakar sepakat bahwa parpol itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut; (1) kumpulan orang-orang yang satu ide dan berupaya mewujudkan ide-ide mereka dalam kehidupan masyarakat, (2) memiliki organisasi yang rapi, yang menjamin kontinuitas kegiatan sepanjang tahun, (3) berupaya menyusun agenda kebijakan publik, serta berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan atas agenda tersebut, (4) berambisi menempatkan wakil-wakilnya dalam jajaran pemerintahan. 

Dari catatan sejarahnya, kelahiran parpol di masa penjajahan lebih dilatarbelakangi bangkitnya kesadaran nasional (kehidupan berbangsa). Dalam suasana seperti itu semua organisasi apakah yang bertujuan sosial atau terangan-terangan menganut asas politik maupun agama, memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. 

Semula rakyat Indonesia tidak memikirkan keperluan akan sebuah parpol sampai pemerintah Belanda membuat UU Desentralisasi bagi Hindia Belanda pada tahun 1898. Konsekuensi UU tersebut akhirnya terbentuk Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1903. Untuk mengisi lembaga tersebut secara demokratis, parpol mulai bermunculan yang sebagian besar atas inisiatif dari anggota-anggota Volksraad. 

Jadi, lembaga dewan rakyat (volksraad) terbentuk duluan baru kemudian orang berpikir perlunya parpol untuk mengisi lembaga tersebut. Kelahiran parpol di Banua seperti juga di daerah lain di Indonesia, pada awalnya lebih merupakan manifestasi bangkitnya kesadaran nasional dengan memusatkan perhatian pada perjuangan memajukan pendidikan dan ekonomi rakyat.   

Dilihat dari perkembangannya, maka organisasi lokal yang pertama lahir saat itu adalah Sri Budiman (1901). Perkumpulan ini pertama kali dibentuk di Banjarmasin, memperkenalkan bentuk organisasi yang dikelola dengan cara-cara modern. Misalnya, membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (dalam Suluh Kalimantan), Sri Budiman bertujuan merapatkan tali silaturahmi sesama anggota, meningkatkan persatuan antarpedagang lokal dan petani-petani yang ada, serta membuat kampanye tentang pentingnya pendidikan dan pengajaran. 

Semua organisasi atau parpol yang ada saat itu nasibnya sama, selalu diawasi pemerintah kolonial Belanda. Pada 1932, misalnya, pemerintah kolonial Belanda melarang diadakannya Kongres III Barisan Indonesia (Bindo), suatu perkumpulan lokal yang tadinya berasal dari Persatuan Pemuda Marabahan (PPM), yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Serikat Kalimantan. 

Perkembangan yang cepat menjadi Serikat Kalimantan ini tidak lepas dari guru-guru yang ada di HIS Marabahan, seperti M. Yusak, Sumarmo, Suwito, Sudjamadi, Marjono, Sutomo, dan Sunaryo. Mereka ini adalah anggota PARI (Partai Republik Indonesia) pimpinan Tan Malaka yang menghilang sejak pemberontakan komunis, 1926-1927, mengasingkan diri ke wilayah Kalsel dan mengajar di Marabahan.            

Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengawasi dengan keras gerakan politik pribumi, dapat dilihat dalam peristiwa penangkapan tokoh-tokoh PNI Cabang Banjarmasin pada tahun 1929. Pimpinan cabang partai yang ditangkap antara lain Nuntji, Malyani, Choderi Thaib, dan Kiai Luis Kamis. Di masa-masa pergerakan nasional tersebut di Banua cukup banyak aktivis partai yang juga aktif memberikan pengajaran bagi dunia pendidikan. Akibatnya banyak juga guru-guru yang dilarang mengajar oleh pemerintah kolonial. 

Dalam kurun waktu cukup panjang, organisasi sosial dan politik yang lahir dan berkembang di Banua juga banyak digerakkan para santri dan pedagang Banjar yang biasa merantau ke Pulau Jawa.          

Penulis: Khairiadi Asa (penulis buku “Multipartai Dalam Perspektif Politik Lokal; Tinjauan Dinamika Politik di Kalimantan Selatan”).

         

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال