Catatan Hendry Ch Bangun (Foto: nett) |
BORNEOTREND.COM - Berkunjung ke sebuah daerah untuk kegiatan pers, suatu kali saya didatangi seorang. Dengan wajah sumringah dia menyapa saya, “Saya sudah sah menjadi wartawan Utama, Bang. Ini baru keluar kartunya,” lalu menunjukkan kartu kompetensi Utama, berlambangkan organisasi pers dan Dewan Pers.
“Bagus. Bagus. Ingat, tanggung jawab Wartawan Utama besar lho.” “Siap Bang. Terima kasih ya. Saya sekarang sudah bisa menjadi Pemred.”
Menengok ke belakang, perasaan saya campur aduk. Status sebagai Wartawan Utama, ketika Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan dikeluarkan pada tahun 2010, masih dipandang sebelah mata oleh banyak pengurus media, khususnya media “besar”, mainstream. Padahal di sana sudah diatur bahwa Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Media sudah disebutkan wajib memiliki sertifikat kompetensi utama karena besarnya tanggung jawab di pundaknya.
Dalam perkembangan upaya mendapatkan sertifikat Utama ini menjadi hangat ketika status terverifikasi media dikeluarkan Dewan Pers, ditandai dengan penyerahan sertifikat pada Hari Pers Nasional di Ambon, Maluku, tahun 2017. Status Terverifikasi media, Administrasi atau Faktual, memerlukan syarat bahwa Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus Utama. Dan sering status itu dijadikan pembatas oleh lembaga pemerintahan di daerah media yang dapat melakukan kemitraan pemberitaan alias bekerja sama soal iklan.
Kebutuhan pasar ini lalu membuat banyak yang dengan berbagai upaya mengikuti uji kompetensi utama, yang sampai dengan tahun 2019 masih bebas memilih ikut ujian kelompok muda, madya, atau utama, asal sesuai dengan jabatannya di media. Seleksi ada di tangan lembaga uji, yang jumlahnya belasan sesuai dengan asesmen yang dibuat Dewan Pers.
Setelah itu, semua perserta ujian harus mulai dari kelompok Muda, untuk ikut ujian Madya dia harus menunggu tiga tahun, dan ikut ujian ke Utama selama 2 tahun. Namun ada pengecualian bagi mereka yang sudah dan masih aktif melakukan kegiatan jurnalistik di atas 20 tahun, berumur 50 tahun, dst. Saat ini masih ada perkecualian, disebut akselerasi atau percepatan, dan mendapat rekomendasi dari tiga Pemimpin Redaksi media “besar”. Kata akhir ada di Dewan Pers, meski nanti ujiannya dilakukan oleh lembaga uji yang mengajukan calon peserta.
Dengan proses yang tidak mudah ini maka banyak yang merasa sangat bahagia ketika pada akhirnya mendapat status Wartawan Utama.
Di luar kepentingan media, di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), untuk menjadi Ketua PWI Provinsi selain pernah menjadi pengurus di daerah, calon pun wajib berstatus Wartawan Utama. Untuk pengurus lain, boleh bersatus wartawan Madya atau Utama. Termasuk bila ingin memimpin PWI Kabupaten atau Kota. Itu juga yang menjadi salah satu penyebab PWI termasuk yang paling banyak melakukan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dibandingkan organisasi wartawan lainnya di Tanah Air dan paling banyak pula memiliki wartawan bersertifikasi kompetensi.
Syarat berstatus Wartawan Utama pula yang membuat seseorang berhak menjadi penguji di Lembaga Uji PWI. Semasa saya menjadi Sekjen PWI Pusat, dilakukan asesmen, lalu ToT, dan magang untuk bisa menjadi penguji. Syarat asesmen sekarang ditiadakan entah karena alasan apa. Sayang sekali. ***
Ketika masih mengurusi pengaduan di Dewan Pers (2016-2022), status kompetensi banyak yang tidak berkorelasi dengan kinerjanya. Sudah memimpin media tetapi tidak faham kode etik jurnalstik. Almarhum Leo Batubara beberapa kali mengecoh penanggung jawab media. “Coba kau sebutkan berapa pasal kode etik jurnalistik. 12 atau 15,” katanya menjebak. Karena sama sekali tidak tahu, sedikit ragu dijawablah pertanyaan itu. “Lima belas, Pak.” “Ah kau ini. Baca ini,” ujarnya menyodorkan Buku Saku wartawan. Membaca sebentar, barulah penanggung jawab media itu dengan mesem-mesem menjawab. “Sebelas pasal, Pak.”
Kejadian paling parah saya alami ketika memimpin sidang kasus sebuah media di Riau. Penanggung jawab dengan terus terang dia tidak bisa menulis ketika dikontrontir. Dia mengaku meliput sebuah persidangan tetapi yang dimuat justru rilis, yang isinya menuding peradilan tidak objektif, dan beritanya cenderung menghakimi. Lalu saya tanya mengapa bisa memiliki kartu Utama?
Dia berkisah, latar belakangnya Teknologi Informasi dan bekerja sebagai tenaga TI di medianya, tapi karena harus menjadi Pemred menggantikan kakaknya, dia diikutkan UKW. Rupanya dalam proses pengujian, peserta diberi pelatihan, lalu ada simulasi mata uji. Termasuk membuat tajuk, mengevaluasi liputan investigasi dst. Hasil simulasi yang sudah dikoreksi, disesuaikan standar kelulusan, dijadikan karya di peserta dalam ujian sebenarnya. Ya luluslah dia.
Teguran sudah dilakukan Dewan Pers terhadap lembaga uji tersebut, dan lembaga uji lain yang dianggap mudah memberi kelulusan, tetapi saya tidak tahu apakah kualitas lulusannya lalu berubah. Karena Dewan Pers tidak punya tangan mengecek satu persatu, jadi kualitas itu hanya bisa diketahui kalau media itu diadukan oleh masyarakat.
Kualitas dalam berbagai spektrum menjadi penting karena status Wartawan Utama terkait tanggung jawabnya memimpin media berimplikasi luas. Media bertugas menjaga moralitas bangsa, mengingatkan kepada siapa saja khususnya pengelola negara di cabang eksekutif, legislatif, yudikatif, untuk menjalankan tugas sesuai sumpahnya, berpihak kepada rakyat, tidak menyalahgunakan jabatan, dst. Tetapi bagaimana media bisa dihargai kalau pemimpin redaksi, penanggung jawabnya juga suka melanggar kode etik, berpihak kepada kelompok kepentingan, suka menuduh, mudah dirayu uang dalam bentuk berita berbayar padahal beritanya keras mengkritik dan menghantam, dst.
Itulah sebabnya tudingan miring banyak terjadi. Ada media ternama yang seolah tegas dan kritis, hajar sana hajar sini, tetapi di media itu dimuat juga berita buatan pemesan yang isinya seperti rilis humas dan bahkan satu angle membela kepentingan lembaga. Kok bisa berdampingan si cantik dan si buruk rupa? By design untuk cari setoran atau keberimbangan? Perlu ada studi kasus.
Saya pernah berkunjung ke sebuah media independen di Berlin pada tahun 2000 ketika diundang Institut Jurnalismus Berlin, saya lupa namanya. Kantornya di lantai dua sebuah bagunan tua, mengingatkan saya pada kantor beberapa media di Asemka. Sederhana cenderung kurang terurus. Kami akhirnya tidak jadi bertemu di sana dan pindah ke sebuah kedai kopi karena di kantor itu rupanya tidak ada hidangan teh atau kopi. Si redaktur menegaskan independensinya dan hanya mengandalkan pemasukan dari lembar koran yang terjual dan iklan. Di kanan atas halaman satu tertulis juga, kira-kira bunyinya, mari bantu media independen dengan berlangganan atau membeli eceran. Cuma itu dia, pemasukan minim, ekonomi media itu tidak berkembang.
Di Indonesia juga ada media yang diterbitkan yayasan atau perkumpulan, tidak mau berbadan hukum perusahaan, dan independen. Karena mereka itu umumnya wartawan sekaligus aktivis, bagi mereka juga tidak penting sertifikat kompetensi. Medianya juga mendapat sumbangan lembaga atau perseorangan untuk operasional redaksii. Yang jelas karya jurnalistiknya, kata orang Glodok, oke punya. Tidak ada masalah moral, karena mereka hanya menulis. Tidak masuk struktur pengurus media, yang dapat terombang ambing urusan modal, keuntungan, dan kepentingan pembayar iklan.
Saya kerap merenung, dengan kondisi faktual yang ada sekarang, kewibawaan Wartawan Utama agak atau malah semakin merosot. Saya membayangkan Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Sabam Siagian, mungkin sudah malu dengan kartu Utama yang mereka peroleh dari Dewan Pers karena status “kebegawanannya” yang diakui siapapun. Soalnya ada banyak wartawan utama, bahkan penguji, yang menurut opini saya tidak pantas menyandang status itu kalau profesi wartawan tidak hanya dikaitkan dengan kompetensi teknis jurnalistik.
Wartawan haruslah manusia utuh, yang selain profesional dalam bekerja, juga memiliki standar moral pribadi yang mumpuni. Menurut pendapat saya perlu ada koreksi atau penambahan di dalam mata uji kompetensi kelompok Utama ini sehingga minimal lulusannya lebih memahami posisi vitalnya, meski di beberapa media, Pemimpin Redaksi kedudukannya di bawah General Manager. Kalau perbaikan di level Dewan Pers sulit karena membutuhkan waktu panjang, lembaga uji bisa melakukannya sendiri-sendiri.
Mari kita diskusikan, masihkah pantas jadi Wartawan Utama, padahal dia kerap melakukan KDRT? Diberhentikan dari perusahaannya karena melanggar aturan terkait moral, keuangan atau korupsi? Tertangkap melakukan perzinahan? Tertangkap menjadi petugas partai atau kelompok yang menjadikan dia tidak independen?
Perbaikan tentu harus bersifat holistik. Setelah kurikulum, tentu proses penyaringan penguji. Idealnya, media yang baik akan memiliki wartawan yang baik, tetapi sulit diterapkan dan tidak adil. Paling bagus adalah asesmen dengan lembaga yang kredibel. Hasilnya pasti objektif. Tetapi sebelum diikutkan dalam Training of Trainer (ToT), harus diumumkan ke seluruh anggota organisasi katakan dalam masa tenggang 2 minggu, untuk mendapat masukan. Siapa tahu dia berstatus tersangka, atau kawin lagi tanpa izin, atau punya anak haram.
Banyak saringan memang ruwet, tetapi akan lebih baik ketimbang diloloskan hanya karena dekat dengan orang penting di organisasi. Sekaligus menunjukkan keterbukaan, kejujuran, dalam proses seleksi sehingga lembaga ujinya menjadi kredibel. Apalagi ditambah dengan Pakta Integritas dan Kode Etik Penguji yang ditandatangani setelah memenuhi semua syarat.
Semua kita harus merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan marwah Lembaga Uji dan martabat lulusannya terutama Wartawan Utama. Banyak konsekuensinya kalau dibiarkan berlangsung begitu saja, tanpa teguran dan tanpa sanksi khususnya bagi mereka yang terbukti menyeleweng.
Wallahu a’lam bhisawab.
Ciputat, 18 Agustus 2023.