OMNIBUS KESEHATAN: Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023) -Foto dok nasional.kompas.com |
BORNEOTREND.COM- Undang-Undang (UU) Kesehatan hasil revisi telah dicatat oleh pemerintah di Lembaran Negara sebagai Nomor 105 dengan nomor Tambahan Lembaran Negara (TLN) 6687 tertanggal 8 Agustus 2023.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) telah mengetok palu Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi UU dalam Rapat Paripurna pada Selasa (11/7/2023).
Sedikitnya, tujuh fraksi di DPR menyetujui RUU tersebut dibawa ke dalam forum paripurna. Adapun dua fraksi lain, yakni Partai Demokrat serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak pengesahan RUU tersebut menjadi UU.
Merespons hal itu, Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Benny K Harman dengan tegas menyebutkan sejumlah catatan atas pengesahan RUU tersebut menjadi UU.
Pertama, proses pembentukan atau law making process yang tidak partisipatif. Kedua, substansi atau konten.
Benny mengatakan, substansi dalam RUU tersebut diharapkan dapat menjadi solusi sekaligus menjawab permasalahan di bidang kesehatan yang tidak dapat diselesaikan oleh UU Kesehatan sebelumnya.
"Kami melihat substansi RUU Kesehatan yang kemudian disahkan menjadi UU tidak jelas. Hal yang harus diingay, ini kan Omnibus Law. (Omnibus Law) kan metode atau pendekatan pada sejumlah UU yang dinyatakan tidak berlaku atau dihapus oleh UU yang baru," ujar Benny saat ditemui Kompas.com di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (13/7/2023).
Sebagai metode, menurut Benny, Omnibus Law merupakan hal lumrah. Namun demikian, diperlukan evaluasi terhadap UU Kesehatan eksisting untuk menyelisik problematika pokok di sektor kesehatan.
Dengan evaluasi serta kajian mendalam terhadap seluruh UU Kesehatan eksisting, diharapkan dapat menemukan titik persoalan, baik dari aspek substansi maupun pelaksanaan.
"Melalui tahapan valuasi, dapat diketahui apa yang menjadi problem pokok. Apakah dari sisi substansi atau pelaksanaan UU tersebut di lapangan?" kata Benny.
Bila dari segi substansi terdapat masalah ketidaklengkapan, lanjut Benny, artinya, UU Kesehatan yang eksisting tidak responsif terhadap permasalahan kesehatan. Untuk itu, diperlukan perbaikan atau perubahan substansi UU.
Sebagai contoh, imbuh Benny, permasalahan kualitas pelayanan kesehatan, ketersediaan dokter spesialis, pendidikan dokter, tata kelola, rumah sakit, dan sarana prasarana pendukung.
"Atau, di sisi lain, substansinya sudah bagus, tetapi implementasinya lemah. Ini artinya, problemnya bukan terletak pada (substansi) UU Kesehatan, melainkan aspek pelaksanannya," terang Benny.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat itu menilai, kebutuhan masyarakat di sektor kesehatan harus direspons dengan pembentukan UU sebagai basis kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.
Namun demikian, lanjut Benny, Fraksi Demokrat melihat, pemerintah tidak memiliki kejelasan sikap atau pandangan.
"Bahkan, (pemerintah) tidak punya kejelasan mengenai masalah pokok di bidang kesehatan sehingga arah kebijakan di bidang kesehatan (ikut) menjadi tidak jelas," kata dia.
Hilangnya mandatory spending
Ketiga, lanjut Benny, Partai Demokrat memberikan catatan terkait hilangnya persentase mandatory spending atau belanja kesehatan minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk diketahui, pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mandatory spending sebesar 55 persen berasal dari APBN dan 10 persen dari pemerintah daerah (pemda) lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Politisi asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu mengatakan, hilangnya persentase mandatory spending mencerminkan kurangnya komitmen negara dalam menyiapkan pelayanan kesehatan yang layak, merata, serta berkeadilan.
"Itu problem pokok di bidang kesehatan. Lantas, mengapa negara menghapus itu (mandatory spending)? Hal ini menujukkan bahwa negara mau melepas tanggung jawab, kemudian menyerahkan kepada pasar untuk mengatasi masalah kesehatan di masyarakat," kata Benny.
Sumber: nasional.kompas.com