(Foto/ilustrasi: Kotak Suara Pemilu 2024) |
BORNEOTREND.COM – Kata golput setiap menjelang pemilu selalu jadi perhatian dan ramai diperbincangkan. Golput itu sendiri adalah akronim dari golongan putih.
Istilah golput tersebut pertama kali muncul pada Pemilu 1971. Adalah Arief Budiman, seorang aktivis 66 yang melancarkan aksi tidak memilih menjelang pemilu pertama di era Orde Baru saat itu. Pemilu dianggap tidak demokratis dan tidak mencerminkan adanya kedaulatan rakyat.
Arief Budiman mengajak rakyat tidak memilih, atau datang ke bilik suara tetapi mencoblos bagian yang putih (di luar tanda gambar partai) dari surat suara. Pengikut ajakan ini kemudian dikenal dengan sebutan golput.
Namun dilihat dari proses dan mekanisme pemilu saat ini, golput tersebut tidak hanya merujuk pada sikap politik pemilih (ideologis), tetapi juga menyangkut adanya kategori suara tidak sah dan tidak terdaftar dalam daftar pemilih. Oleh karena itu, secara umum ada dua kategori golput; golput administrasi dan golput ideologis.
Karena ketidaktahuan banyak juga warga masyarakat sebelumnya, mengaku memberikan pilihan saat pemilu legislatif dengan mencoblos nama caleg lebih dari satu orang dengan partai yang berbeda. Tentu hal ini masuk kategori “suara tidak sah” saat dilakukan penghitungan suara oleh KPPS.
Seseorang dikatakan golput (tidak hadir ke TPS) bisa juga karena faktor kesibukan yang tidak bisa dihindari, misalnya melakukan perjalanan jauh, atau sedang menjalankan tugas di wilayah lain dari segi waktu tidak memungkinkan untuk datang ke TPS. Oleh karena itu, pemerintah sekarang menetapkan saat pemilu dilangsungkan ditetapkan sebagai hari libur, hal ini bertujuan untuk mengurangi angka golput yang tinggi.
Seberapa pun tingkat kehadiran/partisipasi pemilih dalam pemilu tetap dianggap sah sepanjang prosesnya sesuai aturan main/hukum yang ada. Namun di sisi lain, salah satu gambaran bagaimana melihat partisipasi politik masyarakat adalah saat mereka menggunakan hak pilihnya dengan mendatangi TPS-TPS yang ada. Oleh karena itu, tingkat kehadiran pemilih dalam menggunakan hak pilihnya selalu dijadikan ukuran sukses tidaknya sebuah pemilu.
Dilaksanakannya pemilu secara serentak (Pileg dan Pilpres) di Pemilu 2019 lalu juga membawa dampak angka partisipasi pemilih meningkat. Terutama untuk Pilpres 2019 meningkat sangat signifikan. Jika di Pilpres 2014 (tidak serentak, berjarak dua bulan setelah Pileg) angka partisipasi pemilih mencapai 69,78 persen, sedangkan di Pilpres 2019 meningkat menjadi 81,97 persen.
Memilih adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu mari kita gunakan hak kita yang datangnya setiap lima tahun sekali tersebut. Termasuk yang akan digelar secara serentak (Pileg dan Pilpres) pada 14 Februari 2024 nanti.
Penulis: Khairiadi Asa, Pemimpin Redaksi borneotrend.com