Fenomena Mega-Bintang di Pemilu 1997 di Kota Banjarmasin

Ilustrasi: tanda gambar parpol peserta pemilu di masa Orde Baru
(Foto: nett)

BORNEOTREND.COM - Pemilu 1997 (yang diikuti hanya tiga kontestan) merupakan pemilu terakhir di masa pemerintahan rezim Orde Baru. Berbagai peristiwa sebelum dilangsungkannya pemilu, saat pemilu, maupun setelahnya turut mewarnai panasnya suhu politik yang terjadi di berbagai wilayah tanah air saat itu.  

Di sini penulis membatasi hanya mengupas sedikit fenomena Mega-Bintang yang terjadi di Banjarmasin saat Pemilu 1997. Sebelumnya, menyongsong Pemilu 1987, juga tercatat dalam sejarah perpolitikan nasional, dimana NU sebagai organisasi keagamaan terbesar menyatakan diri kembali ke khitah NU 1926.   

Dalam banyak referensi disebutkan, fenomena Mega-Bintang ini muncul setelah terjadinya pergantian paksa atas pimpinan PDI Megawati ke tangan Soeryadi pada konferensi partai tersebut 1996 di Medan. Akibat peristiwa tersebut banyak pendukung Megawati di lapisan bawah yang mengalihkan dukungannya ke PPP yang saat itu bertanda gambar bintang.   

Disaat kampanye PPP banyak massa yang membawa atribut Mega-Bintang yang tidak lain adalah massanya PDI Megawati. Begitu pula saat kampanye di Kota Banjarmasin, atribut-atribut Mega-Bintang bermunculan, bahkan tidak sedikit kalangan pemuda dan mahasiswa bersimpati mendukung gerakan Mega-Bintang ini.       

Fenomena Mega-Bintang ini tidak terduga sebelumnya dan sempat memunculkan spekulasi kontroversial. Opini pun sempat terbentuk, bahwa akan terjadi koalisi lintas ideologis antara PPP dengan massa PDI Megawati dalam pemilu 1997.     

Gerakan Mega-Bintang ini sempat mendapat larangan dari pemerintah. Namun, karena sudah tersosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat, tetap saja berbagai idiom lain yang menunjukkan bahwa para pendukung PDI Megawati tetap berekspresi dalam kampanye.  

Karena yang diakui sebagai partai peserta pemilu adalah PDI pimpinan Soeryadi (hasil konferensi Medan), maka kesan adanya koalisi antara PPP dan PDI Megawati tersebut ditepis di tingkat elit masing-masing partai.    

Hasil Pemilu 1997 di Kota Banjarmasin menunjukkan perubahan yang cukup drastis dibanding pemilu sebelumnya, terutama dalam perolehan kursi masing-masing partai peserta pemilu. PPP berhasil menambah 4 kursi, dari pemilu sebelumnya 12 kursi menjadi 16 kursi. Sedangkan PDI (Soeryadi) turun, dari 8 kursi menjadi hanya 1 kursi. Golkar berhasil menambah 3 kursi, dari sebelumnya 16 menjadi 19 kursi.      

Jika dilihat dari pemilu ke pemilu (masa Orde Baru), maka PPP di kota seribu sungai ini sangat kuat menunjukkan rivalitasnya terhadap Golkar. Di Pemilu 1977, partai yang saat itu pendukung utamanya NU ini, meraih 16 kursi sedangkan Golkar mengoleksi 10 kursi.

Begitu juga Pemilu 1982, PPP mampu mempertahankan keunggulannya dengan menggondol 17 kursi dan Golkar sebanyak 12 kursi. Di pemilu ini di semua wilayah kabupaten di Kalsel Golkar meraih kemenangan.       

Di samping Banjarmasin sebagai basis kemenangan PPP adalah Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, dan Banjar. Di Pemilu 1977 ketiga kabupaten tersebut mampu menjadikan PPP peraih kursi terbanyak di lembaga perwakilannya. Namun, tidak seperti Banjarmasin di Pemilu 1982, di ketiga kabupaten tersebut bersama kabupaten lainnya PPP mengalami penurunan perolehan kursi meski tidak terlalu signifikan.     

Menjelang Pemilu 1987, dilaksanakan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang salah satu hasilnya memutuskan NU kembali ke khittah 1926. NU (secara organisasi) tidak lagi memberikan dukungan politik kepada PPP. Hasil muktamar NU ini disebut kalangan pengamat sebagai penggembosan PPP di Pemilu 1987 dan Pemilu 1992.  

Meskipun terjadi penggembosan warga NU secara nasional, PPP di Kota Banjarmasin relatif tidak terlalu tinggi pengaruhnya. Kursi PPP di Pemilu 1987 ini memang mengalami penurunan dengan merebut 14 kursi (turun 3 kursi).      

Perolehan kursi PPP terus merosot di Pemilu 1992 dengan meraih 12 kursi. Tetapi, Golkar yang identik sebagai partai penguasa saat itu juga mengalami penurunan (1 kursi), dari 17 menjadi 16 kursi. Di pemilu ini PDI mampu mendulang perolehan kursi lebih besar naik 5 kursi dari sebelumnya, dari 3 menjadi 8 kursi.  

Namun, seperti diuraikan di atas, konferensi PDI di Medan tahun 1996, menghasilkan kepemimpinan partai jatuh ke tangan Soeryadi, yang akhirnya memunculkan fenomena Mega-Bintang di Pemilu 1997. Perolehan suara PDI merosot, dan berdampak naiknya suara PPP di berbagai kabupaten/kota di Kalsel.               

Setelah rezim Orde Baru tumbang (ditandai turunnya Soeharto dari kursi Presiden RI), maka kubu Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan berdirinya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P). 

Pada Pemilu 1999 (yang diikuti banyak partai), PDI P keluar sebagai pemenang dengan meraih sebanyak 154 kursi di DPR RI (30,8 persen), diikuti Golkar 120 kursi (24 persen), PPP 59 kursi (11,8 persen). 

Parpol baru yang saat itu mampu memperoleh kursi diantaranya PAN 35 kursi (7,0 persen), PBB 13 kursi (2,6 persen), Partai Keadilan dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) masing-masing 6 kursi (1,2 persen). 

Sejajar dengan hasil Pemilu 1999 secara nasional, pemilu di Kota Banjarmasin juga menghasilkan dominasi PDI P dengan merebut 13 kursi di DPRD Kota Banjarmasin. Parpol lainnya hanya meraih rata-rata di bawah 10 kursi. 

Pergantian kekuasaan harus dilakukan secara demokratis dan damai. Salurannya adalah melalui pemilu yang setiap lima tahun kita gelar di negeri ini.  


Penulis: Khairiadi Asa, Pemimpin Redaksi borneotrend.com (penulis buku “Multipartai dalam Perspektif Politik Lokal; Tinjauan Dinamika Politik Kalsel)


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال