Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Dalam politik, banyak cara menjadi populer. Ada yang sekadar bikin baleho besar-besar dan menyebarkannya di berbagai sudut kota. Seketika namanya terkenal karena terpajang pada baleho.
Ada juga yang “memaksa” menjadi sumber berita. Apalagi kecenderungannya berita masih bad news is good news, berita buruk merupakan berita baik, dengan cara menciptakan musuh besar yang dapat mendongkrat popularitas. Misal, berkelahi dengan menteri atau presiden, bila direspons atau dilawan oleh Menteri atau Presiden, maka serta merta yang bersangkutan menjadi populer.
Tidak heran, menjelang pemilu, banyak yang mendadak berposisi sebagai pengkritik para pejabat tinggi atau pejabat daerah, mulai dari presiden, gubernur, hingga bupati dan walikota. Bila yang dikritik memberi respon, akan menjadi sumber berita, otomatis yang bersangkutan terangkat namanya dan populer.
Terhadap yang seperti itu, kebudayaan Banjar sudah sangat paham dan sadar, menyebut dengan ungkapan “jadi anak dacingnya”.
Anak dacing adalah biji timbangan pemberat atas barang yang ditimbang. Semula posisinya tidak seimbang, setelah ada biji dacing menjadi seimbang, menjadi tahu berat bobotnya
Seorang yang biasa saja, ketika menjadi musuh orang besar lagi terkenal, dapat membuatnya ikut terkenal.
Betapa banyak petinju biasa, ingin melawan petinju hebat, besar, semata-mata untuk menaikkan posisi tawarnya.
Pun betapa sering pengacara pemula mengambil kasus-kasus besar yang melibatkan orang terkenal, agar nama pengacara pemula tersebut terdongkrak dan menjadi sorotan publik.
Rupanya, dalam politik juga banyak yang menggunakan strategis tersebut. Tetiba memposisikan diri sebagai pengritik orang-orang besar, dan berharap mendapat respon dari orang besar tersebut. Kalau tidak direspons, minimal terbangun imej atau citra, bahwa yang bersangkutan pemberani, kritis, dan sebagainya.
Tentu tidak semua kritik mendapat respons, apalagi bila yang dikritik sadar dan tidak mau jadi anak dacingnya. (nm)