ASPEK KEGENTINGAN: Sidang pembacaan putusan terkait penetapan Perppu Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Senin (2/10/2023) -Foto dok nasional.kompas.com |
BORNEOTREND.COM- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2023 terkait Cipta Kerja (Ciptaker) memang tak memerlukan partisipasi publik yang bermakna.
Sebab, UU itu hanya menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Ciptaker menjadi UU.
Padahal, menurut Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011, partisipasi publik yang bermakna menjadi salah satu turunan dari asas pembentukan undang-undang yang harus transparan dan terbuka.
Mahkamah menyampaikan, aspek kegentingan yang memaksa sebagai syarat penerbitan perppu menyebabkan proses pembentukan UU yang berasal dari perppu memiliki keterbatasan waktu.
"Sehingga menurut penalaran yang wajar, perlu ada pembedaan antara undang-undang yang berasal dari perppu dengan undang-undang biasa, termasuk dalam hal pelaksanaan prinsip meaningful participation (partisipasi yang bermakna)," kata hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan nomor 54/PUU-XXI/2023, Senin (2/10/2023).
"Oleh karena itu, proses persetujuan RUU penetapan perppu menjadi Undang-Undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna secara luas," ujarnya lagi.
Mahkamah hanya menilai bahwa dalam proses penetapan UU yang berasal dari Perppu, DPR wajib memberi informasi kepada masyarakat agar publik dapat mengaksesnya.
"RUU tentang penetapan Perppu menjadi undang-undang memiliki karakter yang berbeda dengan RUU biasa, seperti mekanisme tahapan serta jangka waktu sebagaimana yang telah dipertimbangkan sebelumnya," kata Guntur.
"Karakter khusus dari RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut juga menyebabkan tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjadi mengikat secara absolut," ujarnya lagi.
Argumentasi mengenai partisipasi publik itu terkesan berbeda dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker cacat formil.
Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa pembentukan UU Ciptaker kala itu, yang tidak berasal dari Perppu, tak memenuhi asas keterbukaan dan transparansi sehingga tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
“Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis,” kata hakim konstitusi Suhartoyo dalam putusan tiga tahun lalu.
Sebagaimana diberitakan, MK memutus UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU tidak cacat formil.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan perkara nomor 54/PUU-XXI/2023.
Namun, ada empat hakim konstitusi yang berpandangan lain (dissenting opinion), yakni Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
Perkara ini diajukan oleh 15 pemohon berbentuk serikat/konfederasi serikat buruh, dengan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dkk sebagai advokat.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pemohon, di antaranya menilai bahwa penerbitan perppu itu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Akan tetapi, MK mengamini argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan, bahwa Perppu Ciptaker itu genting untuk disahkan.
Kegentingan itu berupa "krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19".
Perdebatan soal kegentingan yang memaksa itu, menurut Mahkamah, sudah selesai ketika DPR menyetujui penetapan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang.
Kemudian, pemohon mendalilkan bahwa penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU oleh DPR melanggar konstitusi karena dilakukan pada masa sidang keempat, padahal perppu itu diteken Presiden Joko Widodo pada masa sidang kedua.
Mahkamah menganggap wajar jika DPR butuh waktu lama untuk menetapkan perppu itu menjadi undang-undang, sebab Perppu Ciptaker bersifat omnibus yang mencakup 78 undang-undang lintas sektor.
Mahkamah juga menilai bahwa parlemen tidak buang-buang waktu untuk me-review perppu itu sejak menerima surat presiden.
Sumber: nasional.kompas.com