Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Ada fenomena teror yang menakutkan. Kelompok geng motor, melakukan aksi kejahatan brutal tanpa sebab dan alasan jelas. Mempertontonkan aksinya dengan sangat bangga, dan merugikan orang lain.
Berbuat salah dan pamer atas kesalahan yang dilakukan. Seolah menggambarkan keberanian dan kehebatan, atas tindakan seperti itu, kebudayaan Banjar menyebutnya “kaya tilambung gugur ka licak.
Tilambung, adalah buah kelapa yang masih kecil, bahkan bisa dibilang bunga kelapa yang akan menjadi buah. Saat buah tersebut jatuh ke lumpur, dikiaskan sebagai satu kesenangan – kebanggaan. Padahal ketika sudah jatuh, tilambung tentu tidak akan menjadi buah. Ia menjadi calon buah yang gagal.
Jatuh ke lumpur, dimaknai sebagai kesenangan, jatuhnya tidak sakit. Tidak sadar atau tidak paham bahwa itu berarti kegagalan.
Menyindir anak muda yang suka melakukan tindakan atau perbuatan tercela. Merugikan diri sendiri dan orang lain, akhirnya memberi pengaruh pada masa depannya. Bangga, tidak paham bahwa hal tersebut keliru dan satu bentuk perbuatan jahat.
Bila kurang arahan dan pengawasan, lingkungan dapat memprovokasi berbuat hal-hal yang tercela, termasuk melakukan tindak keonaran, aksi kejahatan, membentuk geng motor dan meneror.
Betapa banyak anak muda kehilangan masa depan, karena terpapar narkoba, terlibat sindikat kejahatan, dicuci otaknya jadi teroris, dan lain sebagainya.
Namun, sebelum menyalahkan anak muda, adakah fenomena ini berhubungan dengan politik? Adakah indikasi satu gerakan menggagalkan pemilu
Kalau keonaran ini dibiarkan dan terjadi di banyak tempat di Indonesia, sangat mungkin jadi alasan menunda pemilu. Atau ini potret kegagalan pemimpin lokal, yang hanya asyik dengan dirinya sendiri? Tidak fokus menciptakan lapangan pekerjaan dan menata pendidikan.
Semoga ini hanya fenomena lokal anak muda yang mencari identitas, “kaya tilambung gugur ka licak”. (nm)