Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Apakah ada hubungannya antara politik dengan kabut asap yang menyengsarakan semua warga banua? Tentu saja ada. Sebab izin dan regulasi yang membolehkan membabat hutan untuk tambang dan perkebunan besar, lahir dari politik.
Pun, tindakan untuk membongkar, menghacurkan dan mengalihfungsikan lahan gambut, juga buah kebijakan politik.
Kebijakan serakah yang oleh kebudayaan Banjar disebut “sikat barait” menjadikan semuanya tanpa sisa, habis sehabis-habisnya, tidak peduli pelestarian atau apapun yang dapat menjaga keseimbangan alam.
Kalau sudah kabut asap, palak dan lautan api dimana-mana seperti sekarang ini, tentu sudah akumulasi berbagai sebab, namun inti persoalan yang tidak boleh lupa. Sebabnya karena tidak mampu menjaga keseimbangan alam, dan hal itu terjadi karena kebijakan politiknya tidak adil, terutama adil pada alam dan lingkungan.
Akibat politik sikat barait, maka jangan sesali, saat musim kemarau kekeringan, musim penghujan kebanjiran.
Bukankah mulai dari perusahaannya memang sikat barait. Pejabatnya juga sikat barait. Tidak peduli resiko, termasuk resiko lingkungan yang dapat menyengsarakan seluruh masyarakat.Tidak ada kesadaran ekologis sedikit pun untuk menjaga keseimbangan alam.
Pasti semuanya sudah sangat paham, tapi belum tentu sadar. Sebab paham saja tidak cukup. Paham belum tentu membuahkan tindakan untuk sadar, sehingga menghentikan semua persoalan tersebut dari akarnya, yaitu menghentikan pertambangan dan perkebunan skala besar. Kembali menghutankan kawasan-kawasan yang selama ini menjadi wilayah tangkapan air. Tapi sepertinya itu mustahil, mungkin menunggu hingga semuanya benar-benar hancur.
Politik harus adil. Dengan kekuasaan politik dan harta, mungkin semua dapat diatur, dapat dbeli. Namun apalah artinya bila menyengsarakan.
Orang bijak berkata, sumber daya alam yang disediakan di muka bumi, cukup untuk memberi makan seluruh manusia, namun tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Karenanya, jangan sikat barait. (nm)