Narasumber seminar sastra Agus R Sarjono, Nenden Lilis, Sainul Hernawan, dan moderator Dewi Alfianto. (Foto: Khairiadi Asa) |
BORNEOTREND.COM – Sesuai dengan temanya “Sastra Sungai ke Sungai Sastra” Aruh Sastra Kalimantan Selatan XX yang digelar di Banjarmasin selama tiga hari (17-29 Oktober 2023), di hari kedua menggelar seminar nasional yang juga membahas kaitan dunia sastra dengan sungai. Seminar ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Sainul Hernawan (Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP ULM), Agus R. Sarjono (penyair, dosen Institut Seni dan Budaya Indonesia), Nenden Lilis (dosen Universitas Pendidikan/UPI Bandung), dimoderatori Dwi Alfianti (Dosen PBSI FKIP ULM).
Menurut Agus R Sarjono, sungai selalu menjadi pusat peradaban umat manusia. Hal itu bisa dilihat bagaimana keberadaan Sungai Gangga di India, Sungai Nil di Mesir (yang melewati juga beberapa negara Afrika) dan Sungai Don di Rusia. Begitu juga dengan keberadaan sungai-sungai yang ada di Kalsel, misalnya Sungai Martapura dan Sungai Barito. Sungai menjadi jejak peradaban dan saksi ulah manusia untuk merumuskan nasibnya.
"Ada banyak novel yang bertema tentang sungai. Ada air mata, cinta, asmara di dalamnya. Lewat Sungai Don kita bisa mengetahui sejarah Rusia, lewat Sungai Gangga kita ketahui peradaban India dan Sungai Nil juga banyak bercerita tentang sejarah Mesir,” ujar Agus R Sarjono sambil menjelaskan beberapa judul novel yang bertema tentang sungai karya-karya sastrawan Amerika, Australia, Erofa maupun Asia.
Pembicara lainnya, Nenden Lilis lebih banyak berbicara seputar sastra dan persoalan lingkungan. Ia menyebut gerakan sastra hijau saat ini cukup meluas hingga ke Asia. Menurutnya, sastra hijau adalah sastra yang merepresentasikan pembelaaan terhadap persoalan lingkungan hidup. Ia juga menyebut sebenarnya di berbagai daerah banyak pepatah dengan menggunakan bahasa daerahnya yang isinya mengajak untuk menjaga lingkungan.
“Hanya saja pesan lewat sastra di zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Saat ini kemajuan teknologi digital telah menurunkan minat baca orang,” ujarnya sambil menambahkan bahwa dengan adanya sastra hijau tersebut bukan berarti sastrawannya telah menjadi aktivis lingkungan.
Pembicara ketiga, Sainul Hernawan juga banyak mengupas bagaimana karya-karya satrawan di Kalsel menempatkan sungai sebagai sumber atau bahan tulisannya. Menurutnya, tema Aruh Sastra XX kali ini bukan sekadar membolak-balik kata sastra dan sungai, tapi baginya ini berarti sastra tentang sungai yang ingin menuju sungai sastra.
“Sastra sungai bisa berbagai macam jenisnya mulai yang lisan sampai digital, dari yang tradisional sampai pascamodern. Begitu menuju sungai sastra, ada semacam ajakan untuk mengorientasikan sungai menjadi sastrawi, imajinatif, kontemplatif, reflektif, kreatif, rekreatif, maju dan menyejahterakan,” ucapnya.
Zulfaisal Putera, Kabid Kebudayaan Disporabudpar Kota Banjarmasin (Foto: Khairiadi Asa) |
Sebelumnya Zulfaisal Putera (Kabid Kebudayaan Disbudporapar Kota Banjarmasin) mewakili Wali Kota Banjarmasin sebagai keynote speaker, menguraikan keberadaan aruh sastra yang digelar sudah memasuki yang ke-20, diklaim sebagai arus sastra yang terbesar di dunia.
“Aruh sastra di Kalsel ini merupakan yang terbesar di dunia, digelar setiap tahun dengan mengambil tempat bergantian. Bisa di gedung sekolah, perkantoran, ruang terbuka hingga hotel. Di Bali juga ada gelaran seperti ini, tapi hanya digelar di satu tempat,” ujarnya.
Dalam paparannya Zulfaisal Putera juga banyak mengambil contoh karya sastra (prosa maupun puisi) yang bertema lingkungan dan alam.
“Sastrawan Indonesia di berbagai daerah memotret permasalahan manusia dan lingkungan masing-masing sebagai bentuk kegelisahannya berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki. Setiap daerah di Indonesia memiliki isu-isu lingkungan yang strategis dan menarik. Isu itu muncul dan berkembang akibat ketidakmampuan manusia lokal menjalin sinergitas dengan lingkungannya,” ujarnya sambil menjelaskan bahwa saat ini di Kota Banjarmasin juga tengah digalakkan program sungai sebagai serambi depan, bukan jadi buritan atau pantat agar sungai tetap terpelihara.
Penulis: Khariadi Asa