“Contohnya, jika seseorang menolak untuk menghormati agama atau kepercayaan lain, ini dapat dianggap sebagai intoleransi,” paparnya.
Sedangkan terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman serius untuk mencapai tujuan politik atau ideologis dengan cara merugikan orang atau harta benda.
“Sebagai contoh, kelompok teroris yang menggunakan serangan bom atau pengeboman untuk mencapai tujuan mereka,” katanya.
Sementara, lanjutnya, radikalisme adalah dukungan kuat terhadap perubahan tajam dalam ideologi atau pandangan politik.
Dalam konteks negatif, radikalisme dapat berarti dorongan untuk menggulingkan pemerintah atau mengganti ideologi negara.
Contohnya adalah gerakan radikal yang ingin mengganti sistem pemerintahan dengan sistem yang berdasarkan hukum agama atau hilafah.
"Tidak ada agama apapun memerintahkan untuk melakukan kejahatan," tegasnya.
Lebih lanjut, Kompol Gita menyebutkan, para pelaku menjadikan media sosial, forum sekolah hingga tingkat kuliah dan jaringan intenet lainnya untuk penyebaran ideologi mereka.
"Hati-hati dalam bermedia sosial, jangan asal share informasi seperti penyebaran propaganda, karena jaringan teroris ini tidak hanya bekerja di dunia nyata, mereka juga melakukan penyebaran paham radikalisme melalui media sosial," pesan Kompol Gita.
“Jaga adab dan akhlak adik-adik. Percuma kita pintar tapi tidak berakhlak. Nilainya Nol," tutupnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab bagi peserta sosialisasi dengan pertanyaan seputar pencegahan terorisme di lingkup tempat tinggal, peningkatan toleransi hingga aman bermain media sosial.
Penulis: Sri Mulyani